Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kor yang Membelah Amerika

Pemilu di AS usai sudah. Susul-menyusul dalam penghitungan suara, posisi Bush unggul hingga Selasa malam. Kontributor Tempo, Dini Djalal (Washington, DC) dan Wendi Ruky-Mogul (South Carolina), melaporkan dari kantong Demokrat dan Republik. Laporan keduanya diperkaya dan dituliskan kembali oleh wartawan Tempo, Akmal Nasery Basral.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH contoh globalisasi terbaru. Seorang pemimpin Palestina tergolek lemah di rumah sakit Prancis, menerima telepon dari koleganya di Mesir, sembari menyaksikan pemilihan Presiden Amerika Serikat. ”Sebab, tak seorang politisi pun yang absen memantau jalannya pemilu sekarang,” ujar Yasser Arafat seperti dikutip AFP, Selasa pekan ini. ”Saya tidak pro-Bush atau pro-Kerry. Saya pro-Tuhan,” ia menandaskan.

Bahkan Usamah bin Ladin, yang selama ini nyaris tak terdeteksi keberadaannya, tiba-tiba muncul dan memberikan ”kata pengantar” lewat rekaman video yang diputar stasiun Al-Jazeera, Jumat pekan lalu. Kontan saja, baik Bush maupun Kerry berusaha memanfaatkan ”bola liar” Al-Qaidah itu untuk keuntungan masing-masing (lihat, Baku Jegal di Lapak Tak Bertuan).

Sebetulnya, dalam pertarungan untuk menjadi Presiden AS ke-44 dengan masa jabatan tahun 2004-2008 ini, ada enam pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertanding. Namun, kecuali Ralph Nader dari Partai Independen yang masih sering disebut-sebut, ketiga calon lainnya praktis tak dikenal dunia. Sehingga praktis hanya Bush dan Kerry yang bertarung untuk merebut hati sekitar 120 juta pemilih yang tersebar ribuan kilometer di lima kawasan waktu.

Tapi, lain Arafat, lain lagi Fidelis Meltonwohu. Sopir taksi kelahiran Nigeria yang sudah 15 tahun menjadi warga negara Amerika Serikat itu saat ini bermukim di Washington, DC. Ia bersedia melakukan tindakan apa pun untuk men-dukung Kerry—termasuk emoh mengangkut penumpang yang pro-Bush. ”Sebaiknya mereka beramai-ramai pindah ke Irak, dan menjadikan Bush sebagai Presiden Irak,” katanya dengan nada emosional kepada Tempo.

Antusiasme masyarakat dalam mengikuti pemilu kali ini memang cukup tinggi. Ketika pemilu dimulai persis pukul 7, barisan pemilih sudah membuat antrean cukup panjang di berbagai lokasi pemilihan. ”Baru sekarang saya mengalami hal seperti ini,” ujar Alison Smith, 36 tahun, warga Charleston, South Carolina. ”Biasanya cuma antre 10 menit,” katanya. Perjuangan yang lebih berat dialami Tara Singles, 32 tahun. ”Saya bela-belain nyetir lima jam dari Atlanta ke sini (Charleston), dengan seorang anak kecil yang terus rewel di jok belakang,” katanya tertawa. Soalnya, Singles, yang baru pindah ke Atlanta, ternyata lupa mendaftarkan alamat barunya kepada panitia pemilih sehingga ia harus balik ke daerah asalnya. Toh, ia tak menyesal. ”Ini pemilu paling bersejarah,” tuturnya tandas.

Spirit ”pemilu paling bersejarah” itu diamini warga Washington, DC, Kirstin Fearley, 30 tahun, yang setahun terakhir menjadi relawan Partai Demokrat. ”Kalaupun akhirnya kami kalah, saya telah melakukan semua hal yang saya bisa kerjakan agar kita menang,” tuturnya.

”Kita” dan ”mereka” akhirnya menjadi dua kata sakti yang menjadi kor favorit warga Amerika sekarang. Bandingkan sikap Fearley dengan Roger Casey, 17 tahun. Yang memisahkan tempat tinggal keduanya adalah Sungai Potomac. Fearley di Washington, DC, dan Casey di Virginia. Remaja yang memberikan suara untuk pertama kalinya itu memilih Bush. ”Cuma Bush yang bisa memerangi terorisme. Kerry sangat lemah,” demikian ia memberi alasan.

Pemilu kali ini juga menandakan peningkatan peran kaum minoritas, kendati masih tersandung banyak problem lapangan. Cookie Washington, 44 tahun, warga Afro-Amerika yang memberikan suara di bilik 20 B SD Ashley River, South Carolina, masih ingat suasana pemilu tahun 2000. Waktu itu, dari 345 pemilih terdaftar Afro-Amerika hanya 80 orang yang benar-benar memberikan suara. ”Tapi tahun ini saya berhasil merekrut 50 ribu pemilih, dan banyak sekali yang datang. Tidak mengherankan antrean jadi lebih panjang,” katanya.

Sementara itu, bagi Dewita Soeharjono, warga AS kelahiran Indonesia, banyaknya pembatasan hak sipil terhadap kaum minoritas yang terjadi pada masa pemerintahan Bush, terutama terhadap keturunan Asia, Hispanik, dan Arab, membuatnya terjun langsung memberikan advokasi di sekitar lokasi pemilihan suara tentang bagaimana caranya memilih Demokrat. ”Meskipun kedua partai sesungguhnya tak pernah benar-benar berusaha untuk memperoleh suara para imigran,” keluhnya.

Serunya dukung-mendukung itu juga tecermin pada berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara jajak pendapat (pollster) dan polarisasi pemihakan media massa, khususnya media cetak, yang jauh lebih solid ketimbang dalam Pemilu 2000. Profesor ilmu komputer berkebangsaan AS dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Andrew Tannenbaum, yang memasukkan input dari semua polling besar dan bersifat nasional, memprediksi hasil akhir yang didapat Kerry sebanyak 281 suara Badan Pemilih (electoral votes) berbanding 257 suara yang diraih Bush. Itu berarti Amerika Serikat akan memiliki seorang presiden baru.

Namun, bagi pakar hukum konstitusi Howard Gilman, yang juga menulis buku tentang kontroversi penghitungan suara Pemilu 2000, masalahnya tidaklah sematematis itu. Waktu itu nama Presiden Bush sebagai pemenang baru bisa dipastikan 36 hari setelah pemilihan melalui keputusan Mahkamah Federal. Artinya, ketatnya hasil penghitungan suara akan berpindah ke arena pertarungan di jalur hukum.

Apalagi kini kedua kubu sama-sama menerjunkan ribuan pengacara, terutama di wilayah abu-abu (swing states). ”Mereka akan jauh lebih siap dibandingkan dengan pada pemilu sebelumnya,” ujar Gilman. Ini bakal seru. ”Kalau memang perbedaan suara sangat tipis, kendati hanya di satu-dua negara bagian,” tutur profesor ilmu politik di New York University-Fredonia, Kevin McMahon, ”besar kemungkinan pemenangnya kembali diputuskan oleh pengadilan.”

Namun, kalau Anda tak sabar menunggu hasil terlalu lama, ada satu kiat cepat untuk mengecek siapa calon presiden yang memenangi pemilu. Cara yang jarang dilirik itu—karena terasa kurang ilmiah—adalah dengan melihat hasil pemungutan suara di sejumlah tempat yang disebut oleh David Leip, pembuat Atlas of US Presidential Election, sebagai ”lokasi Bellwether”. Bellwether adalah tempat (bisa negara bagian, atau county di sebuah negara bagian) di mana calon presiden selalu menang.

Dari sebelas kali pemilihan presiden terakhir (1960-2000), umpamanya, hanya ada satu negara bagian (Missouri) dan enam county di seantero AS yang selalu klop menghasilkan pemenang dengan presiden terpilih. Keenam county itu adalah Van Buren dan Logan (Arkansas), Vigo (Indiana), Eddy (New Mexico), Ferry (Washington), dan Lincoln (Missouri).

Namun, rasanya metode Bellwether ini tak akan disukai Arafat maupun mayoritas masyarakat dunia lainnya, yang emoh mengambil kalkulator dan menghitung satu per satu jumlah suara di tujuh lokasi itu, kecuali menunggu pengumuman resmi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus