UPACARA itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi penduduk sekitar. Disertai nyanyian dan doa-doa, sekumpulan warga Yahudi mendorong sebongkah batu seberat 4,5 ton ke pekarangan Masjidil Aqsa, Yerusalem. Belum lagi batu itu sampai di sasaran, warga muslim menyerang dengan lemparan batu dari sisi yang lain. Polisi Israel datang dan bentrokan tak terhindarkan. Tembakan meletus. Orang-orang berhamburan. Hasilnya: sepuluh warga muslim dan lima polisi Israel terluka.
Ritus di atas, sejatinya, bukan soal sederhana. Warga Israel percaya bahwa jauh sebelum tegaknya Masjidil Aqsa, Nabi Sulaiman telah membangun Kuil Yahudi (Temple Mount) di Kota Tua Yerusalem. Ketika bangsa Babilonia, Roma, dan Islam menguasai kawasan itu, kuil tersebut dihancurkan. Batu yang mereka sorongkan ke halaman Masjidil Aqsa mencerminkan impian kaum Yahudi untuk membangun kembali Temple Mount seraya menolak keberadaan Masjidil Aqsa dan komunitas muslim di kawasan itu.
"Masjidil Aqsa merupakan wujud imperialisme (Islam) terhadap warga Yahudi," kata Gershon Salomon, pemimpin Kelompok Loyalis Temple Mount—sebuah komunitas Yahudi radikal yang memprakarsai upacara peletakan batu fondasi tadi. Tak ada yang mati dalam insiden di atas, memang. Tapi apa yang terjadi di Yerusalem pada Minggu, 29 Juli lalu, itu menandakan kemarahan warga muslim. Dan mereka punya alasan kuat untuk meradang. Umat Islam percaya bahwa Masjidil Aqsa adalah masjid suci kedua—setelah Masjidil Haram di Mekah, Arab Saudi. Jadi, tafsir Yahudi terhadap Kuil Sulaiman tak serta-merta bisa menghapuskan keberadaan Masjidil Aqsa.
Sejauh ini, kelompok yang ngotot mem-bangun kembali Kuil Sulaiman adalah kelompok pimpinan Salomon. Didirikan pada 1967, komunitas Yahudi radikal ini beranggotakan para rabi dan warga Israel garis keras lainnya. Kelompok ini dibentuk untuk menyikapi keputusan Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan yang menyerahkan pengelolaan kawasan Masjidil Aqsa kepada kaum muslim. "Dayan telah membuat keputusan yang salah. Apa yang terjadi saat ini adalah karena keputusan itu," kata Salomon.
Upacara menyorong batu pada Ahad dua pekan lalu itu bukan yang pertama. Selama lebih dari 30 tahun, upacara itu mereka lakukan setiap tahun. Salomon dan rekan-rekannya adalah representasi dari Yahudi ortodoks yang umumnya tak percaya bahwa konflik Arab- Israel di Yerusalem bisa diselesaikan melalui perundingan. Peneliti dan pengajar studi Timur Tengah di sebuah universitas di Israel itu pernah berperang untuk negerinya saat pecah konflik dengan Suriah pada 1958. Perang itu bukan satu-satunya hal yang dilakukan Salomon untuk Israel. Ia juga berupaya mengumpulkan warga Yahudi di seluruh dunia untuk menempati tanah penduduk Palestina di Yerusalem dan Jalur Gaza.
Salomon dikenal dekat dengan Stanley Goldfoot, warga radikal lain yang mendirikan Kelompok Loyalis Temple Mount. Goldfoot adalah anggota kelompok teroris Stern Gang—yang dikenal sebagai Freedom Fighters for Israel. Salomon dan warga Yahudi radikal lainnya rata-rata bukan jenis orang yang mempercayai pemerintahnya. "Perdana menteri dan anggota Knesset (parlemen Israel) adalah orang-orang pertama dalam daftar mereka yang harus mati," katanya. Tak mengherankan, siapa pun yang terpilih menjadi perdana menteri, Salomon menilainya sebagai pengkhianat.
Seberapa kuat kelompok radikal Yahudi semacam ini dalam tatanan politik Israel? Se-cara formal tidak besar. Kelompok sayap kanan, misalnya, hanyalah minoritas di Knesset. Tapi, di mata masyarakat umum, pandangan radikal ala Salomon ini terus berkembang. Sekelompok politisi Israel malah me-lihat komunitas radikal ala Salomon sebagai lahan subur untuk meraup dukungan. Hal itulah yang dilakukan Perdana Menteri Ariel Sharon ketika berkunjung ke Al Quds di kawasan Masjidil Aqsa, September tahun lalu.
Sikap Sharon yang jauh dari rasa hormat kepada masjid suci umat Islam itu memancing bentrokan dan mengalirkan darah empat pemuda Palestina. Arogansi Sharon tak hanya menyakiti kaum muslim. Pejabat-pejabat Israel bahkan mengecam tindakannya. "Sharon melakukan itu untuk mencari dukungan pu-blik agar ia bisa mengalahkan Ehud Barak," kata Shimon Peres—Deputi Perdana Menteri Israel dari kubu Barak—kepada TEMPO beberapa waktu lalu.
Apa yang dilakukan Sharon di Masjidil Aqsa akan selalu membuat orang teringat kepada sebuah ironi lama tentang Yerusalem. Di kota itu, orang bisa saling melenyapkan nyawa karena agama. Tapi orang juga dengan mudah bisa memanfaatkan agama untuk mendapatkan dukungan politik.
Arif Zulkifli (The Tribune Papers, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini