Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah Besel Tak Sampai

Terdakwa suap proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim diduga menyiapkan “uang perkenalan” senilai US$ 35 ribu untuk Firli Bahuri. Pengadilan tak mendalami pertemuan antara Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani dan Firli.

25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terdakwa suap proyek Dinas PUPR Muara Enim mengaku menyiapkan uang US$ 35 ribu untuk Firli Bahuri.

  • Firli Bahuri bertemu dengan Bupati Muara Enim Ahmad Yani, dua hari sebelum KPK menggelar operasi tangkap tangan.

  • Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang memastikan tidak memanggil Firli Bahuri.

PERSAMUHAN sepuluh menit itu berlangsung menjelang magrib. Bupati Muara Enim Ahmad Yani menemui Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan kala itu, Inspektur Jenderal Firli Bahuri, di rumah dinas Kapolda di Kompleks Pakri, Jalan Bambang Utoyo, Palembang, Sabtu, 31 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yani datang bersama dua anggota stafnya. Ini pertemuan pertama mereka setelah Firli menjabat Kepala Polda dua bulan sebelumnya. Sebelum pulang, Yani meninggalkan oleh-oleh kopi bubuk merek Bintang, kopi khas Muara Enim. Keduanya juga bertukar nomor telepon. “Pertemuan itu hanya silaturahmi sebagai kepala wilayah,” ujar pengacara Ahmad Yani, Maqdir Ismail, Kamis, 23 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan itu tak pernah menjadi masalah sampai awal Januari lalu. Ahmad Yani, yang belakangan menjadi terdakwa penerima suap belasan miliar rupiah dari kontraktor pemilik PT Indo Paser Beton, Robi Okta Fahlevi, disebut-sebut pernah meminta anggota stafnya mengirimkan duit US$ 35 ribu kepada Firli. Rencana suap itu dirancang seusai pertemuan di rumah dinas Firli.

Anggota staf yang diminta mengirimkan fulus itu adalah Kepala Bidang Jalan dan Jembatan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Muara Enim, A. Elfin M.Z. Muchtar. Kini Ahmad Yani, Robi, dan Elfin sama-sama menjadi pesakitan dalam persidangan kasus ini.

Terdakwa Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani di Pengadilan Tipikor Palem­bang, Su­­matera Selatan, 21 Januari lalu./ANTARA/Nova Wahyudi

Nama Firli muncul saat eksepsi Ahmad Yani dibacakan di pengadilan, Selasa, 7 Januari lalu. Sumbernya adalah percakapan antara Elfin dan Erlan, kemenakan Firli, soal rencana penyerahan uang. Percakapan itu disadap penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika itu, Elfin meminta Erlan menyampaikan uang titipan bosnya kepada Firli. Memang penyerahan uang urung terjadi karena KPK keburu mencokok Elfin dan Robi dalam operasi tangkap tangan, Senin, 2 September 2019.

Menurut Maqdir, pertemuan antara Yani dan Firli pada Agustus 2019 tak terkait dengan kasus yang menjerat kliennya. Ia justru balik menuding KPK tengah mempolitisasi figur Firli lewat perkara ini. Ketika bertemu dengan Yani, Firli memang tengah mengikuti tahap akhir seleksi calon pemimpin KPK bersama 20 peserta lain. Dia sudah disebut-sebut sebagai calon kuat yang bakal lolos. “Ada yang ingin mencemarkan nama Firli,” kata Maqdir.



•••

 

PENYELIDIK komisi antirasuah membuntuti Robi Okta Fahlevi, pengusaha yang malang-melintang dalam berbagai proyek pekerjaan umum di Palembang, dan Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Muara Enim A. Elfin M.Z. Muchtar sejak Senin siang, 2 September 2019. Menjelang sore, keduanya bertemu di rumah makan Bakmi Aloi, Palembang.

Di sana, Robi menyerahkan uang US$ 35 ribu ke tangan Elfin. Uang itu diduga sebagai komisi pemenangan proyek-proyek di Muara Enim. Setelah uang berpindah tangan, penyelidik menangkap keduanya. KPK juga menangkap anggota staf Elfin dan Robi yang turut menghadiri pertemuan itu. Uang inilah yang diduga disiapkan untuk Firli Bahuri.

Dalam berita acara pemeriksaan, Elfin mengatakan penerimaan uang itu merupakan lanjutan dari pertemuan Firli dan atasannya, Bupati Ahmad Yani. Dia mengaku duit itu semula akan diserahkan kepada Firli. “Semua rencana ini atas inisiatif atasannya,” ucap pengacara Elfin, Gandhi Arius, Senin, 20 Januari lalu.

Tapi pengadilan tampaknya tak menindaklanjuti keterangan Elfin. Jaksa KPK, Roy Riadi, mengatakan kemunculan nama Firli saat pemeriksaan dan persidangan berada di luar substansi hukum yang sedang berjalan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang tak akan meminta keterangan Firli. “Tidak akan dipanggil,” kata Roy, Selasa, 21 Januari lalu. Itu sebabnya, fakta soal pertemuan Yani dengan Firli tak sekali pun muncul di pengadilan.

 

Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan PPK di Dinas PUPR, Elfin Muchtar, menja­lani pemeriksaan, di gedung Komisi Pembe­ran­tasan Korupsi, Jakarta, 6 Desember 2019./TEMPO/Imam Sukamto

Keterangan Elfin juga tak mempengaruhi dakwaan Ahmad Yani. Jaksa lebih sering bertanya soal praktik permintaan uang pelicin kepada sejumlah kontraktor rekanan Dinas PUPR yang menang tender. Ahmad Yani disebut-sebut meminta Elfin mengomandani pengumpulan fulus itu.

Berdasarkan keterangan Elfin dalam berkas pemeriksaan, permintaan uang itu bermula dari pertemuan Ahmad Yani dengan sejumlah kontraktor pada awal 2019 di ruang kerja bupati. Dalam pertemuan itu, Yani menjamin para kontraktor bakal ditunjuk sebagai pemenang tender asalkan bersedia menyiapkan imbalan sebesar 10 persen dari total nilai proyek yang mereka peroleh.

Robi Okta Fahlevi, menurut Elfin, adalah kontraktor yang paling banyak mendapatkan proyek pekerjaan umum di Muara Enim. Ia memperoleh proyek senilai Rp 130 miliar untuk tahun anggaran 2019. Sebagian uang imbalan untuk Yani bahkan sudah dicairkan secara bertahap. Robi bersedia menyetor melampaui nilai kesepakatan. Pada April 2019, misalnya, ia tiga kali menyetorkan uang kepada Elfin, masing-masing bernilai Rp 7 miliar, Rp 3 miliar, dan Rp 5 miliar.

Elfin kemudian menyerahkan uang dari Robi kepada Bupati dan pejabat lain. Ia juga mengaku menyerahkan uang kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Muara Enim atas perintah Ahmad Yani. Uang tersebut digunakan sebagai dana aspirasi daerah. Nilainya dari Rp 250 juta hingga Rp 2 miliar.

Uang US$ 35 ribu untuk Firli, menurut Elfin, akan diberikan sebagai “uang perkenalan”. Saat itu, Firli baru dua bulan menjabat Kepala Polda Sumatera Selatan. Namanya juga disebut sebagai calon kuat Ketua KPK.

•••



SETELAH menemui Firli Bahuri, Bupati Ahmad Yani langsung menemui A. Elfin M.Z. Muchtar. Dokumen berita acara pemeriksaan mengungkap bagaimana Yani menceritakan hasil pertemuannya dengan Firli itu kepada Elfin. Berdasarkan percakapan itu, Elfin mengusulkan untuk berkomunikasi dengan ajudan Firli. Ia melaksanakan rencana itu, Ahad, 1 September 2019.

Percakapan Elfin dengan ajudan Firli tak lepas dari pantauan penyelidik KPK. “Ada titipan dolar dari Bupati jika Bapak berkenan,” demikian bunyi pesan Elfin. Sang ajudan membalas pesan agar Elfin menghubungi Erlan, kemenakan Firli. Ia turut mengirimkan nomor telepon sang kemenakan.

Elfin lalu menghubungi Erlan. Namun Erlan tak mau menerima uang. Ia menilai penyerahan uang itu berisiko. Apalagi pamannya sedang mencalonkan diri sebagai pemimpin KPK. Meski belum ada jawaban pasti, Elfin tetap meminta Robi Okta Fahlevi menyiapkan US$ 35 ribu untuk Firli.

Di persidangan, pengacara Robi juga pernah menanyakan soal rencana pemberian uang untuk Firli tersebut. Di depan hakim, Robi mengakui diminta menyiapkan uang US$ 35 ribu. Dia juga mengetahui ada pertemuan antara Ahmad Yani dan Firli, dua hari sebelum operasi tangkap tangan. “Pengacara Robi menyampaikan pengakuan itu di persidangan,” ujar Gandhi Arius.

Uang Perkenalan untuk Pak Kapolda



Menurut Gandhi, Elfin hanya seorang bawahan yang tidak bisa menolak perintah bupati. Karena perintah atasannya tersebut, Elfin diminta mengatur pertemuan dengan Firli. Elfin pun mengaku ikut dalam pertemuan Firli dan Yani. Ia menolak menjelaskan isi pertemuan karena kurangnya alat bukti.

Ketika dimintai konfirmasi, Firli mengaku bertemu dengan Ahmad Yani. Namun ia menolak tudingan bahwa pertemuan membicarakan rencana penyerahan uang. Menurut dia, kedatangan Yani ke rumah dinas Kepala Polda merupakan hal yang wajar. Apalagi ketika itu Yani baru saja pulang dari Tanah Suci. “Saya juga tidak tahu sama sekali soal rencana pemberian uang dan tidak akan terlibat apa pun,” ucap Firli.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, menjelaskan, keterangan dalam berita acara pemeriksaan tidak harus tergambar dalam materi dakwaan. Materi dakwaan hanya akan mengurai peristiwa pidana yang sesuai dengan temuan selama penyidikan. Namun, kata dia, keterangan itu bisa saja dikejar jaksa dalam proses persidangan. “Berkas pemeriksaan itu sebatas petunjuk. Yang bakal dinilai hakim adalah apa yang terungkap dalam sidang,” ujarnya.

Dalam kasus suap proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim, kata Ali, KPK belum menemukan indikasi kuat adanya pemufakatan jahat antara Ahmad Yani dan Firli Bahuri. Faktanya, menurut dia, uang US$ 35 ribu yang diberikan Robi kepada Elfin tidak sampai kepada Firli. Ia membantah jika strategi dakwaan didesain untuk melindungi Ketua KPK. “Orang bisa saja berniat memberikan suap. Tapi, kalau calon penerima suap tidak tahu-menahu ada rencana itu, apa iya dia harus disalahkan?” ucap Ali.

Sementara itu, Maqdir Ismail menilai pertemuan Ahmad Yani dan Firli Bahuri bukan peristiwa yang melatari penyuapan. Ia menyebutkan rencana suap sebesar US$ 35 ribu itu tak melibatkan Ahmad Yani. Apalagi penyidik tak bisa membuktikan ada pembicaraan soal suap dalam pertemuan Yani dan Firli.

Menurut dia, permintaan uang US$ 35 ribu adalah inisiatif Elfin Muchtar selaku pejabat yang membidani proyek pengadaan barang dan jasa. “Jadi tidak cukup unsur kalau kasus ini menyeret Ahmad Yani atau Firli,” katanya.

RIKY FERDIANTO, LINDA TRIANITA, PARLIZA HENDRAWAN (PALEMBANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus