BUTUHKAH mereka akan demokrasi? Saya lihat mereka duduk makan Kentucky Fried Chicken, di semacam plaza, yang terletak di kanan pusat perbelanjaan Centrepoint. Sebagian besar dari mereka adalah anak muda yang bersih, rapi, dengan jins Guess atau Levi's dan sepatu Reebok atau Nike. Tak jauh dari sana ada satu stasiun kereta di bawah tanah yang cepat, murah, dan necis mungkin sepur subway yang terbagus di dunia. Dari sini, antara lain, orang bisa menjangkau tempat berbelanja yang beragam, restoran yang enak dan beraneka, atau bioskop, atau tempat sport, atau museum, atau taman yang teduh .... Singapura: sebuah negeri yang nyaman. Tentu, dengan ukuran yang terbatas dan keteraturan yang pervasif, ini memang sebuah tempat yang membosankan. Singapura: sebuah Intensive Care Unit. Di sini semuanya dirawat cermat. Tak boleh ada kotoran yang melintas, baik di sudut jalan ataupun di sudut pikiran. Penghuni diperhatikan kebutuhannya baik-baik, dan (atau tapi?) tak boleh gaduh. Mereka boleh mengeluh, tentu. Mereka boleh memilih calon mereka ke parlemen. Tetapi pada umumnya tak ada suara memekik keras-keras buat menuntut: pemerintah, yang selama lebih dari tiga dasawarsa dipegang oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) di bawah petunjuk Lee Kuan Yew, yang kayak direktur baik yang streng itu bukan saja tidak korup. Mereka juga mampu untuk cepat melihat problem potensial yang akan terjadi di depan. Sebab itu kritik, di Singapura, adalah tindak-tanduk yang jinak. Saya kenal L, misalnya. Ia seorang intelektuil berpendidikan Amerika. Ia menyukai kemerdekaan berpikir dan berdebat, ia menyukai ide-ide. Ia bahkan punya hasrat menyodorkan gagasan- gagasan alternatif. Ia sering memproyeksikan diri sebagai sang intelektuil bebas Singapura setara dengan intelektuil negeri- negeri lain. Tapi ketika datang saat orang berharap untuk mendengarkan dari mulutnya sebuah kritik tentang negerinya, ia tak bicara banyak. Ia bahkan mirip seorang warga PAP yang setia dan canggih dalam membela diri. Takutkah L berbicara, karena di Singapura orang bisa ditangkap jika dituduh melangggar Internal Security Act? Atau ada desakan dalam bentuk lain? Tapi mungkin juga memang tak banyak yang perlu dikritik di Singapura. Orang tampaknya semakin bersikap bahwa sang pemerintah dengan sendirinya akan beres, dan mereka membaca The Straits Times tanpa menguap. PAP menang dalam tiap pemilu tanpa menipu. Dan bila tanpa kritik berarti tanpa demokrasi, jangan- jangan orang Singapura memang tak lapar demokrasi. Mungkinkah? Hampir 30 tahun yang lalu, Barrington Moore, dalam karya klasiknya yang dibaca di mana-mana, Social Origins of Dictatorship and Democracy, mengatakan, seakan-akan sebuah dalil: ''Tanpa borjuasi, tak ada demokrasi.'' Dari sini ada yang beranggapan bahwa dengan meningkatnya sosok ''borjuasi'', atau ''kelas menengah'', demokrasi akan berkembang. Lihat Korea Selatan. Lihat Taiwan. Lihat Thailand.... Di Singapura, ''kelas menengah'' berjajar kukuh seperti gedung pertokoan. Tetapi kenapa di sini pers tak sebebas seperti di Korea Selatan dan oposisi tak sehebat di Taiwan dan suara para mahasiswa dan cendekiawan tak segaduh di Thailand? Karena kami bukan Barat, kata orang pintar-pintar di Singapura. Karena budaya kami adalah budaya Konfusius, yang tidak konfrontatif, tapi suka konsensus .... Seorang guru besar ilmu politik dari Korea tertawa. Alasan Konfusius dan konsensus itu cuma petai kosong, katanya keras. Singapura adalah satu dari sedikit negeri yang elitenya begitu ''Barat''. Tidak adanya suara konfrontatif di sini tak ada hubungannya dengan ''budaya''. Sebab, bagaimana menjelaskan tingkah laku politik orang Korea yang gemar konfrontasi yang keras padahal katanya mereka juga di bawah bayang-bayang Sang Konfusius? Mana sama mana bedanya dengan Singapura? ''Singapura itu suatu kebetulan sejarah yang beruntung,'' kata seorang pensiunan diplomat yang berbahasa Mandarin dengan fasih. ''Negeri ini kecil dan ia punya seorang Lee Kuan Yew bukan seorang yang ngawur seperti Mobutu. Lee mungkin bukan seorang demokrat, tapi dengan pemimpin macam dia, orang memang tidak kebelet perlu demokrasi, bukan?'' Saya tak bisa begitu saja mengiyakan. Tapi paling tidak saya sadar betapa bisa berpengaruhnya seorang pemimpin. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini