Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Korea Selatan pada Senin 6 Maret 2023 mengumumkan tawarannya untuk memberikan kompensasi kepada korban pekerja paksa yang terjadi selama masa penjajahan Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana yang disambut dengan protes di Korea Selatan tetapi dipuji sebagai "bersejarah" oleh Amerika Serikat, dilakukan ketika Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol berusaha memperbaiki hubungan dengan Jepang saat Korea Utara mempercepat program nuklir dan misilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin mengatakan para mantan pekerja, yang masih hidup sekarang berusia 90-an, akan diberi kompensasi melalui yayasan publik yang didanai oleh perusahaan sektor swasta domestik, dan bukan oleh perusahaan Jepang yang terlibat dalam kerja paksa.
Di bawah skema yang akan diumumkan oleh kementerian luar negeri, Yayasan Korban Mobilisasi Paksa oleh Kekaisaran Jepang diperkirakan akan memperoleh sumbangan dari perusahaan Korsel.
Salah satu perusahaan tersebut adalah produsen baja POSCO, yang memperoleh keuntungan dari perjanjian bilateral pada 1965, di mana Jepang menawarkan hibah sebesar US$300 juta atau sekitar Rp4,5 triliun kepada Seoul untuk kompensasi.
Yayasan tersebut dibentuk pada 2014 di bawah cabang Kementerian Dalam Negeri Korsel sesuai dengan undang-undang khusus terkait. Para korban dan kelompok sipil pendukung telah memprotes keras rencana tersebut selama audiensi publik pada Desember.
Sekitar selusin pengunjuk rasa berdemonstrasi saat Park membuat pengumuman tersebut.
"Ini adalah kemenangan penuh Jepang, yang mengatakan tidak akan membayar satu yen pun untuk masalah kerja paksa," Lim Jae-sung, seorang pengacara untuk beberapa korban, mengatakan dalam sebuah posting Facebook pada Minggu, mengutip laporan media awal dari kesepakatan tersebut.
Sementara itu, oposisi utama Partai Demokrat mengecam rencana itu sebagai "diplomasi tunduk".
“Ini hari yang memalukan,” kata An Ho-young, juru bicara partai, dalam sebuah pernyataan. “Perusahaan Jepang yang terlibat dalam kejahatan perang menerima kesenangan bahkan tanpa bergerak, dan pemerintah Jepang berhasil menghilangkan masalah.”
Pada 2018, Mahkamah Agung Korsel memerintahkan dua perusahaan Jepang - Mitsubishi Heavy Industries Ltd. dan Nippon Steel Corp. -- untuk memberikan kompensasi kepada para korban kerja paksa.
Sementara Tokyo bersikeras bahwa semua isu kompensasi terkait penjajahan Jepang di Korsel pada 1910-1945 telah diselesaikan dalam kesepakatan pada 1965 untuk menormalkan hubungan diplomatik bilateral.
Seoul dan Tokyo telah beberapa kali menggelar perundingan resmi untuk membahas isu pelik tersebut selama beberapa bulan terakhir.
Kedua belah pihak secara tentatif telah sepakat membuat "dana pemuda masa depan" untuk mensponsori beasiswa bagi para mahasiswa, menurut seorang sumber informasi.
Sebaliknya, Jepang diharapkan untuk menyatakan niatnya untuk menghormati deklarasi gabungan pada 1998 yang diadopsi oleh Presiden Kim Dae-jung dan mantan perdana menteri Keizo Obuchi.
Dalam deklarasi tersebut, kedua pemimpin menyerukan penyelesaian isu di masa lalu dan membangun hubungan baru, dan Obuchi menyampaikan penyesalan atas "kerugian dan rasa sakit yang mendalam" akibat penjajahan Jepang terhadap rakyat Korea.
Masalah kerja paksa, serta perbudakan wanita Korea Selatan di rumah pelacuran militer Jepang, telah mengganggu hubungan Korea Selatan-Jepang selama beberapa dekade. Jepang, yang menduduki Semenanjung Korea dari 1910 hingga 1945, menegaskan semua klaim yang berkaitan dengan era kolonial telah diselesaikan dalam perjanjian bilateral yang ditandatangani pada 1965 yang menormalkan hubungan antara kedua negara bertetangga tersebut.
Di bawah perjanjian itu, Korea Selatan — yang saat itu diperintah oleh Presiden Park Chung-hee — menerima paket bantuan ekonomi US$300 juta dan pinjaman sekitar US$500 juta dari Jepang.
ALJAZEERA