Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU ada dua musim di Riau: hujan dan kemarau. "Kini pun tetap dua musim, musim banjir dan musim asap," kata Al Azhar, Ketua Harian Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR). Tawa berderai di pertemuan dengan para pemuka masyarakat Riau di Pekanbaru, bulan lalu itu. Mengutip Randai Kuantan, Al Azhar, master linguistik lulusan Universitas Leiden, Belanda, mencoba bermadah, "Ketika orang menghitung laba, kami menghitung tembuk baju…."
Riau mungkin punya cara yang unik untuk menertawakan ketelantarannya. "Jangan khawatir, musim asap itu pun tak akan lama lagi," kata Chaidir, dokter hewan yang "tersesat" menjadi Ketua DPRD Riau. "Sebab, hutan akan segera habis," ia mengunci gurauannya. Chaidir tak sekadar bercanda. Setiap hari hutan Riau berkurang 277 hektare. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, deforestasi berpacu 7,2 hektare per menit, pembalakan liar melenggang dua meter kubik per detik.
Sejak 1995-an industri kayu dan perkebunan di Riau mempraktekkan pola tebang, imas, dan bakar. Sejak itu pula asap rajin berkunjung secara tetap, dan dari 2001 ke depan banjir besar bertamu paling tidak sekali setahun. Pada 2001, Dinas Kehutanan Riau sudah mengingatkan, dengan lebih dari 350 perusahaan kayu di kawasan itu, setiap tahun dibutuhkan 14,7 juta meter kubik kayu. Kemampuan hutan alam dan hutan tanaman industri cuma 7,7 juta meter kubik per tahun.
Catatan itu sepertinya mengingatkan ancaman yang sedang ditanggungkan hutan Riau. Tapi, anehnya, justru Dinas Kehutanan pula yang mengeluarkan 112 izin IPK untuk melakukan pembalakan di atas lebih dari 50 ribu hektare hutan Riau. Karena itu, Walhi tidak semata-mata menyalahkan pengusaha. "Pemerintah daerah juga ikut bertanggung jawab," kata Zulfahmi, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari).
Pemerintah, misalnya, memberikan peluang sangat besar kepada pengusaha mengkonversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar, seperti kebun kelapa sawit. Padahal, di samping manfaat ekonominya, aspek ekologi kelapa sawit juga harus dipikirkan. Satu tanaman sawit dewasa menyerap delapan sampai sepuluh liter air per hari. Setelah empat kali musim tanam, tanah yang dihuni pohon sawit akan gersang.
Berperahu ke hulu Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia itu pun tak bisa dilepaskan dari kesan sengsara. Warna airnya cokelat pekat. Di rumah-rumah lanting di kedua tepian sungai, anak-anak berceburan telanjang, pria dan wanita dewasa mandi, menggosok gigi, mencuci beras, diselang-selingi jamban yang sebagian besar reot dan sudah "terdampar" ke darat karena air sungai yang susut.
"Dulu kami biasa makan ikan arwana," kata Anah, penduduk Desa Selembakan, Tapung Kanan, sekitar 30 kilometer di hulu Sungai Siak. Perempuan 39 tahun, ibu dua anak, itu sama sekali tak bermaksud berseloroh. Ada suatu masa ketika penduduk di hulu Sungai Siak menyantap arwana, ikan hoki nan bersinar-sinar itu, saking banyaknya. Kini jangankan arwana, mencari baung pun sudah terbungkuk-bungkuk.
Selembakan sesungguhnya tak patut disebut desa. Di atas tepian berpasir yang pelit bahkan terhadap tanaman perdu itu cuma terpacak delapan rumah, tiga di antaranya kosong. Dulu nelayan Selembakan bisa menangkap 15 kilo sampai 50 kilo ikan setiap hari, terutama baung dan tapah. "Kini mencari satu kilo pun susah," ujar Fadil, Direktur Eksekutif Yayasan Elang 2000, yang peduli pada pemeliharaan sungai dan air bersih.
Penduduk umumnya mencurigai belasan perkebunan kelapa sawit, berikut pabrik pengolahannya, yang beroperasi di hulu sungai sepanjang 300 kilometer itu. Apalagi setelah Juni lalu ikan bermatian di sungai itu. Lembaga Rona Lingkungan, Universitas Riau, mencatat dalam sehari bisa 1,5 ton ikan mati buntang di permukaan sungai. Tapi patut dicatat kehadiran PT Silvadena Aquamarin, persis bertetangga dengan Selembakan, yang khusus membudidayakan ikan arwana. Perusahaan ini memberi listrik gratis untuk penghuni desa.
"Bahkan buaya, yang dulu banyak, sekarang langka di sungai ini," kata Syahrial, nakhoda merangkap pengemudi perahu motor Siak Wisata. Mencari orang Sakai, penduduk pedalaman Riau, pun sudah sulit lewat Sungai Siak. Anak sungai yang menuju perkampungan mereka, pada kemarau panjang ini, tak mampu lagi menampung perahu bermotor berukuran agak besar.
Mereka lebih mudah ditemukan di tepi-tepi hutan di Minas Barat, di sekitar lepas-kawasan PT Caltex Pacific Indonesia yang sejahtera. "Tak ada lagi Sakai di hutan," kata Jempol, orang Sakai yang berumah di sekitar kilometer 38. Jempol, 55 tahun, beruntung punya rumah sendiri. Lain halnya Azwar, 42 tahun, yang tinggal di rumah sewaan. Agak absurd, sebetulnya, mendengar orang Sakai, penghuni pedalaman itu, tinggal di rumah sewaan.
Pekerjaan mereka tak menentu. Kadang dapat borongan dari Caltex, membersihkan semak di bawah jaringan listrik. Berkelompok sekitar enam-tujuh orang, untuk membersihkan satu hektare mereka menerima upah sekitar Rp 300 ribu. Sejarah lenyapnya tanah-tanah ulayat mereka pun sudah tak jelas lagi bagi Jempol dan Azwar. "Banyak yang mengatasnamakan Sakai tanpa berunding dengan kami," kata Azwar.
Berjibun masalah lingkungan Riau, ujung-ujungnya mempertebal citra kemiskinan provinsi yang kaya sumber daya alam ini. Itu pula yang mendorong FKPMR dan berbagai lembaga di Bumi Lancang Kuning itu memohon peningkatan bagi hasil penjualan minyak bumi, yang oleh DPR bulan lalu dipertahankan tetap 15 persen, dengan iming-iming akan ditingkatkan menjadi 15,5 persen pada 2009. Mungkin itu pula yang mengingatkan Al Azhar pada peribahasa Randai Kuantan: "Ketika orang menghitung laba, kami menghitung tembuk baju…."
Amarzan Loebis (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo