Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Krisis bersambung

Pemilu gagal menentukan pemenang kuat. pemerintah koalisi belum tentu bisa menjamin stabilitas. mungkin tentara perlu turun tangan.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK di Pakistan mirip sebuah cerita bersambung. Satu krisis belum selesai, yang berikut sudah di ambang pintu. Pemilu pekan lalu dimaksudkan untuk menyelesaikan kemacetan dalam pemerintahan akibat konfrontasi Perdana Menteri Nawaz Sharif dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan beberapa bulan sebelumnya. Namun, pemilu ketiga dalam lima tahun itu hanya menciptakan krisis baru. Masalahnya, pemilu itu gagal menghasilkan pemenang kuat. Adalah partainya Benazir Bhutto, Partai Rakyat Pakistan, peraih suara terbanyak dengan 86 kursi parlemen. Pemenang kedua, Partai Liga Muslim Pakistan yang dipimpin Nawaz Sharif memperoleh 72 kursi. Kemenangan tipis itu berarti, baik PPP maupun PML harus memperkuat posisinya guna berhak membentuk pemerintah baru. Jumlah minimal yang diperlukan untuk menjamin suara mayoritas di parlemen 217 kursi itu adalah 109 suara. Hasil pemilu yang tak menentu itu menyebabkan suasana politik menjadi labil. Koalisi apa pun yang kelak terbentuk, tetap akan menghadapi oposisi kuat. ''Ramuan yang terdiri dari berbagai partai bukan resep baik untuk menjamin suatu pemerintah stabil,'' kata mantan menteri keuangan Sartaj Aziz. Katanya, untuk menangani masalah ekonomi dan sosial yang gawat, Pakistan perlu suatu pemerintah yang kuat. Atau pemerintah tanpa oposisi, seperti yang sekarang dipimpin perdana menteri sementara, Moeen Qureshi. Dalam waktu tiga bulan saja, teknokrat yang pernah menjabat sebagai wakil presiden Bank Dunia itu sempat menggemparkan masyarakat dengan langkah-langkah pembaruannya yang radikal tapi efektif. Kini keadaan ekonomi membaik akibat turunnya defisit negara dan laju inflasi. Di bidang politik, Qureshi berhasil menghentikan kebiasan anggota parlemen mengubah keputusan seenaknya di waktu pemungutan suara. Sayangnya, kendati ia amat populer dengan rakyat, Qureshi tak mencalonkan diri dalam pemilu yang baru selesai itu. Dugaan sementara orang, termasuk TEMPO, bahwa ia akan mencalonkan diri dan punya kesempatan untuk menang besar, ternyata keliru. Ini bukan karena undang-undang melarangnya. Tapi entah kenapa. Yang jelas, Qureshi sudah berjanji akan menyerahkan wewenangnya kepada pemerintah baru Jumat pekan ini. Sementara itu, Partai Rakyat dan Liga Muslimin kini berupaya merayu partai-partai kecil serta tokoh politik independen. Benazir Bhutto, misalnya, satu hari setelah kemenangan Partai Rakyat Pakistan dipastikan, sibuk dengan pesawat telepon. Siang malam, selama dua hari, ia menelepon dan menerima telepon sehingga hanya sempat tidur empat jam. Untunglah, itu tak percuma. ''Benazir memperoleh dukungan dari 20 partai,'' kata Bashir. Tiga suara lagi, yang diperlukan untuk membentuk pemerintah koalisi, tak dianggap sulit. Tak kurang sibuknya adalah Nawaz Sharif. Ia terbang ke Islamabad dari markasnya di Lahore. Sasarannya, bertemu dengan Presiden (sementara) Wasim Sajjad dan Kepala Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Khan. Tak diketahui apa yang dibicarakan dan bagaimana hasilnya. Yang pasti, setelah pertemuan itu Nawaz pun optimistis. ''Saya percaya, dengan bantuan partai lainnya, Liga Muslimin akan berhasil membentuk pemerintah,'' kata Nawaz, yang dikenal dekat dengan pihak militer. Tapi tetap terbuka kemungkinan koalisi tak terbentuk, dan krisis pun muncul. Bila demikian, tak mustahil tentara naik panggung politik Pakistan. Apakah secara terang-terangan atau di belakang layar, itu cuma soal gaya. Dan kalau toh tentara memang akan campur tangan, diduga caranya agak berbeda dengan di zaman Jenderal Zia Ul Haq, yang menjabat sebagai presiden sekaligus panglima angkatan bersenjata. Sejak kematian Zia, tahun 1988, tentara agak melunak, campur tangannya dalam politik lebih terselubung. Misalnya, kendati tentara mendukung Nawaz Sharif sebagai perdana menteri 18 bulan lalu, adalah tentara juga, Jenderal Waheed, yang mendesaknya untuk turun ketika konflik Nawaz dengan Presiden Ishaq Khan menjadi gawat. Lalu Jenderal Waheed mengundang Moeen Qureshi untuk memimpin pemerintah sementara sebelum pemilu. Memang ada dugaan bahwa Jenderal Waheed terlibat dalam pembentukan koalisi pemerintah yang diupayakan Benazir maupun Nawaz Sharif. Agaknya tentara berharap terbentuk sebuah koalisi yang kuat. Siapa pun yang memimpin pemerintah, melihat kenyataan selama ini, keberhasilan serta kelancaran masa kuasanya sangat bergantung pada partai yang berkuasa di parlemen daerah, terutama di Provinsi Punjab dan Sindh. ''Pemerintah saya jatuh karena Punjab tak mendukung kami. Nawaz jatuh ketika dukungan Punjab lepas dari tangannya,'' kata Benazir. Tapi memang belum jelas bagaimana Waheed membantu Benazir atau Nawaz Sharif membentuk sebuah koalisi yang kuat. Jika ini memang sulit, kata para pengamat, tak mustahil Jenderal Waheed memilih alternatif ketiga. Yakni menunjuk orang luar untuk menjadi perdana menteri. Dan siapa tahu orang itu adalah Qureshi tentu, dengan persetujuan semua pihak. Jika demikian, tentara akan mendesak untuk diberlakukan suatu amandemen konstitusional untuk mencegah munculnya mosi tak percaya selama masa jabatan lima tahun perdana menteri di luar pemilu itu. Mungkin. Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus