Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kuasa Kabila Mengoyak Kongo

Kongo berusaha bangkit dari belitan pertempuran akibat dendam etnis dan perebutan penguasaan atas tambang berlian. Mampukah Presiden Kabila mengatasinya?

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN-TAHUN perjuangan saya yang panjang seperti menaburkan pupuk. Sekarang tiba waktunya panen."

Demikian tutur Laurent Kabila, Presiden Kongo (Republik Demokratik Kongo), setelah tiga tahun silam berhasil menumbangkan rezim diktator Mobutu Sese Seko, yang berkuasa 32 tahun.

Setelah pelantikannya, Kabila segera mengubah nama Zaire kembali menjadi Kongo. Sebelumnya, Mobutu mengubah nama Kongo menjadi Zaire dengan alasan nasionalisme.

Selain itu, Kabila segera menjanjikan untuk memperbaiki perekonomian Kongo. Tapi, menurut The Guardian, pada saat itu rakyat Kongo sama sekali tidak menyambut pengangkatan "pahlawan" baru mereka yang telah membebaskan dari cengkeraman Mobutu.

Keraguan rakyat Kongo memang beralasan. Kepemimpinan Kabila tidak menghasilkan apa pun kecuali perang, yang terpicu sejak Agustus 1998. The New York Times menyebutnya sebagai "Perang Dunia I" di Afrika karena perang itu melibatkan enam negara tetangga, yaitu Uganda dan Rwanda, yang membeking pemberontak, serta Zimbabwe, Namibia, dan Angola, yang mendukung pemerintahan Kabila. Keterlibatan setiap negara dalam peperangan di Kongo itu memiliki alasan tersendiri.

Masalahnya, keadaan di Kongo makin porak-poranda. Awal Juni silam, pertempuran pecah kembali di Kisangani, kawasan bagian timur Kongo. Suasana di ibu kota negara, Kinshasa, juga semakin panas terutama setelah Kabila memenjarakan lima menteri selama bulan Juni, termasuk Menteri Ekonomi dan Pertambangan.

Melihat pertikaian tak berkesudahan itu, tampaknya kesepakatan damai Lusaka—berisi syarat pengunduran pasukan asing dari Kongo dan penyelesaian konflik Kongo secara mandiri—yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bertikai belum diimplementasikan.

Tentu saja pihak-pihak yang bersengketa sudah berupaya untuk berdialog. Kabila bertemu dengan Presiden Namibia Sam Nujoma dan Presiden Zimbabwe Robert Mugabe—dua negara aliansi Kongo—di Harare, pekan silam. Dalam pertemuan yang disebut sebagai "mini summit" itu, mereka membicarakan penarikan tentara-tentara asing dari Kongo, sekaligus memberi kesempatan agar Kongo menyelesaikan masalahnya sendiri. Tetapi, Kabila menolak untuk bersepakat. "Jika ancaman tetap ada, tentara asing (pro-Kongo, Red) akan tetap berada di Kongo," tutur Kabila kepada pers usai pertemuan.

Ini menunjukkan bahwa Kabila merasa tidak aman di negerinya sendiri. Hal itu disebabkan Kabila berkuasa bukan karena dukungan rakyat, melainkan karena didukung oleh negara-negara yang memiliki kepentingan di Kongo, seperti Rwanda, Uganda, Zimbabwe, Namibia, dan Angola.

Tapi, setelah Kabila berkuasa, Rwanda dan Uganda berbalik memusuhi Kabila karena kepentingan mereka tak lagi terpenuhi. Menurut pihak Rwanda, Kabila dinilai gagal mengontrol etnis Hutu, pelarian dari Rwanda akibat perang etnis dengan Tutsi pada 1994. Kemarahan pemerintah Rwanda bisa dipahami karena di antara pengungsi Hutu terselip kelompok milisi yang telah membantai setengah juta Tutsi Rwanda. Sedangkan kegeraman Uganda dan Angola disebabkan oleh sikap tak acuh Kabila, yang membiarkan milisi pemberontak kedua negara tersebut bermarkas di Kongo.

Namun, di samping riuh-rendahnya berbagai kepentingan itu, ada satu hal yang membuat konflik itu semakin intens: berlian. Menurut Peter Hain, Menteri Negara Inggris untuk Hubungan Luar Negeri dan Commonwealth, berlian adalah minyak yang membakar konflik di Afrika. Kelompok-kelompok milisi membiayai diri dengan penjualan berlian. Hal itu karena mereka menguasai tambang-tambang berlian yang diperoleh di bagian timur Kongo. Hal seperti itu juga terjadi di Sierra Leone dan Angola. "Jadi, perang tidak ada hubungannya dengan ideologi atau kepentingan keamanan nasional, tapi hanya karena keinginan memperkaya diri," ujar Alex Yearsley dari kelompok penekan Global Witness, yang sudah 18 bulan melakukan penelitian tentang "conflict diamonds".

Menurut hasil penelitian Global Witness, justru perebutan atas hak menambang berlian inilah yang membuat konflik di Afrika tak berkesudahan karena setiap pihak berperilaku berdasarkan kepentingan menguasai sumber berlian.

Contohnya, Kabila membalas jasa pemerintah Zimbabwe dengan memberikan konsesi penambangan berlian di Mbuji-Mayi. Nah, Oryx Diamonds, perusahaan penambangnya, yang merupakan kerja sama antara Cormiex (Kongo) dan Osleg (Zimbabwe) itu, sudah terdaftar di bursa efek London.

Sementara itu, milisi pemberontak Unita, yang melawan pemerintah Angola, memiliki markas di Kongo dan menguasai tambang berlian. "Dengan beredarnya berlian dari daerah tersebut, artinya kita turut bertanggung jawab atas perang itu," kata Yearsley.

Maka, kini Kabila bermain di arena balas dendam akibat pembunuhan etnis dan perburuan atas tambang berlian di negaranya. Ini semua memakan ongkos bagi rakyat Kongo.

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus