Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

’Banzai!’ Oposisi Jepang Menggeliat

Yoshiyo Mori terpilih kembali sebagai PM Jepang. Tapi para pengamat melihat, partai oposisilah yang sesungguhnya justru ”menang” dalam pemilu.

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANZAI untuk partai oposisi Jepang! Hasil akhir pemilu Jepang pekan lalu menunjukkan adanya kebangkitan partai oposisi, yang sejak Perang Dunia II tidak pernah berarti. Yoshiyo Mori dari Partai Demokrat Liberal (LDP) memang tetap jadi perdana menteri. Tapi, media massa Jepang dan para analis menyebutnya sebagai kemenangan hampa. Sukses yang direbut oleh koalisi triumvirat LDP, Partai Komeito Baru, dan Partai Konservatif sesungguhnya sudah menurun dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Kubu ini hanya merebut 271 kursi dari 480 kursi parlemen.

Jumlah yang dicapai ini tak mencapai target jumlah kursi ideal minimal yang diharapkan. Di masa lalu, mereka memperoleh 332 kursi, dengan perincian LDP meraup 271 kursi, Partai Komeito Baru menduduki 42 kursi, dan Partai Konservatif mendapat 18 kursi.

Sekarang, LDP hanya mampu merebut 233 kursi, Partai Komeito Baru mendapat 23 kursi, dan Partai Konservatif cuma meraup tujuh kursi. Pekan ini, Perdana Menteri Mori akan bertemu dengan Takenori Kanzaki, Ketua Partai Komeito, dan Chikage Ogi, Ketua Partai Konservatif, untuk menyusun pos-pos kabinet. Banyak pos-pos yang hilang. Menteri Perdagangan Takashi Fukaya dan Menteri Pertanian Tokuichiro Tamazawa dari LDP, misalnya, akan kehilangan kursi.

Sebaliknya, perolehan kursi Partai Demokratik Jepang pimpinan Yukio Hayoyama, yang merupakan partai oposisi Jepang terbesar, melonjak. Pada pemilu sebelumnya, partai ini memperoleh 95 kursi, sekarang 127 kursi. TEMPO, yang meliput di salah satu kantor Partai Demokratik Jepang di Takaba, Meguro, Tokyo, menyaksikan perhitungan suara yang disajikan secara langsung oleh televisi NHK, yang riuh oleh tepuk tangan saat perolehan suara mereka terus bertambah.

Lebih dari 50 tahun politik Jepang tidak pernah diwarnai partai oposisi. Para pendukung Partai Demokratik rata-rata adalah kaum muda urban di bawah umur 40 tahun yang menolak konservatisme. Ini kontras dengan basis kuat pendukung LDP, yang berakar di wilayah pedesaan. Kaum muda Partai Demokratik menyebut pengeluaran dana besar-besaran LDP di pedesaan itu adalah pemborosan karena politik uang hanya bertujuan mendapat popularitas dalam pemilihan umum. Menurut pengamat politik Minoru Morita seperti dikutip The Christian Science Monitor, kaum muda urban ini adalah ”angry people votes”. Mereka enggan dengan Partai Komeito Baru, yang berlatar belakang Buddhisme dan dimotori organisasi Buddha Jepang, Soka Gakkai. ”Kalau Partai Demokratik mampu mempertahankan trend ini, bukan tak mungkin Jepang akan menjadi bersistem dua partai,” kata Minoru Morita.

Seolah ingin mengucapkan selamat tinggal kepada gaya politik lama dan birokrasi Jepang yang terjerat gurita bisnis besar, anak muda Jepang memilih berkampanye dengan memakai compact disc dan musik techno. ”Partai Demokratik mencoba unjuk gigi menjadi musuh birokrasi,” kata Takeshi Sasaki, ilmuwan politik dari Universitas Tokyo. ”Tapi, melawan birokrasi di negeri ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Sejauh ini, mereka yang menantang selalu gagal,” ia mengingatkan. Para analisis lain menyarankan, agar lebih kuat, Partai Demokratik harus berkoalisi dengan partai-partai di luar triumvirat.

LDP sendiri selama ini terus-menerus mengembuskan berita bahwa Partai Demokratik akan berkoalisi dengan Partai Komunis Jepang, yang mencanangkan revolusi. Yukio Hatayama—sang pemimpin Partai Demokratik—berkali-kali menangkis tak mungkin pihaknya bekerja sama dengan Partai Komunis.

Kenyataannya, Partai Demokratik dan Partai Komunis memang memiliki perbedaan visi dalam kampanye. Partai Komunis Jepang dan Partai Sosial Demokratik Jepang, misalnya, gigih menentang kampanye Partai Demokratik yang mengusulkan penurunan wajib pajak tahunan dari 3,68 juta yen ke 2,1 juta yen. LDP sendiri juga agaknya sadar bahwa massa pemilih Partai Demokratik adalah kaum urban.

Untuk itu, sehari sebelum pemilu, Mori menyerukan imbauan kontroversial kepada pemilih yang ragu-ragu agar tidur saja. Ia seolah mengajak kaum muda ”floating voter”—yang berpotensi menjadi pencoblos Partai Demokratik—untuk tetap politis. Entah termakan oleh hasutannya, toh memang secara umum kaum muda Tokyo terlihat acuh tak acuh saat pemilu. Pemilu Jepang kali ini bisa dibilang pemilu terendah kedua dalam sejarah Jepang. Dari 101 juta orang yang berhak memilih, hanya 62,49 persen yang menggunakan hak pilihnya.

Sesuai dengan pengamatan reporter TEMPO, suasana kampanye Tokyo adem ayem saja dibandingkan dengan, katakanlah, pemilu Indonesia. Satu-satunya nuansa pemilu adalah poster-poster yang tertempel di sudut-sudut kota. Kampanye lebih banyak dilakukan di stasiun-stasiun. Beberapa kandidat menggunakan mobil penuh tempelan poster dilengkapi pengeras suara untuk berkeliling kota. Tapi, masyarakat menanggapi kampanye itu dengan dingin saja. Keengganan memuncak saat pemungutan suara. Hujan rintik-rintik yang turun sejak subuh makin membuat sepi lokasi pemungutan suara yang rata-rata dilaksanakan di sekolah-sekolah. Di sebuah sekolah di Sakamachi, Tokyo, tampak beberapa orang tua saja. ”Ini kan hari libur. Anak muda mempunyai banyak acara, malas pergi ke sini,” ujar Shoko, warga Shinjuku, Tokyo.

Di Stasiun Akasuka, misalnya, anak-anak muda dan kaum perempuan dengan rambut yang rata-rata dicat pirang terlihat wira-wiri, bergegas menenteng handphone menuju pusat-pusat perbelanjaan. Tak ada kesan hari itu hari pemungutan suara. ”Masyarakat Jepang tidak tertarik pada politik. Mereka tidak peduli siapa yang akan jadi pemimpin. Sebab, yang penting aman dan kehidupan tak terganggu,” tutur Shoko lagi. Agaknya menggarap kaum muda untuk bergabung dengan mereka yang telah punya kekritisan adalah pe-er bagi Partai Demokratik bila ingin makin menggerogoti posisi LDP pada pemilu berikutnya.

Seno Joko Suyono (Jakarta) dan L.N. Idayani (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus