Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rimba Laut pun Sekarat

Seperempat terumbu karang dunia memucat akibat naiknya suhu bumi. Memulihkannya butuh waktu seabad.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENCINTA seafood mesti membiasakan lidahnya mengecap menu lain. Sebentar lagi, laut akan semakin pelit menyediakan sumber pangan. Baskom raksasa itu akan menjadi tempat yang sulit bagi ikan-ikan beranak-pinak. Terumbu karang, sebagai rumah bagi ikan-ikan, kini rusak parah. Kabar terbaru datang dari Kepulauan Rangiora, Polinesia Prancis. Kepulauan di kawasan Pasifik Selatan itu sebelumnya menjadi istana bagi satwa laut. Dengan bentang terumbu karang sepanjang 42 mil dan lebar 16 mil, daerah ini tercatat sebagai terumbu karang terluas kedua di dunia, setelah The Great Barrier Reef di Australia. Berita menyedihkan itu datang dari Universitas Newcastle, Inggris, yang memublikasikan hasil penelitiannya pada Jumat dua pekan lalu. Riset yang dilakukan fakultas ilmu kelautan itu menyebutkan, hampir seluruh terumbu karang di Kepulauan Rangiora itu mulai pucat wajahnya, yang menunjukkan gejala awal kematian. Dr. Peter Mumby, yang mengepalai penelitian itu, menyebut gejala ini akibat meningkatnya suhu air laut tiga tahun lalu. Saat itu, suhu air laut melonjak dari rata-rata 28 derajat menjadi 34 derajat Celsius dalam tempo tiga bulan. Lonjakan ini disebabkan oleh peningkatan suhu bumi atau global warming. "Biasanya, ketika temperatur laut meningkat, koral hanya layu, kemudian pulih kembali," kata Mumby. Namun, kali ini koral itu langsung memucat, lalu hancur. Yang sangat di-sayangkan, banyak di antara karang yang mati itu sudah mencapai umur 800 tahun. Kerusakan semacam ini hanya bisa kembali pulih dalam jangka panjang. "Mereka (terumbu karang) membutuhkan waktu seabad untuk bisa pulih lagi," kata Mumby. Itu pun jika suhu air laut kembali normal. Terumbu karang memang salah satu makhluk hidup yang paling manja. Mereka hidup di laut yang ombaknya tenang. Dan yang terpenting: hanya bisa berkembang pada suhu air antara 18 dan 30 derajat Celsius. Jika terjadi peningkatan suhu laut di luar batas toleransi, sebagian besar terumbu akan sekarat. Masalahnya bukan hanya terumbu karang yang rusak. Kehidupan nelayan juga terancam. Terumbu karang merupakan rimba di dasar laut dan rumah bagi ekosistem laut yang men-dukung hidupnya ribuan spesies ikan yang telah tinggal lebih dari 2,5 juta tahun. Rangiora juga akan kehilangan pendapatan dari wisata yang menjual rekreasi bersama ikan paus, lumba-lumba, hiu, dan kura-kura. Sebelumnya, naiknya suhu bumi juga menggerogoti bentang karang terbesar di dunia, The Great Barrier Reef. Sejak per-tengahan 1998, 30 persen terumbu karang di bentang karang di timur laut pantai Australia itu juga memucat. Studi terbaru awal tahun ini menunjukkan 90 persen warna-warni The Great Barrier Reef telah berganti menjadi putih. Memutihnya wajah karang ini disebabkan oleh terputusnya simbiosis antara alga dan karang. Alga jamaknya menyediakan makanan bagi koral dalam fotosintesis. Namun, saat suhu meningkat, kemampuan untuk berfotosintesis benar-benar lenyap. Akibatnya, secara perlahan karang akan mati. Adapun naiknya suhu bumi ini disebabkan oleh peningkatan jumlah gas efek rumah kaca (karbon dioksida, nitrogen, metana) di atmosfer. Gas ini berasal dari kentut industri dan pembakaran bahan bakar fosil. Gas ini juga menjebak radiasi inframerah matahari dalam atmosfer hingga gagal lepas ke angkasa dan membuat suhu bumi meningkat. Menurut pengamatan yang dilakukan British Meteorological Office, sejak enam tahun lalu, bumi mencatat rekor paling panas sepanjang sejarah, dan terus meningkat. Menurut laporan International Society for Reef Studies, karang yang mulai pucat kini menyebar di 60 negara. Itu terutama terjadi di negara-negara kepulauan di Lautan Pasifik, Lautan Hindia, Laut Merah, Teluk Persia, Karibia, dan Mediterania. Kawasan Lautan Hindia mengalami kematian massal terbesar, yang diperkirakan mencapai 70 persen. Para peneliti menyebut, dalam tempo tiga tahun, pemanasan global telah membantai seperempat terumbu karang dunia. Dalam simposium internasional tentang terumbu karang di Bali, Oktober lalu, Ove Hoegh-Guldberg, peneliti dari Australia, mengingatkan besarnya sumbangan laut bagi kehidupan jutaan manusia. Setiap tahun laut menyumbangkan sekitar US$ 400 miliar (sekitar Rp 4.000 triliun) bagi nelayan, industri perikanan, dan pariwisata. Di Indonesia sendiri, menurut Dr. Mohammad Kasim Moosa, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebagian terumbu karang juga mulai memucat. "Gejala bleaching (berubah menjadi putih) terlihat jelas dari ujung barat hingga timur Laut Jawa," kata Kasim. Bahkan, kini terumbu karang di Sumatra Barat juga mulai "demam". Satu lagi khazanah alam terancam memudar. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus