Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan itu berlangsung beberapa jam di kamp di Aung Mingalar di Sittwe, ibu kota Rakhine, Myanmar, awal September lalu. Dari situ, Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi Ketua Komisi Pengawasan Kawasan Rakhine untuk Urusan Rohingya, mulai bersentuhan langsung dengan benang kusut ihwal minoritas yang sekarang hidup rentan tanpa kewarganegaraan itu.
Tiba di Bandar Udara Sittwe, Rakhine, Annan dan kawan-kawan sudah dihadang kelompok ultranasionalis. Mereka menganggap kedatangan Annan sebagai campur tangan asing. Sedangkan Partai Nasional Arakan, partai terbesar di Rakhine, serta Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan memprotes tiga warga asing di komisi tersebut.
Wakil Ketua Partai Nasional Arakan, Aye Nu Sein, mengatakan kepada Voice of America (VOA), pembentukan komisi yang dipimpin orang asing tanpa latar belakang pengetahuan dan kapasitas yang cukup tentang keadaan di Rakhine itu meremehkan hak-hak semua kelompok etnis Burma dan kedaulatan Myanmar. ”Konflik di Rakhine adalah masalah internal Myanmar sehingga tidak perlu keterlibatan asing,” tutur Nu Sein. Menurut dia, bekas presiden Thein Sein juga telah membentuk komisi semacam itu. ”Temuan-temuannya masih berlaku dan mampu mengatasi masalah tersebut.”
Komisi Pengawasan Rakhine dibentuk pemerintah Myanmar. Dipimpin Kofi Annan, komisi beranggotakan Ghassan Salame, ilmuwan Libanon yang pernah menjadi staf ahli Annan, juga Laetitia van den Assum, diplomat Belanda dan bekas penasihat ahli Program PBB tentang HIV dan AIDS. Enam anggota lainnya adalah warga Myanmar yang terdiri atas dua warga Rakhine dari kelompok Buddha dan dua warga mewakili muslim serta dua wakil pemerintah.
Komisi ini hasil pembicaraan Annan dengan Aung San Suu Kyi, Menteri Luar Negeri Myanmar. Selama satu tahun komisi bertugas mencari penyelesaian konflik keagamaan antara kelompok Buddha dan kelompok minoritas muslim di wilayah barat Myanmar itu, juga memastikan bantuan kemanusiaan serta hak dan rekonsiliasi bagi warga Rakhine.
Inilah dampak konflik keagamaan di Rakhine—berpenduduk 1,1 juta orang. Konflik terjadi pada 2012 saat lebih dari 100 orang, sebagian besar etnis Rohingya, tewas dalam bentrokan berdarah dengan mayoritas umat Buddha Myanmar. Akibatnya, puluhan ribu warga Rohingya melarikan diri dengan perahu reot untuk mencari perlindungan ke negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Kejadian nahas menimpa sebagian dari mereka yang tewas di tengah perjalanan atau menjadi korban perdagangan manusia. Bagi yang bertahan, kelompok minoritas muslim itu berlindung di kamp-kamp pengungsi dalam kondisi kumuh.
Tanpa kewarganegaraan, orang-orang Rohingya tidak bisa bergerak bebas dan perlu izin untuk mendapatkan perawatan medis. Namun, pada saat yang sama, mayoritas Buddha di Rakhine merasa tersudut, diabaikan oleh masyarakat internasional.
Aung San Suu Kyi meminta masyarakat internasional tak terus-menerus menyoroti persoalan hak asasi manusia di Myanmar. Berbicara pertama kali di depan sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, pemenang Nobel Perdamaian itu berjanji mewujudkan keselarasan, perdamaian, dan kemakmuran di Negara Bagian Rakhine. ”Saya meminta pemahaman dan kontribusi konstruktif dari masyarakat internasional,” ujarnya pada Rabu dua pekan lalu.
Suu Kyi menegaskan komitmennya menciptakan perdamaian, stabilitas, dan pembangunan bagi semua komunitas di Myanmar. Salah satu yang dilakukan membentuk Komisi Pengawasan di Rakhine yang dipimpin Annan. Namun, dalam pidato itu, Suu Kyi tidak menyebut ”Rohingya”, tapi ”Bengali”.
Umat Buddha di Rakhine menganggap warga Rohingya imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun mereka sudah menetap di Myanmar selama beberapa generasi. Namun, merujuk pada Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1982, mayoritas umat Buddha di Myanmar hanya mengenal 130 kelompok etnis di Burma. Rohingya tidak termasuk, karena itu mereka menyebut ”Bengali” atau migran ilegal dari Bangladesh. Ironisnya, Bangladesh mengusir kelompok minoritas muslim yang berjumlah hampir 300 ribu itu.
Mereka pun menolak kembali ke Myanmar. Walhasil, nasib mereka terkatung-katung tanpa status kewarganegaraan. Mereka mencari penghidupan di negara lain. Hingga akhir November 2014, ada 40.070 pengungsi Rohingya yang terdaftar di badan pengungsi PBB (UNHCR) di Malaysia. Adapun di Indonesia terdapat 738 pengungsi Rohingya dari Myanmar hingga akhir Februari 2015.
Nehginpao Kipgen, pengamat politik Myanmar, dalam tulisan opini di Bangkok Post, menilai masalah identitas bakal jadi tantangan besar bagi komisi ini. Warga muslim di Rakhine menyebut diri ”Rohingya”, sedangkan umat Buddha di Rakhine, dan banyak di Myanmar, menyebut mereka ”Bengali”. Walhasil, untuk menenangkan kedua belah pihak, dia menyarankan penyebutan ”muslim Rakhine”.
Persoalan lain yang tak kalah rumit adalah status kewarganegaraan. Myanmar belum menentukan status kewarganegaraan kelompok minoritas muslim tersebut. Direktur Eksekutif Pusat Studi Asia Tenggara dari Jindal School of International Affairs ini menilai Myanmar ingin menjawab pertanyaan sensitif itu menurut hukum kewarganegaraan 1982.
Di Myanmar ada tiga kategori kewarganegaraan, yakni warga negara asli, warga negara asosiasi, dan warga negara naturalisasi. Warga negara asli adalah orang yang tinggal di Myanmar sebelum 1823 atau lahir dari orang tua turun-temurun warga negara Myanmar. Warga negara asosiasi adalah mereka yang memperoleh kewarganegaraan melalui Undang-Undang Persatuan Kewarganegaraan Tahun 1948. Adapun warga negara naturalisasi adalah orang-orang yang tinggal di Burma sebelum 4 Januari 1948 dan mengajukan permohonan kewarganegaraan setelah 1982. Jika merujuk pada aturan tersebut, dampaknya, banyak orang Rohingya akan dianggap tidak memenuhi syarat.
Menurut Kipgen, Komisi Pengawasan harus berbicara dengan pemerintah Dhaka. Soalnya Dhaka, yang sudah menjadi tuan rumah bagi sekitar 300 ribu orang Rohingya, jelas-jelas menolak mereka sebagai warga negaranya. Kipgen berpendapat, persoalan di Rakhine bak teka-teki yang bisa dijawab dengan rekonsiliasi jika muslim dan umat Buddha di Rakhine bersedia berkompromi serta menghormati identitas dan budaya masing-masing. ”Adanya warga asing di komisi itu bisa memberikan ide netral yang dapat diterima bersama-sama.”
SUKMA LOPPIES (DAILY MAIL, DAILY STAR, ASSOCIATED PRESS, REUTERS, THE GUARDIAN, BANGKOK POST)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo