DI tengah acara joget dan nyanyi bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Collin Powell, Makiko Tanaka tak alpa menjawil Menteri Luar Negeri Burma Win Aung dan mengajaknya berbicara. Bersama para menteri luar negeri ASEAN lainnya, Win Aung hadir dan menyaksikan duet Powell-Tanaka yang meriah dalam acara penutupan pertemuan tersebut di Hanoi, Selasa pekan silam. Tapi pembicaraan Tanaka dengan Win Aung tentu bukan urusan lagu atau joget. Kepada koleganya itu, Menteri Luar Negeri Jepang tersebut membisikkan agar pemerintah Burma segera membebaskan 1.800 tahanan politik serta memulihkan hak-hak tokoh oposisi Aung San Suu Kyi, 55 tahun.
"Saya katakan kepadanya, meski hal ini urusan intern Burma, saya minta Suu Kyi dikembalikan ke tengah masyarakatnya secepat mungkin," ujar putri bekas perdana menteri Tanaka itu. Pemerintah Jepang, yang selama ini menjadi negara donor utama Burma, sudah gerah melihat lambannya junta militer Burma mengembalikan praktek demokrasi di negeri tersebut. Suu Kyi telah berunding dengan rezim militer sejak Oktober lalu. Tapi hasilnya tak kunjung terlihat.
Uni Eropa dan Amerika Serikat pun tak kalah berangnya menyaksikan perilaku junta militer di negara tersebut. "Kami ingin Burma lebih demokratis dan bukan hanya membebaskan segelintir tahanan politik," kata Louis Michel, Menteri Luar Negeri Belgia. Baru-baru ini, junta melepas 150 tahanan politik. Tapi ketidakhadiran Suu Kyi dalam peringatan Hari Pahlawan—yang mengenang kepahlawanan ayahnya, Jenderal Aung San—per-tengahan bulan lalu menimbulkan spekulasi bahwa upaya damai itu gagal. Menjawab permintaan Tanaka, Win Aung mengatakan, sudah banyak kemajuan sejak Suu Kyi dan pemerintah Burma berunding sembilan bulan silam.
Benar demikian? Win Aung terlalu optimistis. Sampai saat ini, Suu Kyi masih tetap dibekap di rumahnya dengan penjagaan ketat. Junta melakukan "politik pintu berputar" (revolving door policy) untuk menghindari pelolotan amarah pihak Barat. Caranya? Pihak penguasa menangkapi politisi oposisi. Beberapa di antaranya mereka bebaskan untuk kemudian ditangkap lagi tanpa proses peradilan.
Alhasil, sejak militer mengambil alih ke-kuasaan pada 8 Agustus 1988, Burma mencatat "prestasi" sebagai negara Asia dengan jumlah tahanan politik terbesar. Senapan mesin junta juga telah menewaskan ribuan orang. Selama itu, Suu Kyi tetap melawan penindasan junta militer dengan cara damai. Padahal, putri Jenderal Aung San itu tahu betul bagaimana para tahanan politik disiksa entah di berapa penjara oleh tangan-tangan junta.
Militer juga menyensor ketat media massa—termasuk menggunting kata "demokrasi", "korupsi", bahkan kata "pendidikan" dari berita koran. Media asing hanya masuk ke hotel berbintang—setelah gunting sensor membabat berita-berita yang dianggap miring. Akibatnya amat luar biasa. Rakyat Burma hidup dengan ketakutan mendalam terhadap rezim militer. "Jangan menggunakan kata `demokrasi' di sini," ujar seorang pemandu wisata. Pemandu itu marah tatkala sekelompok wisatawan asing ribut memilih restoran dan tanpa sengaja mengucapkan kata "demokrasi".
Toh, penindasan habis-habisan terhadap oposisi tak menyurutkan nyali rakyat Burma. Buktinya? Dalam pemilu 1980, mayoritas suara mendukung National League for Demo-cracy (NLD), partai oposisi yang dipimpin Suu Kyi. Partai itu meraup lebih dari 80 kursi di parlemen. Maka, bapak-bapak jenderal pun meradang. Junta menolak parlemen bersidang dan mengubah namanya menjadi Dewan Pembangunan dan Perdamaian Negara (SPDC).
Selain itu, gerak-gerik Suu Kyi dan NLD dibatasi betul. Pada akhir 1991, militer menangkapnya hanya karena ia keluar dari ibu kota (Yangoon) untuk sebuah pertemuan politik. Wanita ini dikenai tahanan rumah. Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 ia terima secara in absentia. Status tahanan rumahnya dicabut dua tahun kemudian.
Anehnya, Suu Kyi tetap tak diperbolehkan keluar dari Yangoon. Suatu ketika ia bahkan dipaksa kembali ke rumahnya dengan tangan terborgol bak kriminal. Tragedi yang lebih menyesakkan terjadi saat suaminya, Michael Aris, wafat di Inggris, pada 1999—setelah tiga tahun mereka berpisah. Junta militer mengizinkannya pergi ke Inggris, tapi Suu Kyi memilih berkabung di rumahnya demi Burma.
Ia tahu, sekali ia ke luar negeri, junta tak akan mengizinkannya kembali. "Kami me-megang janji kepada rakyat untuk mewujudkan demokrasi," katanya. Jutaan pendukung membalas pengorbanannya dengan memberinya sebuah julukan sederhana: sang Ibu.
Raihul Fadjri (Sydney Morning Herald, BBC, Altsean Burma)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini