Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berbicara tentang tokoh yang raib selama dua-tiga minggu terakhir itu. Bercambang lebat, radikal, bersorban hitam tanda ia masih keturunan Nabi Muhammad, 34 tahun, dan memiliki milisi Syiah yang ditakuti.
ABC News pekan lalu menulis, ia, Muqtada al-Sadr, telah terbang ke Iran bersama beberapa personel tentara Mahdi. ABC mengutip tafsir seorang pejabat Amerika Serikat: menyadari dirinya akan menjadi sasaran tembak, Muqtada cepat-cepat angkat kaki.
Seperti diketahui, Presiden AS, George W. Bush, telah memutuskan untuk menerjunkan pasukan tambahan ke Irak. Diperkirakan dalam waktu dekat 21 ribu tentara AS akan mendarat di Irak.
Menjadi target utama tentara AS bukanlah barang baru bagi Muqtada. Sejak tiga tahun yang lalu ulama muda militan ini telah masuk daftar kejaran pasukan koalisi yang dipimpin Amerika. Dosanya: menjadi dalang perlawanan bersenjata. Muqtada berhasil menyatukan kaum Syiah dan Sunni untuk melawan pasukan koalisi.
”Orang Irak yang bermartabat tidak akan menerima niat jahat Amerika menjajah Irak,” katanya.
Pada awal pendudukan Amerika, Muqtada mengklaim memiliki 10 ribu pasukan paramiliter Imam Mahdi. Namun, semakin hari, ia semakin populer. Pasukannya pun bertambah. Bahkan hampir 90 persen penduduk Sadr City di pinggiran Bagdad adalah pendukungnya. ”Pada pemilihan umum 2005 dua juta warga Sadr City memilih Muqtada,” kata Amar Kabab, 25 tahun, seorang warga kota itu.
Jejak Muqtada memang sudah ada jauh hari sebelum kedatangan pasukan AS. Ayahnya, Ayatullah Muhammad Sadiq al-Sadr, ulama terbesar Syiah pada dekade 1990. Sadiq Sadr giat berdakwah di kota suci Najaf dan suka mengkritik pemerintah diktatorial Saddam Hussein. Akibatnya, Februari 1999, Sadiq Sadr bersama dua kakak Muqtada tewas dibunuh intelijen militer Saddam. Sebelumnya, sekitar 1980, Muhammad Baqir Sadr, paman Muqtada, juga mati dibunuh. Baqir Sadr, merupakan ulama yang dianggap sederajat dengan pemimpin revolusi Iran, Ayatullah Ali Khomeini, dan ia ikut mendirikan Partai Dakwah yang menjadi oposisi Saddam. Partai ini pula yang melahirkan Perdana Menteri Irak saat ini, Nuri Kamal Muhammad Hasan alias Jawad al-Maliki.
Muqtada berpendirian kukuh dan keras. Ia diduga terlibat pembunuhan Ayatullah Abdul Majid al-Khu’i, anak ulama besar Najaf, Ayatullah al-Khu’i. Abdul Majid dituding terlalu lunak dan telah bersekutu dengan Amerika. Karena itulah Mustafa Yaqubi, orang dekat Muqtada, ditangkap pasukan koalisi pimpinan Paul Bremer waktu itu. Status ”buron” didapatnya sehari setelah penangkapan Yaqubi.
Dibandingkan tokoh Syiah lain, Muqtada amat keras menentang pendudukan AS. Kelompoknya membenci siapa pun warga Irak yang sudi bekerja sama dengan pasukan koalisi. Ia pernah menolak eksistensi Pemerintahan Transisi Irak dan mendeklarasikan kabinet bayangan. Ia tak pernah menyembunyikan targetnya: Irak yang independen dan menerapkan hukum Islam sebagai dasar negara.
Pasukan Muqtada pernah unjuk kekuatan pada 2003, beberapa saat setelah invasi AS dan Saddam jatuh. Para pengikutnya mengepung rumah Ayatullah Ali Sistani di Najaf dan menguasai makam Imam Ali bin Abi Thalib. Penguasaan Najaf baru berakhir setelah sekitar 1.500 kepala suku turun tangan dan meminta mereka bubar. Itu pun setelah sempat perang berhari-hari dengan para pengikut Ayatullah Sistani dan pasukan paramiliter Sunni, Tentara Badr.
Paramiliter Muqtada cukup disegani. Merekalah yang pertama kali menembak jatuh helikopter perang AS tak jauh dari kota Najaf.
Belakangan, Muqtada bisa dibujuk masuk ke dalam ”sistem”. Bahkan ia menyetujui kebijakan Marja’ Ayatullah Sistani: ”merebut Irak lewat demokrasi”. Meski dalam pemilihan umum 2005 partainya, Blok Sadrist, tak mendapat suara yang signifikan, dan akhirnya harus berkoalisi dalam Aliansi Irak Bersatu—kumpulan partai-partai militan Syiah. Mereka bergabung di bawah pimpinan Partai Dakwah Islamiyah mendukung Perdana Menteri Ibrahim Jaafari. Namun, belakangan, setelah Jaafari dianggap tak becus memerintah, Muqtada turut serta menjatuhkannya dan sepakat mengangkat Nuri Kamal al-Maliki menjadi perdana menteri baru.
Di bawah Al-Maliki, Muqtada ”mengerem” segala aktivitas militannya melawan AS. Seolah memberi kesempatan kepada pemerintah di bawah Al-Maliki berbuat lebih banyak dan baik untuk Irak. Tapi ”toleransi” ini tak terlalu lama. Setelah makam suci Imam Hasal al-Askari dan masjid emasnya dibom hingga hancur, Februari tahun lalu, Muqtada dan pasukannya mulai bergerak. Musuhnya bukan saja pasukan AS, tapi juga orang-orang Sunni yang didukung orang-orang Arab dari luar Irak. Muqtada menganggap orang-orang Sunni yang menyerang makam-makam suci dan peringatan-peringatan ritual Syiah hanyalah kaki tangan Amerika untuk menghancurkan dan memecah belah Irak.
Kondisi Irak makin payah. Perang sektarian semakin tak bisa lagi dihentikan. Amerika Serikat dianggap gagal membuat negara Irak yang aman dan de-mokratis. Di tengah kegagalan itu, Presiden George Walker Bush menuduh Iran sebagai penyebabnya. Negara di bawah pemimpin spiritual Ayatullah Khamenei itu dituduh memasok senjata-senjata untuk milisi Syiah melawan Amerika. Bahkan beberapa bulan belakangan ini tentara AS kerap menangkapi mata-mata Iran yang berada di Irak. Di dalam negerinya, Presiden Bush minta tambahan anggaran untuk menambah pasukan di negeri itu.
Nah, menjelang pendaratan pasukan tambahan itu, merebaklah isu Muqtada lari ke Iran. Diberitakan, di negeri tetangga itu pula istri dan anak-anak ulama militan itu tinggal.
Ketua fraksi Partai Blok Sadrist di parlemen Irak, Nassar al-Rubaei, membantah kabar burung itu. ”Dia sekarang di Irak,” ujarnya. Menurut Nassar dan sumber lain, Sadr ngumpet di Najaf dengan alasan keamanan. ”Sejak peringatan hari Asyura dia berdiam di sana dan tak nongol ke publik,” katanya. Kantor imigrasi Iran, melalui kantor berita pemerintah, IRNA, juga ikut membantah. ”Laporan bahwa pemimpin muda Syiah ke Iran sangat tidak berdasar,” ujarnya.
Seharusnya, Jumat pekan lalu, Muqtada bertemu dengan sejumlah tamu asing. Namun, sejak beredar kabar dia kabur ke Iran, pertemuan itu ditunda. Diduga Muqtada akan muncul lagi setelah 40 hari peringatan hari Asyura. Begitulah kebiasaan orang Syiah untuk menghormati syahidnya, Imam Hussein yang tewas di Karbala pada 680 Masehi. Penasihat Perdana Menteri Irak, Sami al-Askari, juga yakin Muqtada segera muncul lagi dan tidak pergi meninggalkan Irak, walaupun ada rencana baru keamanan terpadu pasukan AS dan tentara Irak.
Sebagai langkah awal untuk rencana keamanan terpadu dan menyelamatkan Irak dari perang sipil, Perdana Menteri Al-Maliki memerintahkan tentara Irak menutup semua pintu masuk Iran-Irak dan Irak-Suriah selama 72 jam. ”Setelah itu dibuka dengan ketat dan terbatas,” ujarnya di televisi, Rabu pekan lalu. Pasukan Inggris di selatan Irak, basis milisi kaum Syiah dan pendukung Muqtada, juga memperketat pos-pos pemeriksaan di Basrah, kota di Irak yang berbatasan dari darat dan laut dengan Iran. Dan drama dengan lakon raibnya Muqtada pun masih dipertunjukkan.
Ahmad Taufik (World War 4 Report, Reuters, Arab Monitor, dan Alaska Report News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo