Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sun Yat Sen, tokoh yang tidak begitu asing terutama bagi rakyat Tiongkok. Lahir pada 12 November 1866, ia kemudian tumbuh menjadi seorang revolusioner besar yang berambisi membebaskan negerinya dari segala macam penindasan. Terbukti di tahun 1911, dirinya berhasil memimpin gerakan revolusi Tiongkok. Berkat itu, hingga saat ini Sun dikenang sebagai Bapak Revolusi Tiongkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir Britannica, Sun Yat Sen lahir sebagai anak keenam dari keluarga petani miskin di Xiangshan, Guangdong, China Selatan. Namun, sejak remaja ia memiliki cita-cita luhur, yakni ingin membebaskan serta memerdekakan negerinya dari kekuasaan bangsa Manchu maupun imperialisme Barat. Untuk merealisasikannya, ia harus meninggalkan tanah kelahirannya untuk menimba ilmu di luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski di luar negeri Sun mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran, tidaklah mengurungkan niatnya dalam berpolitik. Sikap tegasnya dalam politik mulai nampak tatkala Tiongkok menyerahkan daerah Annam ke pihak Prancis pada 1884. Dengan tegas ia mengatakan bahwa hal itu merupakan tindakan bodoh yang dilakukan pemerintah Manchu.
“Inilah tahun yang menentukan nasibku. Kita telah dikalahkan Perancis, maka niatku sangat jelas, yakni merobohkan dinasti Manchu dan mendirikan negara republik. Jabatanku sebagai dokter hanya muslihat untuk memasuki segala kalangan dan menyiarkan cita-citaku,” ucap Sun Yat Sen sebagaimana ditulis Y. C. Wu dalam buku Sun Yat Sen Bapak Republik Tiongkok (1950).
Sejak saat itu, semangat revolusionernya kian membara dengan mendirikan partai Revive China Society. Melalui partainya ini, ia meminta bantuan kepada kaum revolusioner yang ada di luar negeri, baik di Amerika hingga Eropa. Pemberontakan pertamanya dimulai pada 1899 yang dibantu oleh partai-partai lain di Tiongkok, namun berakhir gagal.
Tetapi kegagalannya tidak membuat putus asa, justru dirinya mendapat dukungan dari berbagai pihak, dari para bangsawan, mahasiswa, buruh, hingga petani untuk memulai revolusi. Pada 1905, Sun pergi ke Jepang untuk meminta bantuan sekaligus meracik kembali ideologi partainya yang didasarkan pada Asas-asas San Min Chui I. Di dalamnya mencakup semangat Nasionalisme, Demokrasi, dan Perikehidupan.
Tak lama, pemberontakan besar-besarannya bernama Huizhou terhadap Dinasti Qing dimulai. Lagi-lagi hal itu belum membuahkan hasil. Enam tahun berselang, Sun menggalang dana, persenjataan, dan menambah pasukan di Amerika Serikat. Momen bentrokan antara aparat Dinasti Qing dengan pasukan revolusi menjadi pijakan awal keberhasilan Sun. Pasukannya berhasil menguasai wilayah Wuchang dan merebut dua kota lainnya di Wuhan.
Momen penting itu sekaligus menjadi awal kehancuran Dinasti Qing. Puncaknya pada Desember 1911, pasukan revolusi gencar melakukan pemberontakan yang menjalar ke berbagai daerah. Di saat itu, Revolusi Tiongkok yang digagas Sun mencapai kemenangannya yang berhasil menggulingkan Dinasti Qing.
Sun Yat Sen kemudian ditetapkan sebagai presiden pemerintahan sementara Republik China untuk pertama kali. Namun, Sun menyadari bahwa dirinya tidak cukup banyak andil pada kemenangan revolusi ini sehingga memutuskan mundur pada 10 Maret 1912 dan menyerahkan jabatannya kepada Yuan Shikai. Di usianya ke 58 tahun, Sun meninggal dunia. Berkat jasanya membebaskan rakyat Tiongkok dari penindasan, dia dikenang sebagai Bapak Revolusi Tiongkok hingga saat sekarang.
HARIS SETYAWAN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.