Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suara Uighur dari Rantau

Dari penjara di Beijing, ekonom Ilham Tohti mendapat penghargaan tertinggi Uni Eropa untuk pejuang hak asasi manusia. Putrinya terus berjuang menuntut pembebasannya.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ekonom Uighur, Ilham Tohti, mendapat Hadiah Sakharov dari Parlemen Uni Eropa.

  • Dia dipenjara seumur hidup di Cina karena memperjuangkan kebebasan kaum minoritas Uighur di Xinjiang.

  • Putrinya, Jewher Ilham, berjuang menuntut pembebasan sang ayah.

SUARA Jewher Ilham terdengar riang saat menerima panggilan jarak jauh dari Tempo, Jumat, 17 Januari lalu. Gadis 24 tahun itu baru saja kembali dari perjalanan panjangnya di Eropa setelah menghadiri acara penganugerahan Hadiah Sakharov untuk Kebebasan Berpikir pada pertengahan Desember 2019. Jewher mewakili ayahnya, Ilham Tohti, yang dianugerahi penghargaan dari Parlemen Uni Eropa atas dedikasinya memperjuangkan hak-hak asasi kaum minoritas muslim Uighur di Cina. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada Nelson Mandela dan Malala Yousafzai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam acara yang berlangsung di gedung Parlemen Uni Eropa di Strasbourg, Prancis, itu, Jewher hanya ditemani foto Tohti, foto terakhir yang diambil jauh sebelum sang ayah dijebloskan ke penjara. "Dengan memberikan penghargaan ini, Uni Eropa mendesak pemerintah Cina membebaskan Tohti dan menyerukan penghormatan terhadap hak-hak minoritas di Cina," kata Presiden Parlemen Uni Eropa David Sassoli. Sebelumnya, Tohti mendapat Penghargaan Martin Ennals untuk Pembela Hak Asasi Manusia dan Hadiah Hak Asasi Manusia Vaclav Havel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jewher, yang datang dari Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, tempat dia tinggal kini, terlihat tegar saat berpidato mewakili ayahnya. “Terakhir kali saya melihat ayah saya pada akhir 2013. Terakhir kali saya berbicara dengan Ayah melalui Skype pada 2014. Terakhir kali saya mendengar berita tentang Ayah pada 2017. Sejak saat itu, saya tidak tahu lagi bagaimana nasibnya,” ucapnya dengan mata agak sembab di depan puluhan anggota Parlemen. Sebelum kembali ke Amerika, ia mengunjungi sejumlah komunitas Uighur di Eropa, terutama di Jerman.

Menghadiri acara ini adalah satu dari ratusan upaya Jewher untuk mencari pertolongan dari komunitas internasional agar pemerintah Cina membebaskan ayahnya. “Ayah saya tidak pernah mendukung ide separatisme. Tulisan-tulisan di blognya banyak menyinggung soal ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di Xinjiang. Tulisannya adalah upaya agar nasib minoritas Uighur lebih diperhatikan oleh pemerintah,” tutur Jewher.

Kepada Tempo, Jewher bercerita bagaimana dia sekeluarga sudah menduga ayahnya akan dibui. “‘Paling lama 20 tahun’, begitu kata Ayah,” ujar anak pertama dari tiga bersaudara itu. Sepanjang 20 tahun itu, Ilham berharap tetap bisa melakukan aktivitasnya sebagai peneliti dan penulis, juga, jika beruntung, mengajar di dalam penjara. Pada 23 September 2014, setelah persidangan tertutup selama dua hari, pengadilan menyatakan Profesor Ilham bersalah dalam perkara separatisme dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.

•••

ILHAM Tohti lahir pada 25 Oktober 1969 di Artush, Xinjiang. Dia mulai kuliah pada 1985 di kampus yang kini bernama Central Minzu University di Beijing. Dia lalu menjadi pengajar di sana dan dikenal sebagai ahli ekonomi dan sosial, khususnya mengenai Xinjiang dan Asia Tengah.

Selama dua dekade lebih, Tohti berusaha membangun dialog antara kaum minoritas Uighur dan bangsa Han, suku terbesar di Negeri Tirai Bambu, meski tekanan terhadap budaya, agama, dan politik mendera muslim Uighur. Kaum Uighur adalah rumpun bangsa Turki yang sebagian besar tinggal di Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang.

Sebagai cendekiawan, dia berbicara terus terang tentang penindasan Uighur di Xinjiang. Hal inilah yang membuat dia diawasi dan ditekan aparat keamanan sejak 1994. Sejak 1999 hingga 2003, dia dilarang mengajar. Setelah itu, pemerintah memperketat geraknya. Maka, dia beralih ke Internet. Pada 2006, dia membangun Uyghur Online, situs web berbahasa Cina yang mengangkat isu Uighur. Sejumlah wartawan asing sering mengutip situs itu dan mewawancarainya mengenai kejadian di Xinjiang. Akibatnya, situs itu berkali-kali ditutup dan penulis yang berkontribusi di sana ditekan.

Jewher Ilham mengungkapkan, semasa kecil, dia sering melihat orang-orang tak dikenal menginap di rumah mereka di Beijing dan memasang penyadap serta kamera pengintai. Sering kali tiba-tiba orang-orang itu memboyong keluarganya entah ke mana. “Saya bersekolah di asrama, jadi saya pulang pada akhir pekan atau saat libur nasional. Pernah saya pulang dan menemukan rumah saya kosong. Tetangga memberi tahu bahwa ayah, ibu, dan adik-adik saya dijemput polisi. Kami terbiasa dengan intimidasi dan gangguan dari aparat. Saking terbiasanya, kami menganggap itu normal dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari," kata Jewher.

Tohti dengan tegas menolak ide separatisme, yang diangkat sekelompok kecil kaum Uighur, dan lebih mendorong rekonsiliasi. Pada 2009, ketika kerusuhan pecah dan menewaskan 150 orang Uighur, dia menulis tentang penangkapan, pembunuhan, serta penghilangan paksa orang Uighur. Polisi kemudian menahannya beberapa pekan. Ia dibebaskan setelah sejumlah organisasi hak asasi internasional, termasuk PEN American Center, Amnesty International, dan Reporters Without Borders, mengeluarkan petisi pembebasannya. Tapi dia dikenai tahanan rumah selama beberapa tahun.

Pada awal Februari 2013, Jewher, yang baru tamat sekolah menengah atas, menemani Tohti ke Amerika Serikat. Kala itu, Tohti akan menjalani masa residensi sebagai pengajar di Indiana University di Bloomington. Jewher berencana menemani ayahnya beberapa minggu dan kemudian kembali ke Cina.

Tapi petugas imigrasi bandar udara Beijing menahan mereka. Petugas menyatakan Tohti dilarang bepergian ke luar negeri. Tapi Tohti berkeras mengupayakan anak perempuannya bisa pergi ke Amerika. Jewher pun berangkat dengan berat hati disertai harapan ayahnya akan menyusul kemudian. Ia terdampar di Negeri Abang Sam tanpa bisa berbahasa Inggris dan hanya berbekal kartu nama kolega-kolega ayahnya di Indiana University. Ayahnya tidak pernah menyusul. Jewher pun akhirnya tidak pernah kembali ke Cina.

Setiba di Bloomington, Jewher sempat berniat pulang. “Kala itu, saya tidak bisa berbahasa Inggris, tidak punya uang, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di Amerika. Saya rindu teman-teman saya di Beijing,” ujarnya. Untunglah seorang kolega ayahnya di Indiana University bersedia menjadi ayah asuhnya.

Dia belajar bahasa Inggris dan kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di dua jurusan, ilmu politik serta studi Eurasia Tengah dan Arab. Pada masa itulah Jewher merasa terpanggil untuk memahami lebih jauh perjuangan ayahnya bagi suku Uighur. “Sebelumnya, saya tidak tahu bahasa Uighur. Tumbuh besar di Beijing, saya tidak tahu banyak tentang budaya Uighur dan jarang bersentuhan dengan komunitas Uighur di Cina. Saya belajar bahasa Uighur setelah tiba di Amerika,” ucapnya. Pada 2015, dia menerbitkan buku biografi Jewher Ilham: A Uyghur's Fight to Free Her Father.

Ilham Tohti ditahan pada 15 Januari 2014. Dia didakwa dengan pasal separatisme dan dihukum penjara seumur hidup. Uni Eropa dan beberapa negara Barat memprotes pengadilannya. Sejumlah akademikus mengajukan petisi kepada pemerintah Cina agar membebaskannya. Tapi Beijing bergeming.

Jewher kini terlibat dalam produksi film dokumenter Static & Noise. “Awalnya saya hanya menjadi salah satu narasumber sebagai bagian dari suku Uighur. Tapi kemudian begitu banyak hal tak terduga hingga konsep awal film ini berkembang dan akhirnya saya ikut terlibat di hampir semua lini produksi, termasuk mewawancarai saksi dan menyunting,” tuturnya.

Film ini merangkum sejumlah kesaksian tentang perjuangan kebebasan hak asasi manusia di Cina, dari pembantaian di Lapangan Tiananmen, penganiayaan terhadap pengacara hak asasi, hingga penahanan lebih dari 1 juta warga Uighur. “Saya tidak akan berhenti berjuang dan meminta tolong sampai ayah saya bebas. Belajar untuk kuat dan tangguh," katanya.

IWAN KURNIAWAN (AL JAZEERA, FOREIGN POLICY), ASMAYANI KUSRINI (BELGIA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus