SIDANG khusus Kongres Wakil Rakyat Rusia Rabu pekan ini tak hanya menentukan nasib Boris Yeltsin. Tapi juga nasib reformasi ekonominya. Dua pemimpin yang sejak beberapa waktu lalu bermusuhan Presiden Boris Yeltsin dan Ketua Kongres Wakil Rakyat Ruslan Khasbulatov untuk terakhir kalinya akan mencari jalan kompromi. Yeltsin selama ini menuduh bahwa Khasbulatov, tokoh garis keras yang menguasai Kongres Wakil Rakyat (parlemennya Rusia), menjegal reformasi ekonominya. Contoh yang jelas, dengan kekuasaannya yang dinyatakan dalam konstitusi pada sidang parlemen Desember lalu, Khasbulatov menolak menyetujui pengangkatan kembali Yegor Gaidar, pemikir reformasi ekonomi, sebagai perdana menteri. Dalam konstitusi, Kongres Wakil Rakyat memang bisa menyetir eksekutif. Sebab, di samping punya kekuasaan mengubah konstitusi, Kongres juga diberi wewenang memecat atau tak me- nyetujui pengangkatan perdana menteri dan para menteri. Dalam hal inilah Yeltsin merasa selalu terbentur. Maka, dalam sidang Kongres Wakil Rakyat Desember lalu itu, Yeltsin menawarkan pembagian kekuasaan. Parlemen, katanya, boleh terus memegang kuasa mengubah konstitusi. Tapi, demi kelancaran pemerintahan, sebaiknya parlemen tak mencampuri personalia eksekutif. Kontrol parlemen sebaiknya terbatas pada persetujuan besar-kecilnya bujet program eksekutif. Khasbulatov tentu saja menolak sistem yang mirip dengan sistem presidensiil itu. Dengan menerima usul Yeltsin, ia akan kehilangan akses pada lembaga eksekutif. Ia malah menuduh Yeltsin berencana membentuk pemerintahan otoriter. Buktinya, hampir semua advis parlemen tak digubris oleh Yeltsin. Subsidi untuk sejumlah perusahaan negara yang diusulkan, misalnya, tak diacuhkan Yeltsin. Di sinilah jalan buntu politik di Rusia. Kongres punya kekuasaan, tapi tak punya alat untuk memaksakan kebijaksanaannya. Yang bisa dilakukan adalah membelenggu lembaga eksekutif, sehingga yang terjadi adalah krisis pemerintahan. Karena sistem inilah bangak pengamat di Amerika cemas bahwa konflik Yeltsin-Khasbulatov akan memacetkan reformasi. Dan bila ini berkepanjangan, Rusia akan memasuki krisis yang lebih berbahaya daripada krisis tahun 1991 yang membuat Uni Soviet bubar. Sebenarnya, baik Yeltsin maupun Khasbulatov sudah berusaha akur. Februari lalu, misalnya, keduanya tiga kali bertemu untuk mencari kata sepakat. Tapi semuanya gagal karena keduanya sama- sama bersikeras Keadaan makin memburuk setelah Boris Yeltsin tak hadir dalam sidang parlemen Jumat pekan lalu. ''Tak ada jalan lain,'' ujar Khasbulatov frustrasi. Maka ia pun melakukan pemungutan suara di antara anggota parlemen, untuk mendesak Kongres agar melaksanakan sidang khusus demi menyelesaikan konflik politik itu. Hasilnya, parlemen setuju. Khasbulatov mengambil inisiatif sidang ''istimewa'' itu karena Yeltsin mengancam akan tetap mengadakan referendum 11 April nanti, sebagaimana yang ia usulkan dalam sidang Kongres Wakil Rakyat Desember lalu. Sebab, bila ternyata referendum disetujui rakyat Soviet, Yeltsin akan memperoleh kekuasaan eksekutif sebagaimana di negara yang melakukan sistem presidensiil. Tapi sebenarnya Khasbulatov dan Yeltsin sama-sama berjudi. Tak ada kepastian bahwa dengan referendum, Yeltsin menang, dan lewat sidang khusus, Kongres Wakil Rakyat Khasbulatov yang menang. Seandainya referendum dijalankan, dan rakyat menolaknya, habislah Boris Yeltsin. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk naik kuasa. Meskipun dalam poll-poll pendapat hanya 15% responden ingin kembali ke sistem sentralisasi, belum ada jaminan Yeltsin pasti didukung mayoritas rakyat. Lihat, belum lama ini sekitar 20.000 orang melakukan demonstrasi di Moskow, meminta Yeltsin turun. Dan inilah yang Desember lalu dikhawatirkan oleh para penasihat politiknya, sehingga waktu itu Yeltsin bersedia melakukan perundingan lagi Februari lalu seperti sudah disinggung, perundingan ini pun menemui jalan buntu. Di pihak Khasbulatov, para pendukungnya kini mencemaskan sidang khusus Kongres pekan ini. Sebab, jika sidang membentur jalan buntu, referendum akan dilakukan Yeltsin. Dan meskipun Yeltsin kalah, belum tentu rakyat mendukung Khasbulatov. Sebab, diakui oleh para pendukung ketua parlemen itu, mereka adalah produk orde lama yang tak lagi populer di mayoritas masyarakat Rusia kini. Itu berarti akan terpaksa dilakukan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat. Dan sangat besar kemungkinannya Khasbulatov dan para pendukungnya harus gigit jari karena tak memperoleh dukungan. Walhasil, ini memang sebuah krisis yang serius. Yeltsin dan Khasbulatov sama-sama mempunyai kemungkinan besar untuk kalah. Dan bila tak ada penyelesaian, misalnya munculnya tokoh-tokoh alternatif, suatu kekacauan politik yang mudah menjalar ke bawah diramalkan terjadi. Padahal sejauh ini Yeltsin masih politikus terpopuler di Rusia. Belum ada tanda-tanda ada yang bisa menggantikannya dan meneruskan program reformasinya. Pilihan terbaik, seperti yang hari-hari ini diomongkan di Moskow, jabatan Yeltsin sebagai kepala pemerintahan diperpanjang, dan masa tugas parlemen diulur. Seandainya ini dinilai sebagai penundaan krisis, setidaknya ada harapan bahwa dalam waktu perpanjangan muncul terobosan. Didi Prambadi (Jakarta) dan Denis Petrogradsky (Moskow)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini