SIRENE di lembah Siruar, di kawasan Bukit Barisan, mengaum --
tak lama setelah Menteri Perindustrian A.R. Soehoed menekan
tombol. Perlahan-lahan lempengan besi setebal dua inci turun.
Dan 30 menit kemudian, terowongan pengelak dan pengatur
bendungan Siruar itu pun tertutup rapat. Artinya, alur air
Bendungan Asahan Senin pekan ini resmi ditutup.
Serentak dengan itu, air di hulu bendungan pun perlahan-lahan
naik. Pada jam 12.30 -- tiga jam setelah penutupan itu -- lidah
air mulai menjilat separuh tubuh bendungan yang tingginya 31
meter itu. Menjelang senja, permukaan air di Siruar -- yang
sebelumnya 893,4 m -- naik menjadi 904 m dari permukaan laut,
sama tinggi dengan permukaan Danau Toba.
Arus sungai yang semula deras, menjadi tenang. Jam 13.00, speed
boat pertama yang meluncur dari Danau Toba sampai di Siruar,
menyusuri Sungai Asahan sepanjang 14,5 km. Sebelumnya Siruar
tak bisa dilayari sebab sangat curam. Sementara itu di bagian
hilir bendungan -- satu jam setelah upacara penutupan -- air
kontan menyusut. Yang kini kelihatan hanyalah batu-batu besar
yang selama ratusan tahun menghuni dasar sungai. Dalam legenda
Batak, sungai ini disebut Titian Dewata.
Penutupan bendungan Siruar ini hanya untuk jangka waktu sebulan,
yaitu selama pembangunan tahap terakhir bendungan Tangga di
bagian hilir Siruar.
Upacara itu dilanjutkan dengan pesta adat. Di sebuah tanah
lapang, dua kilometer dari Siruar, Menteri Soehoed menyerahkan
kepala kerbau jantan kepada masyarakat setempat yang diwakili 12
raja bius (persekutuan huta atau kampung). Dan kemudian para
raja bius pun mengalungkan ulos untuk sang menteri Upacara
ditutup dengan piso-piso yaitu penyerahan amplop berisi uang Rp
1 juta kepada raja-raja bius dari Menteri Soehoed.
"Nga Sae Sudena (sudah beres semuanya)," kata Ompu Unggul
Manurung, 67 tahun, raja bius Uluan, Kecamatan Porsea, Kabupaten
Tapanuli Utara seusai upacara. Pernyataan ini dibenarkan oleh
Wakil Ketua Otorita Asahan, Ir. Bisuk Siahaan. "Betul, soal 19
kk yang menolak ganti rugi itu sudah beres," katanya.
Tetapi Urung Marpaung, seorang ompu yang lain, yang berpakaian
adat dan ikut menari manortor dalam upacara itu, tak bisa
menyembunyikan wajahnya yang murung. Sebab dengan tertutupnya
pintu pengelak air di Siruar. Berarti 22 ha sawah tenggelam.
Bersama 18 kk lainnya, sejak 1978 Marpaung menentang ganti rugi
atas 22 ha sawah mereka karena menganggap pembayaran itu
terlalu murah. Dan benar. Sementara dia manortor siang itu,
areal sawah yang selama ini gigih dipertahankan Marpaung berikut
18 kk, serta-merta tenggelam -- berikut tanaman padi yang sudah
sejengkal.
Untuk itu, jauh sebelumnya, Pemda Tapanuli Utara cukup repot.
Berbagai perundingan gagal, karena ke-19 kk tetap menuntut ganti
rugi yang lebih besar. Pertemuan 27 Januari 1981 di kantor
bupati di Tarutung, misalnya, tak menghasilkan kata putus.
Pertemuan itu dihadiri pula oleh 26 kepala desa dan 120
pengetua adat sekitar Siruar.
Dalam pertemuan 2 Februari yang menelan waktu delapan jam,
semula kelompok 19 masih mencoba bertahan. Tapi kemudian luluh
oleh keputusan para raja bius, bahwa ganti rugi harus diterima.
Tidak menerima keputusan para raja bius, berarti dikucilkan dari
kampung. "Begitu petuah Raja Sisingamangaraja," ujar Ompu Unggul
Manurung kepada Amran Nasution dari TEMPO Akhirnya, 22 ha sawah
milik kelompok 19 itu pun diserahkan lewat upacara adat memotong
kerbau sesaat setelah peresmian penutupan bendungan Siruar.
Memang terlihat beberapa wajah yang murung ketika menyaksikan
areal sawah itu pelan-pelan tergenang lalu tenggelam dalam air
Sungai Asahan. Tapi tak lama. Mungkin karena mereka cepat
terhibur oleh suasana upacara.
Menurut Bupati Tapanuli Utara, Salmon Sagala, ganti rugi untuk
22 ha sawah itu tetap seperti semula, yaitu Rp 130/meter
persegi, ditambah "harga inflasi" sebesar 130% dari harga
tersebut. Selain itu mereka juga ditampung di kawasan yang lebih
tinggi seperti di Sioma-oma, Kecamatan Pangaribuan. Mereka juga
akan mendapat kredit untuk bertanam cengkih atau kayu manis.
Sementara itu pihak Otorita Asahan dibebani tugas memperbaiki
jalan-jalan antar desa yang rusak di luar Siruar, berikut empat
buah jembatan. Juga menyediakan listrik 5 MW untuk penduduk
Porsea dan sekitarnya.
Proyek Asahan menghasilkan 513 MW, di antaranya 50 MW untuk
kepentingan umum. Dari yang 50 MW itulah diambil 5 MW untuk
Porsea. Tapi Camat Porsea, S. Tampubolon, belum punya rencana
untuk apa listrik di kawasannya.
Listrik sebanyak itu, sama dengan 10% dari seluruh listrik untuk
Kota Medan yang berpenduduk 1,2 juta jiwa. Sedang Porsea yang
luasnya 17.000 ha hanya berpenduduk 26.337 jiwa.
Penduduk Porsea hidup sebagai petani, tinggal di rumah-rumah
reyot di punggung-punggung bukit. Di sana ada sekitar 20 pandai
besi pembuat parang dan pisau. "Dengan masuknya listrik,
industri seperti itu barangkali bisa dikembangkan," kata
Tampubolon.
Yang terang, untuk kepentingan bendungan Siruar itu, 170 ha
sawah (termasuk yang 22 ha tadi) yang semula menghidupi 1.623
jiwa penduduk, kini tenggelam. Penduduk Porsea memang banyak
berkorban untuk proyek ini. Karena itu dalam pidato sambutannya
Menteri Soehoed berkata: "Terima kasih untuk pengorbanan yang
telah diberikan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini