Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Juragan becak menguji mahkamah

Enam orang juragan becak melalui ylbhi memohon agar ma menyatakan keputusan gubernur dki tentang penetiban becak tidak sah. ylbhi menuntut agar mahkamah agung menjalankan fungsi judicial review.

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU-satunya wewenang khusus Mahkamah Agung (MA) yang hampir tak pernah digunakan adalah hak menguji secara materiil ( judicial review) peraturan di bawah undang-undang. Sebab itu, sangat menarik, ketika hak itu kini dicoba keampuhannya oleh enam orang juragan becak. Melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), akhir Desember lalu, mereka memohon agar MA menyatakan keputusan Gubernur DKI Jakarta tertanggal 19 Juni 1990 tentang penertiban becak tidak sah. Sebab, "Keputusan itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi," kata salah seorang pengacara YLBHI yang menangani kasus tersebut, Mas Achmad Santosa. Mereka juga menganggap pelaksanaan keputusan itu, berupa operasi penghapusan becak tanpa izin penyitaan dari pengadilan, selain sangat merugikan kliennya juga telah melanggar ketentuan upaya paksa yang diatur hukum acara (KUHAP). Menariknya, tak sebagaimana lazimnya, permohonan pengujian itu diajukan YLBHI tanpa melalui perkara. Padahal, selama ini, sebagaimana sudah dianggap umum, MA hanya bisa menggunakan hak uji materiilnya itu jika ada perkara. Hal ini juga pernah ditegaskan kembali oleh Hakim Agung Prof. Busthanul Arifin dalam seminar tentang Kewenangan MA di Universitas Islam Nusantara Bandung, Maret silam. Hingga pekan lalu, kendati MA dan Pemda DKI belum menanggapi permohonan tersebut, terobosan YLBHI itu mengejutkan segenap praktisi hukum. "Kami juga berharap agar Pemerintah dan DPR segera memikirkan prosedur dan mekanisme yang tepat tentang pengawasan hukum MA dengan hak judicial review-nya," kata Mas Achmad. Bukankah, tambahnya, selama ini banyak sekali peraturan di bawah undang-undang yang "centang-perenang"? Upaya YLBHI itu adalah buntut operasi penghapusan becak sepanjang tahun lalu di Jakarta. Operasi tersebut semakin keras setelah keputusan Gubernur Wiyogo Atmodarminto lahir 19 Juni 1990. Dengan keputusan itu, petugas kamtib diperkenankan "meng- garuk" becak-becak sekalipun berada di rumah/gudang juragan becak atau di halaman gedung apa pun. Berdasarkan keputusan itu, sampai Desember silam, setidaknya 4.452 becak per bulan "digaruk" petugas. Di antaranya sekitar 165 becak -- yang sebagian besar berada di halaman rumah -milik keenam klien YLBHI tadi "disikat" petugas kamtib. Kini diduga hanya tinggal 1.366 becak yang masih "kucing-kucingan" di lingkungan DKI. Rencananya, pada April nanti DKI akan " bersih" dari becak. Tak seperti juragan ataupun tukang becak lainnya yang juga menjadi korban, keenam juragan becak tadi, selain memerkarakan masalah itu lewat gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, juga "mengangkat langsung" keputusan Wiyogo tersebut ke MA. Melalui Mas Achmad Santosa, Widodo Mudjiono, dan Maulite P. Situmeang, mereka menganggap keputusan itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Peraturan yang dimaksud adalah pasal 27 (2) UUD'45, TAP MPR RI No. II/MPR/ 1988 tentang GBHN, Undang-Undang Tenaga Kerja tahun 1969, dan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial tahun 1974. Unsur inti dari keempat peraturan yang dianggap dilanggar Wiyogo itu adalah tentang hak dan kesempatan bekerja/berusaha bagi setiap orang di sektor informal. Menurut Mas Achmad, Mahkamah Agung berhak menguji keabsahan keputusan gubernur tersebut. Sebab, pada pasal 31 (3) UndangUndang Mahkamah Agung tahun 1985 tercantum bahwa instansi itu "dapat" menguji secara meteriil peraturan di bawah undangundang. Kata "dapat" itu, kata Mas Achmad, mengandung arti bahwa kewenangan MA menguji bersifat aktif. Artinya, "Tak harus dengan pemeriksaan perkara di tingkat kasasi. Bisa juga lewat permohonan seperti yang kami ajukan," katanya. Mas Achmad mengakui upaya by pass itu ditempuh untuk menyingkat waktu. Soalnya, permohonan pengujian serupa, yang pernah diajukan YLBHI ke MA pada Mei 1989, melalui kasasi perkara seorang pedagang asongan, hingga kini tak jelas nasibnya. Jangan-jangan, "Begitu diputus, efektivitas dan relevansinya bagi pencari keadilan sudah hilang," ujar Mas Achmad. Kepala Biro Hukum Pemda DKI T.M. Silalahi mengaku tak terlalu khawatir menghadapi terobosan YLBHI ke MA. "Itu hak mereka," ucapnya. Pada Mei silam, kata Silalahi, instansinya pernah menghadapi gugatan dari 11 orang pemilik dan pengemudi becak. Hasilnya, pada November lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut. Sebabnya, sambung Silalahi, keputusan Gubernur Wiyogo tadi cukup berdasar dan sudah sesuai dengan prosedur hukum. Keputusan itu, katanya, sebenarnya hanya pelaksanaan Perda 11/1988, yang berisi larangan melakukan pembuatan, perakitan, dan penjualan becak di wilayah DKI. Sayangnya, "Mereka tak menyebut-nyebut perda itu. Malah larinya ke UUD '45, TAP MPR, dan undang-undang, yang berupa pengaturan secara global," kata Silalahi. Persoalannya, tepatkah terobosan YLBHI itu. Menurut Ketua Umum Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia), Albert Hasibuan, sesuai dengan maksud pembuat Undang-Undang MA, wewenang judicial review memang harus lewat perkara. Begitu bunyi yurisprudensi pertama Mahkamah Agung dalam soal hak uji itu --dalam sebuah kasus tanah pada 1975. Memang, Albert sendiri berharap wewenang MA tersebut -sebagaimana di banyak negara maju -- bisa bersifat aktif. Malah, katanya, kalau perlu tak hanya menunggu adanya permohonan dari masyarakat atau instansi. Artinya, MA harus memantau dan menilai berbagai peraturan mana saja yang dinilai bertentangan dengan undang-undang. Cuma, ya, mau tak mau memperbarui landasan hukumnya lagi. Toh para juragan becak tersebut tak berarti sudah kehilangan harapan. Wakil Ketua MA Purwoto S. Gandasubrata berpendapat bahwa kata "dapat" di undang-undang MA itu menyiratkan kewenangan MA bersifat aktif. Artinya, bisa diterapkan tanpa harus ada perkara. "Tapi, bagaimana keputusan MA, terserah majelis yang memeriksa permohonan itu," kata Purwoto kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Happy S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus