Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kondom pun Tak Terbeli

Krisis ekonomi di Venezuela makin parah. Jutaan penduduk membanjiri negara-negara tetangga. Sebelas negara Amerika Latin berunding.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondom pun Tak Terbeli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARIANA Zuniga, seorang wartawan di Karakas, ibu kota Venezuela, berjalan ke sebuah toko untuk membeli kondom pada Senin pekan lalu. Ternyata barang yang dicarinya tersedia sangat sedikit dan harganya mencengangkan: 1 juta bolivar atau sekitar Rp 60 ribu sekotak. Padahal upah minimum nasional negeri itu, yang baru saja dinaikkan, hanya 3 juta bolivar per bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiperinflasi telah membuat mata uang bolivar terpuruk dan bahkan kondom pun menjadi barang mewah yang harganya tak terjangkau. "Kami hidup di tengah krisis ekonomi," kata Zuniga kepada BBC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bencana ekonomi itu telah menyebabkan kelangkaan banyak barang, termasuk kondom dan alat kontrasepsi lain. Banyak perempuan kemudian memilih untuk mensterilkan diri. Sebuah klinik di Karakas yang dikunjungi Zuniga menyatakan telah mensterilkan 400 perempuan pada 2017 dan jumlahnya terus meningkat. Tahun ini angka itu sudah dicapai pada Mei lalu.

Krisis telah mencengkeram negeri di Amerika Latin itu sejak Nicolás Maduro berkuasa pada 2013. Inflasi mencapai 82 ribu persen pada Juli lalu dan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan angkanya mencapai 1 juta persen akhir tahun ini. Hal ini membuat harga sejumlah barang meroket dalam tempo pendek karena mata uangnya hampir tak bernilai.

Produksi minyakkomoditas andalan negeri itudan impor menurun drastis. Perusahaan-perusahaan multinasional angkat kaki dan kantor-kantor kedutaan asing tutup atau mengurangi stafnya. Pirelli, pabrik ban Italia, menghentikan sementara produksinya karena ketiadaan bahan baku. Kellogg, Kimberly-Clark, dan Clorox adalah beberapa perusahaan Amerika Serikat yang hengkang dari sana.

Perusahaan-perusahaan domestik juga tutup. "Kami cuma punya 23 persen dari jumlah yang kami miliki 20 tahun lalu," ujar Victor Maldonado, mantan Kepala Kamar Dagang dan Industri Karakas. "Dulu kami punya sekitar 650 ribu perusahaan swasta, kini cuma sekitar 140 ribu."

"Karakas memiliki nuansa yang menakutkan dari sebuah kota modern yang penghuninya secara permanen libur," kata David Smilde, peneliti di Washington Office on Latin America, seperti dikutip The Financial Times. "Bangunan, jalan, dan jalan raya sama seperti sebelumnya, tapi dengan setengah lalu lintas, separuh pejalan kaki, serta kurang dari separuh barang dan jasa yang dijual."

Krisis ini diperparah oleh kondisi politik dalam negeri. Nicolás Maduro menggelar pemilihan umum presiden, yang diboikot oleh oposisi, pada Mei lalu dan kembali terpilih sebagai presiden. Dia lantas menindak lawan-lawan politiknya lebih keras. Dua tokoh oposisi, Leopoldo Lopez, pemimpin partai Voluntad Popular, dan Antonio Ledezma, pemimpin partai Aliansi Rakyat Berani, dipenjara pada awal Agustus lalu setelah selama ini dikenai tahanan rumah.

Protes terhadap tindakan keras Maduro pecah di mana-mana, bahkan disertai dengan serangan bom. Awal Agustus lalu, dua drone berisi bom meledak di dekat Maduro, yang sedang berpidato merayakan ulang tahun angkatan bersenjata Garda Nasional ke-81 di Karakas. Militer menjatuhkan salah satu drone secara elektronik, tapi drone kedua menabrak sebuah apartemen sekitar dua blok dari lokasi Maduro berpidato di hadapan ribuan tentara. Maduro selamat, tapi tujuh tentara cedera.

"Saya baik-baik saja, saya hidup, dan setelah serangan ini saya akan lebih tegas mengikuti jalan revolusi," ucap Maduro setelah insiden itu. "Keadilan! Hukuman maksimum! Tak akan ada ampunan."

Esoknya, polisi menahan enam orang yang dituduh berhubungan dengan serangan ini. Belakangan, jumlah orang yang ditahan mencapai 14. Mereka antara lain Mayor Jenderal Alejandro Perez Gomez, Kolonel Pedro Javier Zambrano, dan Juan Requesens, wakil ketua parlemen nasional dari partai Primero Justicia. Penangkapan para perwira militer ini terjadi setelah penahanan sejumlah tentara yang dituduh berkomplot untuk menjatuhkan Maduro. Kepada AFP, pakar militer Rocio San Miguel menilai perburuan terhadap para perwira ini adalah bagian dari "pembersihan sejak Maduro kembali berkuasa".

Agustus lalu, Presiden Maduro mengumumkan akan menerapkan sejumlah kebijakan baru untuk mendongkrak perekonomian. "Saya ingin negeri ini pulih dan saya punya formulanya. Percayalah," kata politikus 55 tahun itu dalam pidato di televisi. "Ini formula revolusi... unik di dunia."

Paket kebijakan itu meliputi kenaikan pajak, kenaikan harga bahan bakar minyak untuk sebagian kendaraan, dan pengangkatan kembali mata uang bolivar. Tapi sejumlah ekonom dan tokoh oposisi ragu akan rencana Maduro itu karena mata uang bolivar sudah tak berharga. Sebuah survei tahunan oleh tiga perguruan tinggi yang dipimpin Andrés Bello Catholic University di Karakas baru-baru ini menunjukkan bahwa 90 persen orang Venezuela, negeri terkaya di Amerika Latin pada 1970-an, hidup dalam kemiskinan dan 60 persen mengaku kelaparan karena tak bisa membeli makanan.

Krisis itu telah mendorong banyak warga Venezuela mengungsi ke negara-negara tetangga. Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan 2,3 juta orang atau 7 persen penduduk telah meninggalkan negerinya sejak 2015, kebanyakan ke Brasil, Cile, Kolombia, Ekuador, dan Peru.

Maduro menyebutkan jumlahnya cuma 600 ribu dan berulang kali menertawai warganya yang mengungsi itu. Ia mengatakan mereka telah jatuh dalam propaganda untuk meninggalkan negerinya dan menjadi pembersih toilet di Miami, Amerika. Wakil Presiden Delcy Rodriguez menilai keributan soal eksodus itu "dirancang oleh Pentagon untuk membenarkan intervensi ke Venezuela".

"Situasi ini kritis dan akan bertambah buruk," ujar Marisela Guedez kepada The Guardian. Perempuan pegawai negeri Venezuela yang bersama sejumlah orang senegaranya mengungsi ke Kolombia melalui Tulcan, kota di perbatasan Ekuador, itu menjual rambutnya seharga sekitar Rp 500 ribu untuk ongkos perjalanannya. "Dulu saya tak pernah berpikir meninggalkan Venezuela, tak pernah sekali pun." Perempuan tunawisma itu terpaksa meninggalkan lima anaknya di Karakas.

Banjir pengungsi ini telah merepotkan negara tetangga Venezuela. Bahkan di beberapa kota tempat pengungsi bermukim terjadi kerusuhan. Sejumlah negara kemudian menerapkan aturan ketat bagi para imigran, tapi PBB menyerukan agar negara-negara itu melonggarkan aturannya.

Namun, di Amerika Latin, Venezuela makin terkucil. Ekuador, sekutu Venezuela yang masih bertahan, akhirnya keluar dari Albaperjanjian dagang bagi negara sayap kiri yang dibentuk Venezuela dan Kuba pada 2004Juli lalu. Pertengahan Agustus lalu, Kolombia menyatakan keinginan menarik diri dari perundingan Unasur, persekutuan negara-negara Amerika Selatan, yang macet selama berbulan-bulan karena perbedaan pandangan. "Kami tidak bisa terus bergabung dengan lembaga yang telah menjadi kaki tangan diktator terbesar Venezuela," kata Ivan Duque, Presiden Kolombia yang baru.

Meski demikian, pejabat imigrasi dari sebelas negara Amerika Latin akhirnya berkumpul di Quito, ibu kota Ekuador, Rabu pekan lalu, untuk membahas perkara pengungsi ini. Mereka akhirnya bersepakat mengizinkan warga Venezuela masuk ke negara mereka meskipun dokumen perjalanannya telah kedaluwarsa.

Keputusan ini setidaknya akan membuat lega sebagian imigran yang tak punya paspor yang sah karena untuk memperbaruinya butuh waktu bertahun-tahun. Warga Venezuela sudah lama mengeluhkan sulitnya pembuatan paspor dan dokumen resmi lain karena merajalelanya korupsi. Mereka harus menyuap sekitar Rp 15 juta untuk memperoleh paspor dan harganya bisa naik lima kali lipat bila dibutuhkan segera, misalkan untuk menengok saudara yang sakit di luar negeri.

Pemerintah menyalahkan saimesebutan bagi mafia di kantor perizinansebagai penyebab masalah ini. Juni lalu, polisi menangkap empat saime dan mengganti direkturnya pada Juli lalu. Tapi puluhan ribu warga Venezuela masih antre untuk mendapatkan paspor dan antrean itu terus bertambah panjang.

Iwan Kurniawan (Bbc, The Financial Times, The Guardian)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus