Kerumunan massa itu mengusung selembar poster seorang pria yang tersenyum sembari menyingsingkan tinggi-tinggi lengan kemejanya. Dengan rambut gondrong yang ribet, gaya bicara ceplas-ceplos, dan status bujangan, Perdana Menteri Junichiro Koizumi—pria dalam poster itu—tengah jadi idola baru di Jepang. Jutaan helai posternya ludes dalam beberapa bulan terakhir. Anak-anak muda mengenakan kaus dengan gambarnya di dada mereka. Dan para eksekutif muda Tokyo dengan bangga membungkus telepon genggam mereka dalam sarung telepon yang berhiaskan rupa Koizumi.
Popularitas Koizumi juga kembali terbaca dalam pemilihan umum nasional di Jepang pada 29 Juli lalu. Pemilu itu, yang dilangsungkan untuk memilih para anggota majelis tinggi, lagi-lagi membuktikan "kesaktian" sang Perdana Menteri. Partai Demokratik Liberal (LDP)—yang mendukung Koizumi—menyapu kursi di majelis tinggi dengan telak. Mereka menyabet 78 kursi. Padahal, partai itu cuma perlu 63 kursi untuk menjadi mayoritas di parlemen.
Bukan rahasia lagi bahwa Koizumi adalah bintang baru LDP. Namanya menjadi pemikat para konstituen—terutama kaum muda. Dalam tahun-tahun terakhir, dukungan kepada LDP memang terus melorot. Pendukung muda LDP yang bosan melihat dominasi kaum konservatif, yang rata-rata terdiri dari politisi gaek, dengan senang hati mengalihkan suaranya ke partai lain. Naiknya Koizumi membuat anak-anak muda itu "kembali ke kandang" lama.
Alhasil, Koizumi pun mencatat rekor baru. Ia menjadi perdana menteri Jepang paling populer dalam setengah abad terakhir. Tapi ada pertanyaan penting: apa implikasi positif dari kemenangan LDP di majelis tinggi yang bisa diberikan Koizumi kepada rakyat Jepang? Berita baiknya, kemenangan ini mencerminkan rakyat Jepang mempercayai Koizumi—dengan dukungan LDP—untuk menjalankan program pemulihan ekonominya yang ia tetapkan setelah kemenangannya, April silam.
Kebijakan itu, antara lain, membatasi penerbitan obligasi sebagai upaya meratakan gunungan utang Jepang sebesar Rp 2.700 triliun lebih. Ia juga harus menggenjot pertumbuhan ekonomi Jepang yang melorot hingga 0,6 persen—dari 1,6 persen pada 2000—serta mencarikan jalan keluar bagi 3 juta lebih penganggur Jepang. Rapor Koizumi dalam tiga bulan ini belum teruji karena kondisi ekonomi memang belum banyak beranjak.
Pengamat politik Shigenori Okazaki mengibaratkan Perdana Menteri sebagai dokter bedah yang hendak melakukan operasi, tapi ia belum memberi tahu si pasien bagian tubuh mana yang harus diamputasi untuk meng-hilangkan penyakit. Dalam wawancara dengan pers Jepang April lalu, Koizumi berterus terang, program reformasi ekonominya akan menghasilkan dampak yang pahit bagi publik: akan ada banyak perusahaan yang tutup, yang tentu saja akan meningkatkan angka pengangguran.
Di luar pembatasan obligasi, Koizumi juga bertekad membereskan bank-bank yang bermasalah, mengirit belanja operasional pemerintah, melakukan swastanisasi untuk sistem tabungan pos. Dengan langkah-langkah ini, ia berharap bisa mengangkat Jepang keluar dari lumpur kesengsaraan beberapa tahun terakhir ini. Hasilnya? Ia memperkirakan buah dari program pemulihan ekonomi ini baru bisa dikecap oleh rakyat Jepang dua-tiga tahun ke depan.
Walau kebijakan reformasi ini masih perlu waktu panjang untuk dibuktikan, rakyat Jepang tampaknya berpihak betul pada Koizumi. Popularitas pria berusia 59 tahun ini terus saja terkerek ke atas. Banyak pengamat bingung menafsirkan gejala tersebut. Apakah ini cuma sejenis eforia politik setelah Jepang muak dengan konservatisme LDP selama puluhan tahun? Ataukah rakyat Jepang betul-betul menaruh harapan kepada Tuan Perdana Menteri dan timnya?
Masyarakat Jepang memang tak punya banyak pilihan kecuali siap menderita selama masa pemulihan ekonomi di negeri itu. Apalagi, perekonomian Jepang minggu-minggu ini kian buruk. Pada 23 Juli lalu bursa saham di Jepang menyentuh dasar terendah selama 16 tahun terakhir. Tak mengherankan, pengamat politik Shigezo Hayasaka sampai membandingkan program ekonomi Koizumi dengan balon yang mudah pecah sewaktu-waktu.
Alhasil, kemenangan LDP di majelis tinggi memang memperkukuh posisi Koizumi. Tapi ekonomi Jepang tak bisa diselesaikan dengan peluk cium di parlemen selepas pemilu. Junichiro Koizumi harus membayar setiap suara rakyat Jepang yang mendukungnya dengan menjaga "balon" reformasi ekonominya jangan sampai tertusuk duri.
Ignatius Haryanto (Daily Yomiuri, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini