Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menawarkan penataan ulang surat utang pada Mei lalu membuat Sarwono Sudarto bersyukur. Direktur Keuangan PLN itu lega karena kebijakan reprofiling global bond tersebut terasa manfaatnya saat nilai tukar rupiah sempoyongan seperti sekarang. Pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sempat menyentuh 15 ribu di pasar spot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa kebijakan itu, keuangan PLN akan tertekan. Sebab, perseroan membutuhkan valuta asing dalam jumlah besar. Perusahaan harus membayar surat utang yang jatuh tempo pada Agustus 2019 sebesar US$ 750 juta dan US$ 1,25 miliar pada Januari 2020. Ada juga yang jatuh tempo pada 2037. PLN telah menukarnya dengan global bond baru yang akan jatuh tempo pada 2028 dan 2048.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sarwono memastikan tak ada obligasi yang jatuh tempo pada tahun depan. "Jadi, kalau sudah reprofiling, jatuh temponya sudah berubah," katanya, Kamis pekan lalu. Dengan penukaran itu, PLN mendapat penurunan bunga. Jangka waktu jatuh temponya pun menjadi lebih panjang, yakni 10 tahun dan 30 tahun. Karena itu, PLN belum membutuhkan dolar dalam jumlah besar hingga akhir tahun nanti.
Dalam sejumlah pembahasan di lingkungan pemerintah yang berkaitan dengan pelemahan kurs rupiah, PLN dan PT Pertamina (Persero) beberapa kali menjadi sorotan. Dua perusahaan negara itu dikenal sebagai penyedot dolar karena pengeluaran keduanya banyak menggunakan mata uang Negeri Abang Sam.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pernah mengungkapkan bahwa kebutuhan Pertamina mencapai US$ 150 juta per hari. Bila mengacu pada kurs tengah rupiah Bank Indonesia, yang pada Jumat sore pekan lalu mencapai 14.884, keperluan valas perusahaan minyak dan gas negara itu lebih dari Rp 2,2 triliun per hari. Itu baru kebutuhan dana untuk mengimpor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak, belum termasuk keperluan lain.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan perusahaan masih menggunakan asumsi nilai tukar yang sama dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, yakni 13.400 per dolar Amerika. Angka itu akan direvisi dalam pembahasan rencana kerja anggaran perusahaan yang sedang dilakukan. "Kami tengah mendiskusikannya bersama Kementerian BUMN," ujarnya, Kamis pekan lalu. Revisi juga berkaitan dengan perubahan anggaran subsidi.
Meski kebutuhan valas perseroan diakomodasi bank sentral, Arief menjelaskan, Pertamina melakukan hedging atau lindung nilai sebesar 20 persen sesuai dengan aturan Bank Indonesia. Ia memastikan perusahaan tidak akan membeli dolar jika harga yang ditawarkan terlalu tinggi alias tidak rasional.
Untuk menekan risiko selisih kurs, pada November tahun lalu Pertamina bekerja sama dengan tiga bank badan usaha milik negara, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Mereka menyepakati perjanjian induk derivatif Indonesia yang menjadi dasar pelaksanaan transaksi derivatif.
Melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dan Pihak Domestik, bank sentral mengakomodasi transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah dengan instrumen option dan call spread option. Pertamina menilai ada peluang meningkatkan efisiensi dan efektivitas mitigasi risiko valas dengan instrumen tersebut. "Ini keuntungan bagi Pertamina. Dengan instrumen itu, kita dapat membeli mata uang dolar Amerika dengan harga yang sudah kita tentukan sebelumnya," kata Vice President Treasury Pertamina Edwardi, saat itu.
Selain membiayai belanja minyak mentah dan produk BBM, Pertamina sedang membutuhkan dolar dalam jumlah besar untuk menyelesaikan pengambilalihan ladang minyak Blok Rokan di Riau. Wilayah kerja yang sebelumnya dikelola PT Chevron Pacific Indonesia itu memiliki produksi rata-rata 200 ribu barel per hari saat ini. Setelah kontrak Chevron berakhir, pemerintah memberikannya kepada Pertamina, yang dinilai menawarkan proposal lebih baik. Pertamina mengajukan bonus tanda tangan US$ 784 juta dan komitmen kerja pasti senilai US$ 500 juta. Arief Budiman memastikan Pertamina tidak akan mencari dolar di dalam negeri, tapi akan membiayainya dari pinjaman perbankan luar negeri.
Transaksi lindung nilai juga dilakukan PLN. Sarwono Sudarto menyebutkan perusahaan membayar premi atas hedging sebanyak 25 persen dari net open position (selisih antara kewajiban dan aset). Perseroan juga memiliki pinjaman siaga senilai US$ 1,5-2 miliar. Pinjaman dari perbankan luar negeri itu bisa ditingkatkan hingga US$ 3 miliar dengan bunga LIBOR+1.
Dalam program reprofiling, PLN mengeluarkan global bond US$ 2 miliar dalam dua tenor pada Mei lalu. Obligasi itu masing-masing bernilai US$ 1 miliar dengan tenor 10 tahun dan 30 tahun. Dana yang diperoleh digunakan untuk membeli kembali atau melunasi secara dini beberapa surat utang yang diterbitkan pada 2007 dan 2009. Pinjaman yang memiliki tingkat bunga 8 persen, 7,75 persen, dan 7,875 persen itu ditukar dengan obligasi baru dengan tingkat bunga 5,45 persen dan 6,15 persen. Aksi korporasi tersebut diyakini akan mengurangi risiko tingkat bunga yang lebih mahal pada masa mendatang, seiring dengan rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika, The Federal Reserve, pada tahun ini dan tahun depan.
PLN memerlukan valas untuk berbagai keperluan. Transaksi perusahaan yang menggunakan mata uang non-rupiah antara lain pembelian batu bara, kontrak dengan pengembang listrik swasta (independent power producer), serta pembelian BBM sebagai sumber energi pembangkit. Pembelian BBM itu termasuk untuk bahan bakar lima unit kapal pembangkit Turki yang beroperasi di Belawan, Mataram, Ambon, Kupang, dan Amurang, Sulawesi Utara, yang sempat dipersoalkan Badan Pemeriksa Keuangan.
Menurut Sarwono, kontrak jual-beli listrik swasta yang lama memang menggunakan mata uang dolar Amerika. Tapi, belakangan, PLN membuat perjanjian memakai rupiah. Ihwal bahan bakar minyak pembangkit, Sarwono mengklaim penggunaannya terus diperkecil. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2018-2027, target bauran energi pembangkitan pada akhir 2025 adalah batu bara 54,4 persen, energi baru terbarukan 23 persen, gas 22,2 persen, dan BBM 0,4 persen. Tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan pemakaian BBM sekitar 5 persen.
Adapun pemakaian bahan bakar minyak kapal pembangkit Turki, Sarwono melanjutkan, porsinya sangat kecil. Sewa kapal pembangkit itu ada yang akan habis masa kontraknya dalam waktu dekat.
Sama seperti Pertamina, PT Inalum (Persero) tidak akan menyedot dolar di dalam negeri untuk menuntaskan pengambilalihan 51 persen saham PT Freeport Indonesia senilai US$ 3,5 miliar. Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin memastikan perseroan telah mendapat komitmen pinjaman dari perbankan luar negeri. Selanjutnya, Inalum berencana menerbitkan global bond dalam waktu dekat untuk melunasi pinjaman perbankan yang mahal. "Diganti dengan obligasi yang murah dan jatuh temponya panjang," tuturnya, pekan lalu.
Retno Sulistyowati
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo