Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDANG sedap-sedapnya menyantap pindang ikan patin di sebuah rumah makan Melayu di Pekanbaru, dua pekan lalu, mendadak listrik padam. "Beginilah nasib kami, Bang," kata perempuan pemilik restoran sambil menating lilin. "Sebentar hidup, sebentar mati. Untung saja belum ada tamu yang ketulangan."
Jangankan di restoran di tepi kota itu, bahkan di Hotel Aryaduta berbintang lima di Jalan Diponegoro nan bermartabat, listrik PLN seolah bahu-membahu bergotong-royong dengan generator lokal mengatasi gelap malam. Sukar dipercaya, giliran byar-pet ini terjadi di ibu kota sebuah provinsi penyumbang devisa negara terbesar dari sektor minyak dan gas bumi.
Sesungguhnyalah, kelap-kelip lampu di Riau bermula dari Kotopanjang, negeri kecil sekitar 100 kilometer di barat daya Pekanbaru. Di era represif Orde Baru, sebuah mimpi besar disemai di sini: proyek bendungan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Kotopanjang. Diputuskan pada 1982, PLTA Kotopanjang merupakan bendungan tunggal berskala besar dengan kapasitas listrik 114 megawatt.
Terletak sekitar 10 kilometer di bawah pertemuan Sungai Kampar Kanan dengan Batang Mahat, areal genangannya meliputi 124 kilometer persegi. Bukan hanya menelan jalan negara dan jalan provinsi, proyek megacita ini juga menenggelamkan 10 desa—delapan di Provinsi Riau dan dua di Provinsi Sumatera Barat. Sekitar 4.486 keluarga atau 15.273 penduduk yang tersebar di 10 desa harus "dimukimkan kembali" di tempat baru yang, janjinya, gemah ripah loh jinawi. Inilah Kedungombo dalam versi lebih kolosal.
Studi lingkungan yang setengah matang akhirnya menjadikan bendungan ini sumber derita. Listrik yang dihasilkannya ternyata cuma 17 megawatt. Pengaruhnya terhadap siklus banjir sangat sulit dikendalikan. Pada 28 Februari 1997, proyek yang didanai pemerintah Jepang itu mulai resmi digenangi. Setahun kemudian, selama dua bulan berturut-turut, banjir besar melibas Pangkalan, di luar area genangan. Sebelumnya, banjir alami di kawasan ini bersiklus 25 tahun sekali.
Oktober kemarin, belum lagi kemarau mencapai puncaknya, Kotopanjang kering beringsang. Tanjungbalit, Dusun Pasar Usang, pas di daerah genangan, muncul kembali ke permukaan. "Kota hantu" itu seperti timbul dari ketiadaan, dengan sisa-sisa tembok berlumpur dan sampan yang tersangkut di beranda masjid. "Saya balik ke sini, mencari ikan, karena di permukiman baru juga sulit mencari makan," kata Iswadi, 31 tahun.
Bersama lembaga advokasi setempat, gugatan korban penggusuran Kotopanjang kini bahkan sudah disidangkan tujuh kali di Chiho Syaibanso, Pengadilan Distrik Tokyo, Jepang. Dan di Pekanbaru, listrik tetap berkedap-kedip.
AL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo