ARGENTINA jatuh lagi ke tangan diktator militer? Puluhan ribu warga Ibu Kota Buenos Aires, dua pekan lalu, memprotes pembebasan para perwira tinggi militer yang terlibat dalam pemerintahan diktator militer masa lalu. Aksi penguasa militer Argentina di masa lalu memang tercatat sebagai lembaran hitam bagi lembaga hak asasi manusia. Kala itu, korban operasi yang disebut "pembersihan unsur-unsur kiri" selama rezim militer berkuasa, 1976-1983, sekitar 9.000 orang tewas atau hilang (menurut catatan lembaga hak asasi, jumlah korban mencapai 30.000 orang). Sasaran protes tentu saja Presiden Carlos Menem, yang berulang kali menyebut langkah yang diambilnya untuk melakukan "rekonsiliasi nasional". Yakni strategi untuk mengendalikan militer, yang sudah beberapa kali melancarkan kudeta. Menem mengharapkan pembebasan para jenderal itu akan menghentikan usaha kudeta pihak militer. Tapi sejumlah pihak bilang, aksi kudeta pihak militer bukan cuma untuk membebaskan para jenderal yang dibui. Kudeta terakhir Desember silam, konon, lebih disebabkan adanya kegusaran atas kondisi buruk personel militer. Kudeta paling akhir, kabarnya, dilakukan oleh para sersan dan kopral yang kecewa karena tak kunjung dipromosikan sebagai perwira. Memang, sejak awal 1980, kekuatan dan anggaran militer sudah dipotong setengahnya. Padahal, jumlah anggota angkatan bersenjata negeri berpenduduk 32 juta itu tak jauh berbeda dengan sebelumnya -- sekitar 100.000 orang. Maka, mau tak mau, memang terjadi penurunan kesejahteraan. Inilah, menurut sementara pihak, pokok soal adanya usaha kudeta. Presiden Menem, yang berada di Provinsi La Rioja, 1.100 km barat daya Buenos Aires, tentu saja membela diri. "Semua ini dilakukan dalam damai, kemurahan hati, dan segudang keberanian. Dan saya punya kewenangan melakukannya," kata Menem, yang pernah dipenjarakan rezim militer selama lima tahun. Memang butuh keberanian besar. Hasil pengumpulan pendapat umum sebelumnya menunjukkan bahwa 70% warga Argentina menentang pemberian pengampunan kepada para jenderal bekas penguasa itu. Bahkan delegasi Argentina untuk komisi hak-hak asasi di PBB mengundurkan diri -- sebagai protes atas keputusan itu. Banyak anggota pemerintahan Menem yang terang-terangan mengkritik pedas langkah sang presiden. Maka, sungguh ironis, upaya Menem untuk menstabilkan keadaan, kini, justru mengundang keresahan dan pertentangan. Pengampunan yang diberikan Menem termasuk untuk bekas penguasa Jenderal Jorge Videla, 65 tahun, dan Roberto Viola, 66 tahun. Kedua bekas penguasa itu divonis seumur hidup, karena terbukti terlibat usaha penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan selama berkuasa. Lima tahun pemerintahan kediktatoran Videla dikenal sebagai masa represi paling brutal dalam sejarah Argentina. Kediktatoran militer Argentina ambruk pada 1983, segera setelah keok dalam perang Malvinas melawan Inggris. Pemerintahan sipil pun segera berdiri, setelah Alfonsin terpilih sebagai penguasa baru. Pada 1985, pengadilan memutuskan, lima penguasa Junta Militer terbukti bersalah melakukan penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan. Vonis hukuman seumur hidup pun dijatuhkan. Rakyat Argentina menyebut pengadilan atas para jenderal itu sebagai pengadilan terbesar di abad ini. Pada 1987, kalangan militer melancarkan kudeta pertama -dari tiga kudeta militer yang berlangsung di masa Alfonsin -yang semuanya bisa digagalkan. Sejak itulah, muncul tuntutan untuk membebaskan para jenderal yang dipenjarakan. Repotnya, setelah tuntutan dikabulkan, protes dari sisi lain. Bisakah Menem bertahan? FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini