MASYARAKAT tampaknya semakin sadar akan hak-hak perdatanya. Buktinya, Bustami, seorang pensiunan Angkatan Darat di Salak Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, pekan-pekan ini menggugat Polsek Talawi di Pengadilan Negeri Sawahlunto karena sudah bosan menanti penyingkapan kasus kematian anaknya, Mukhlis. Keluarga Bustami, 60 tahun, menganggap Polsek Talawilah yang bertanggung jawab atas kematian Mukhlis, 19 tahun, anak bungsu dari tujuh bersaudara. "Kematian memang tak dapat dihindari. Tapi, kami tak bisa menerima kematian Mukhlis di sel Polsek Talawi. Sebab, tak ada tanda-tanda bunuh diri," kata Bustami. Memang, Bustami tak bermaksud menutupi dosa si anak. Pada pukul 14.00, 19 April 1990, Mukhlis, dalam keadaan segar bugar, ditangkap polisi karena dituduh mencuri pakaian tetangga. Polisi sempat menjanjikan "kebebasan" bagi Mukhlis jika keluarganya sanggup menyediakan dana Rp 300 ribu. Waktu itu, kata kakak Mukhlis, Jas Caniago, 23 tahun, keluarganya minta diberi waktu karena hanya punya uang Rp 100 ribu. Tiga hari kemudian, sekitar pukul 00.15, keluarga Bustami dibangunkan petugas Polsek Talawi. Mereka diberi tahu bahwa Mukhlis telah meninggal dunia karena gantung diri dengan seutas tali plastik di dalam selnya. Tentu saja keluarga Bustami tak bisa menerima kenyataan tersebut. Lagi pula, tutur Jas Caniago, kepala dan sekujur badan korban ternyata lebam-lebam membiru. "Kami juga punya saksi mata yang melihat adik kami digebuki di dalam sel," ujar Jas. Sebab itu, mereka mengadukan kasus itu ke Pom ABRI dan kemudian ke Polda Sum-Bar. Tapi, sampai tiga bulan kemudian, pengaduan itu tak kunjung digubris instansi penyidik tadi. Akhirnya, melalui LBH Padang, Jas Caniago menuntut ganti rugi Rp 100.225.000 (Rp 100 juta untuk kerugian moril, sisanya untuk ongkos pemakaman) dari Polsek Talawi di pengadilan perdata. "Sesuai dengan undang-undang, keselamatan tersangka adalah tanggung jawab polisi. Ternyata, Mukhlis tak selamat," ujar Reynaldi Abraham dari LBH Padang. Tim kuasa hukum Polsek Talawi, Kapten (Pol.) J.G. Tambunan, Kapten B. Sianturi, dan Kapten Muzwar, menilai gugatan itu tak layak diajukan ke sidang perdata. Mestinya, katanya, kasus itu diajukan ke praperadilan. "Kendati diajukan ke praperadilan, perkara itu tetap harus ditolak. Sebab, proses penahanan korban sudah sesuai dengan prosedur KUHAP," kata mereka. Tak hanya nyawa Muchlis yang dituntut di sidang perdata. Seorang ibu di Padang, Sum-Bar, Nyonya Asmaliza, 41 tahun, juga terpaksa menggugat Rumah Sakit Jiwa Puti Bungsu (RSJPB) karena nyawa anaknya, Wimbardi Milano, 24 tahun, entah mengapa, hilang di situ. Ceritanya, pada 19 Oktober 1989, Asmalia mengantarkan anak sulungnya itu ke RSJPB Padang untuk dirawat di situ. Waktu itu, kendati fisiknya sehat walafiat, Wimbardi tampak mengalami kelainan jiwa. Namun, baru semalam Wimbardi dirawat, tiba-tiba muncul mobil ambulans RSJPB di pekarangan rumah Nyonya Asmaliza. Betapa kagetnya mereka sekeluarga begitu melihat para petugas menurunkan sesosok mayat, yang ternyata Wimbardi. Tanpa secarik pun surat keterangan mayat itu dikirimkan ke rumahnya. Petugas tadi hanya mengatakan bahwa Wimbardi meninggal akibat memakan biskuit beracun. Asmaliza tak mempercayai keterangan tersebut. Sekujur tubuh Wimbardi tampak membiru bekas pukulan. Darah juga tampak mengalir dari hidung dan telinganya. Namun, begitulah, sampai hampir setahun upaya Asmaliza menanyakan kasus itu ke RSJPB dan Polresta Padang tak kunjung membuahkan hasil. Karena itu, Asmaliza terpaksa menempuh jalur perdata. Ia menuntut ganti rugi Rp 1 milyar -- kerugian moril -- dan Rp 225 ribu kerugian materiil dari Yayasan RSJPB di Pengadilan Negeri Padang. Kuasa RSJPB, Nursyam Saleh, menganggap gugatan itu berlebihan. Mestinya, katanya, penyebab kematian Wimbardi diperjelas dulu lewat proses pidana. "Sekarang kan belum jelas apa memang ada petugas RSJPB yang lalai," kata Nursyam. Nursyam benar. Tapi bagaimana caranya kalau proses pidana tak kunjung sampai ke meja hijau? Hp. S., Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini