TAK ada acara foto bersama dan bersalaman tangan di depan kamera. Bahkan, dalam acara penutup, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Presiden Palestina Yasser Arafat bersikeras menyelenggarakan konperensi pers secara terpisah. ''Ini hanya rapat kerja biasa,'' kata Yitzhak Rabin mencoba mengurangi citra pentingnya pertemuan mereka kedua dalam sebulan ini. Pertama di Washington, 13 September lalu, kedua di Kairo, pekan lalu. Namun, tak dapat disangkal bahwa pertemuan kedua ini tak kurang pentingnya daripada pertemuan Washington yang menghasilkan penandatanganan Deklarasi Prinsip, pasal-pasal yang mengatur pemerintahan otonomi Palestian di Gaza dan Yerikho. Sebab pertemuan Rabu pekan lalu di istana Presiden Mesir Husni Mubarak itu bisa dianggap langkah awal yang serius untuk mengkongkretkan janji-janji kedua belah pihak, terutama janji Israel. Dalam pembicaraan di Kairo itu Arafat dan Rabin bersepakat membentuk komite-komite kerja sama yang akan mengatur persiapan berdirinya pemerintahan otonomi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mulai dari menyusun petunjuk pelaksanaan sampai soal pengawasannya. Sejauh ini baru dua komite yang dijadwalkan. Yang pertama, disebut komite penghubung, komite kerja sama tingkat menteri untuk mengawasi semua aspek yang berkaitan dengan penerapan Deklarasi Prinsip. Ini semacam komite koordinator bagi komite-komite yang akan dibentuk selanjutnya. Salah satunya, termasuk menyusun detail bagi komite yang mengurus pembangunan ekonomi di daerah pendudukan. Adapun komite yang kedua, direncanakan mengatur dan mengawasi penarikan mundur tentara Israel yang dijadwalkan berlangsung tanggal 13 Desember 1993 sampai Maret 1994. Kedua komite ini akan dibentuk serentak pada tanggal 13 Oktober, patokan resmi tanggal diberlakukannya Deklarasi Prinsip. Pembicaraan mengenai pembentukannya akan dilakukan di dua kota di Mesir. Yaitu, Kairo untuk komite penghubung, dan Taba (kota turis di pantai Laut Merah di perbatasan Mesir- Israel) untuk komite penarikan mundur tentara Israel. Keterlibatan Mesir sebagai tempat perundingan karena serangkaian alasan. Bukan hanya Mesir adalah satu-satunya negara Arab yang punya hubungan diplomatik dengan Israel. Misalnya, dari segi peran Mubarak. Tampaknya Mubarak, yang sejak 1982 telah menjalin keakraban dengan Israel, bahkan di masa dialah hubungan diplomatik sepenuhnya dilakukan, cukup punya wibawa di hadapan Israel. Juga terhadap Arafat, Mubarak punya banyak jasa, misalnya, dialah salah seorang pendorong Konperensi Damai yang dimulai di Madrid dulu itu. Untuk kubu Rabin, memilih berunding di Kairo punya makna besar. Sejak berdiri negara Israel, tak satu pun negara Arab yang mengakui eksistensi Israel. Diterimanya delegasi Israel di Kairo akan secara implisit menegaskan keberadaan republik Yahudi ini sebagai bagian dari kawasan Timur Tengah. Sedangkan alasan Arafat agaknya lebih sederhana. Kairo, Washington, atau Oslo, baginya sama saja. Yang penting, ia bisa merintis jalan bagi negara Palestina yang min al nahr ila al bahr (terbentang dari sungai sampai laut). Sejauh ini pemerintahan otonomi di Jalur Gaza dan Tepi Barat adalah kesempatan, bukan tujuan, terbaik. Saat konperensi pers, Arafat menekankan bahwa di samping kesepakatan tentang pembentukan komite, dalam perundingan telah dicapai kemajuan untuk masalah status Yerusalem. Bahkan, ia pun menyatakan kedua belah pihak sudah setuju mengirimkan wakil- wakilnya untuk membahas kota tiga agama langit itu. ''Kami sepakat menunjuk Faisal Al-Husseini sebagai perunding dari pihak PLO dan seorang lagi dari pihak Israel untuk membahas masalah Yerusalem,'' katanya. Eloknya, pihak Rabin membantah. Sampai tahap sekarang ini, menurut seorang pejabat Israel, penyelesaian masalah status Yerusalem baru akan dibicarakan serius, paling cepat dua tahun lagi. Dalam perundingan di Kairo itu Israel hanya setuju untuk ''memperhatikan'' permintaan Palestina agar warga daerah pendudukan dibebaskan masuk ke Yerusalem. Sikap kubu Rabin yang sangat berhati-hati dalam isu Yerusalem ini bisa dipahami. Mayoritas Israel masih berpendapat bahwa Yerusalem Timur, kawasan yang direbut dari Arab dalam perang tahun 1967, harus tetap menjadi bagian dari ''ibu kota suci'' Yahudi. Bila sentimen religius ini tak diperhatikannya, risiko bagi Rabin jelas: di parlemen ia bakal kehilangan dukungan partai tradisional yang berbasis agama. Namun tak pelak, isu status Yerusalem tampaknya bakal terus muncul dalam setiap pertemuan Arafat-Rabin. Sebab, seperti Rabin, Arafat pun berkepentingan untuk tetap mengangkat masalah ini: untuk konsumsi dalam negeri. Tanpa mengangkat soal status Yerusalem, rakyat Palestina akan menuduh Arafat sudah kehilangan roh perjuangan Palestina. Bisa jadi ia tak akan sempat menempati bekas istana musim dingin dinasti Hasemit di tepi Yerikho, yang direncanakan akan menjadi kantor pemerintahan Palestina. Ada harapan bahwa kedua belah pihak cukup punya alasan untuk kompromi. Salah satu sebabnya, adanya peran AS. Misalnya, di akhir perundingan Kairo, tiba-tiba Presiden Bill Clinton memutuskan untuk memotong lebih dari US$ 400 juta, atau sekitar 20% dari total dana bantuan AS untuk Israel. Dana ini tadinya dijanjikan pemerintahan George Bush untuk membantu Israel dalam menerima imigran Yahudi eks Uni Soviet. Namun, Clinton jengkel karena Israel hanya menggunakannya untuk membangun permukiman Yahudi di wilayah pendudukan melulu, maka dipenggalnya dana itu. Siapa tahu, jurus Clinton diperlukan nanti bila Israel masih berkelat-kelit dalam penyelesaian status Yerusalem dua tahun mendatang. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini