Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang gelar Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, tim penyidik Kepolisian Resor Kota Depok memaparkan temuan dan bukti permulaan dugaan korupsi Nur Mahmudi Ismail ketika menjadi Wali Kota Depok, Jawa Barat, Rabu empat pekan lalu. Ia diduga menilap anggaran proyek jalan. Tanpa perdebatan panjang, para petinggi Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengiyakan usul penyidik menjadikan politikus Partai Keadilan Sejahtera itu sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi bukti telak dugaan korupsi Wali Kota Depok periode 2006-2011 dan 2011-2015 tersebut. Ada juga keterangan saksi dan bukti surat-menyurat. Dua pekan setelah gelar perkara, polisi mengumumkan penetapan tersangka bekas Menteri Kehutanan dan Perkebunan itu. Sekretaris Daerah Depok ketika itu, Harry Prihanto, turut menjadi tersangka. "Fakta penyelidikan, ada anggaran?yang dikeluarkan untuk pengadaan tanah pada?2015," kata Kepala Polresta Depok Komisaris Besar Didik Sugiarto, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polresta Depok menerima laporan dugaan korupsi ini pada November tahun lalu. Semula polisi mendapat laporan dugaan penggelembungan harga (markup) tanah oleh Pemerintah Kota Depok untuk pelebaran Jalan Nangka di Tapos. Dalam gelar perkara pertama, dugaan penggelembungan itu kurang bukti. Polisi justru mendapatkan temuan lain berupa kejanggalan proses penganggaran pengadaan tanah untuk pelebaran jalan di simpang Jalan Raya Bogor hingga Jalan Nangka pada Desember 2015.
Pengadaan tanah seluas 900 meter persegi tersebut diduga tidak sesuai dengan prosedur dan tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut penyidik, pengadaan ini bertentangan dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 43-46 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Pemerintah Daerah.
Dengan kejanggalan awal itu, polisi meminta BPKP melakukan audit pada Februari lalu. Saat melakukan pengecekan lapangan, auditor pemerintah menemukan pembebasan tanah oleh Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Depok tanpa menggunakan hasil penilaian dari konsultan (appraisal). Dinas Bina Marga juga tak melakukan survei harga tanah.
Temuan lain adalah bidang tanah yang dibebaskan seharusnya menjadi kewajiban Grup Cempaka sesuai dengan surat ketetapan izin lokasi dan surat persetujuan prinsip dari Pemerintah Kota Depok pada 2012. Grup Cempaka akan membangun superblok 13 hektare dengan nama apartemen Green Lake View di Jalan Nangka tersebut.
Menjelang akhir masa jabatan sebagai Wali Kota Depok pada 2015, Nur Mahmudi Ismail justru memasukkan anggaran pengadaan tanah untuk pelebaran Jalan Nangka sepanjang 500 meter ke DPRD. Alasan pelebaran untuk mengatasi kemacetan di Jalan Nangka. Padahal total panjang Jalan Nangka sekitar 1,8 kilometer. "Pelebaran hanya di sekitar apartemen," ucap salah seorang auditor.
Saat rapat pembahasan anggaran itu, semua anggota DPRD menolak. Pengajuan anggaran ternyata juga pernah dilakukan Nur Mahmudi sebesar Rp 6 miliar pada 2013. Saat itu Dewan juga menolaknya. "Kami juga sudah minta dihapus kegiatannya," ujar Ketua DPRD Depok Hendrik Tangke Allo.
Kendati tak disetujui Dewan, Nur Mahmudi ngotot memasukkan dana itu ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bersama-sama Sekretaris Daerah Harry Prihanto, ia "menyulap" anggaran jalan itu seolah-olah menjadi bagian dari pos bujet sarana dan prasarana. Dari total anggaran senilai Rp 33 miliar di pos itu, Nur Mahmudi mengalokasikan Rp 17 miliar untuk pembebasan tanah di Jalan Nangka. Angka ini berdasarkan pengajuan Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Depok Hardimankini terpidana korupsi proyek peningkatan Jalan Raya Pasir Putih, Sawangan, Depok.
Belakangan diketahui anggaran jalan itu masuk pos sarana dan prasarana setelah didapatkan keterangan sejumlah anak buah Nur Mahmudi. "Semua pegawai yang diperiksa mengaku itu arahan atau instruksi langsung dari wali kota," kata seorang penegak hukum.
Dari penelusuran kepolisian, ada 18 bidang tanah yang dibebaskan untuk pelebaran dan pembangunan jalan tersebut. Tanah itu dimiliki 15 orang. Duit pembayaran senilai Rp 10,7 miliar ditransfer ke 15 rekening para pemilik tanah pada Kamis malam, 31 Desember 2015. Pembayaran inilah yang dianggap sebagai kerugian negara dan menjadi bukti polisi menetapkan Nur Mahmudi sebagai tersangka. "Walau fisik tanahnya ada, seharusnya pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang," ujar Komisaris Besar Didik Sugiarto.
Setelah pembayaran, pemerintah daerah memberikan dokumen surat pelepasan hak (SPH) kepada para pemilik tanah. Namun, menurut seorang penegak hukum, tak ada pernyataan yang mengharuskan warga pindah dari tanah yang sudah dibeli pemerintah. "Batas-batasnya juga tidak dicantumkan di SPH," katanya.
Pekan lalu, Tempo menyambangi lokasi pembebasan lahan tersebut. Semua bangunan di atas tanah yang telah dibayar Pemerintah Kota Depok di Jalan Nangka sudah dibongkar. Ketua RT 3 RW 1 Kelurahan Sukamaju, Asmayadi, salah seorang yang menerima pembayaran lahan tersebut. Rumah Asmayadi seluas 36 meter persegi dibayar Rp 396 juta. Tanahnya dihargai Rp 11 juta per meter. Warga lain yang tak mau disebutkan namanya juga mengaku menerima pembayaran sekitar Rp 241 juta dari Dinas Bina Marga.
Kepada polisi, bos Grup Cempaka, Teddy Budianto, mengakui pembebasan tanah untuk pelebaran jalan itu memang kewajiban pengembang. Juru bicara Grup Cempaka, Ikhsan, mengatakan hal yang sama. Nur Mahmudi Ismail sebelumnya memang berjanji kepada pengembang melebarkan jalan yang menjadi akses masuk ke apartemen Green Lake View tersebut. Lokasi apartemen dekat dengan pintu jalan tol Cijago atau sekitar 300 meter dari persimpangan Jalan Nangka-Jalan Raya Bogor.
Janji itu dilontarkan ketika Grup Cempaka mengurus perizinan pada 2012. Sebelumnya, pembangunan apartemen terhambat perizinan. Menurut Ikhsan, Cempaka menginginkan urusan administrasi cepat rampung. Ikhsan mengaku dibantu oleh pihak lain untuk mendapatkan izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Depok. "Pas minta izin itu tentu ada biayanya," ucap Ikhsan. Ia merahasiakan jumlah uang yang telah digelontorkan dan peruntukannya.
Setelah menyerahkan sejumlah uang, kata Ikhsan, pengembang mendapatkan keistimewaan, seperti janji pelebaran Jalan Nangka yang semula 5 meter menjadi 14 meter. "Kami tetap menunggu janji pelebaran jalan. Sampai sekarang belum ada hasilnya," ujar Ikhsan.
Nur Mahmudi Ismail tak hadir memenuhi panggilan penyidik pada Jumat pekan lalu. Melalui pengacaranya, pria 56 tahun itu beralasan tengah sakit dan amnesia setelah terjatuh saat berolahraga. Pengacara Nur Mahmudi, Iim Abdul Halim, mengatakan kliennya sedang mempersiapkan medical check-up lanjutan pada Senin ini. Ia memastikan bekas Presiden Partai Keadilan itu siap diperiksa setelah 10 September. "Insya Allah setelah tanggal 10?beliau akan datang ke Polres," kata Iim. Menurut dia, kliennya tidak melakukan korupsi seperti yang dituduhkan polisi.
Linda Trianita, Rusman Paraqbueq, Irsyan Hasyim (Depok)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo