Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bersama Menyiram Hutan Dunia

Konferensi pertama tingkat dunia soal kebakaran hutan hanya menghasilkan kerja sama tukar informasi. Indonesia sendiri baru memulai.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun, warga dunia merugi ratusan triliun rupiah. Lenyapnya uang itu bukan terjadi di perkotaan sebagai pusat ekonomi, melainkan di hutan, tempat yang tenang dan rindang. Ya, kebakaran hutan di seluruh dunia telah melenyapkan potensi yang mestinya bisa memberi makan jutaan manusia. Sayangnya, kebakaran hutan masih dianggap sebagai urusan negara yang bersangkutan dan kawasan sekitarnya. Kalaupun ada kerja sama atau bantuan dari negara lain, sifatnya dadakan saja. Nah, negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Fire Fight South East Asia berinisiatif mempertemukan banyak negara yang bermasalah dengan kebakaran hutan. Fire Fight Asia Tenggara kemudian menggelar konferensi dunia pertama, yang berakhir Sabtu dua pekan lalu. Sebanyak 130 delegasi dari 26 negara—dari 50 negara yang di- undang—hadir dalam Konferensi Kebakaran Dunia atau International Conference on Community Involvement in Fire Management, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka di antaranya dari Gambia, Swiss, India, Brasil, Australia, dan Jerman. Selain wakil dari pe-merintah dan organisasi nonpemerintah, sejumlah lembaga donor dunia seperti FAO (organisasi pangan dunia di bawah PBB) dan Uni Eropa ikut hadir dalam konferensi ini. Selama empat hari, mereka saling bertukar pengalaman. Konferensi itu melahirkan gagasan untuk membentuk jaringan informasi bersama antarnegara. Informasi tersebut terutama mengenai penelitian dalam mengatasi kebakaran. "Banyak hasil penelitian yang bisa diterapkan dapat dipakai negara lain," kata Dicky Simorangkir, Deputy Coordinator Fire Fight Asia Tenggara. Manfaat berbagi hasil penelitian ini, negara lain tak perlu membuang uang—yang terkadang didapat lewat utang—untuk membuat penelitian yang sering kali sama. Para delegasi juga berharap pertemuan pertama ini menjadi embrio bagi bentuk kerja sama lainnya. Termasuk di dalamnya mempertemukan lembaga donor dengan negara yang membutuhkannya. Sayangnya, pertemuan bersama itu tak membentuk lembaga bersama. Padahal lembaga ini bisa mempercepat kerja sama di lapangan jika sebuah negara mengalami bencana kebakaran hutan. Lihat saja biaya yang sudah dikeluarkan banyak negara untuk mengatasi kebakaran hutan. Di sejumlah negara Uni Eropa (Prancis, Yunani, Italia, Portugal, dan Spanyol), misalnya, sekitar 2,1 juta hektare hutan mereka terbakar dalam lima tahun terakhir. Mereka harus membelanjakan sekitar Rp 80 triliun untuk memadamkannya. Tahun lalu, pemerintah federal Amerika Serikat menghabiskan biaya Rp 13 triliun, sementara pemerintah Kanada tiap tahun membuang Rp 2,1 triliun anggarannya. Belum lagi kebakaran hutan di negara-negara Afrika, Asia, dan Australia. Indonesia sendiri empat tahun lalu mengalami kebakaran hutan paling parah. Menurut studi yang dilakukan World Wildlife Fund (WWF), Indonesia merugi Rp 4,5 triliun. Kerugian itu selain berupa biaya pemadaman juga hilangnya nilai ekonomi kayu yang terbakar, merosotnya kesehatan masyarakat akibat polusi, serta macetnya industri kehutanan dan pariwisata. Program penanggulangan kebakaran hutan di Indonesia sempat juga berjalan tanpa koordinasi. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat masing-masing punya program sendiri-sendiri yang sering kali tumpang- tindih. Namun, Desember lalu, mereka bisa bertemu dalam satu meja. Forum yang mereka sebut Jaringan Advokasi Pencegahan Bersama Kebakaran Hutan dan Lahan ini menyatukan program menyeluruh dari semua program yang ada di Indonesia. Menurut Edi Nugroho, staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) yang terlibat dalam mengatasi bencana kebakaran hutan, kerja sama ini sampai di tingkat pelaksanaan lapangan. Sejak titik api pertama tertangkap satelit, informasi itu langsung disebarkan ke daerah. Daerah kemudian langsung menuju lokasi untuk mengumpulkan berbagai bukti, bahkan pelakunya bisa diseret hingga pengadilan. "Kami berharap advokasi bersama ini akan memberi kekuatan lebih dalam mengatasi kebakaran," kata Edi. Jaringan ini bersekretariat di Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo). Menurut Ketua Konphalindo, Tejo Wahyu Jatmiko, saat ini mereka masih mengumpulkan data dan menyusun action plan bersama. Selain itu, mereka juga mengumpulkan data tentang program yang didapat lewat bantuan ataupun utang. "Kita saling mengawasi supaya utang yang kita dapat tak terbuang percuma," kata Tejo. Jadi, selain bermain di tingkat dunia, kebakaran di rumah sendiri juga harus diurus. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus