Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Pasdaran Jadi Sasaran

Kelompok militan Sunni menyerang pasukan elite Garda Revolusi. Cara Amerika melemahkan rezim para mullah Iran.

19 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari masih pagi ketika satu mobil menyalip bus yang berisi puluhan orang berseragam militer di dekat Zahedan, ibu kota Provinsi Sistan-Baluchistan, Rabu pekan lalu. Bus itu belum lama meninggalkan perumahan anggota militer menuju markas mereka di luar kota. Tiba-tiba mobil penyalip berhenti, seperti mengalami kerusakan mesin, memaksa sopir bus menginjak rem dalam-dalam.

Sempat terdengar senjata menyalak. Entah datang dari mana, dua pengendara sepeda motor mendekat dan secepat kilat membawa kabur dua orang yang meloncat dari dalam mobil itu. Adegan berikutnya bak dalam film. Blar, bom yang diduga diledakkan dari jarak jauh itu melantakkan mobil tadi, merobek badan bus di dekatnya, dan menguras isinya. Hasilnya, 11 anggota Garda Revolusi tadi tewas dan 31 terluka parah.

Inilah serangan bom paling berdarah di provinsi yang terletak di tenggara Iran yang berbatasan dengan Pakistan itu. Iran pun geger. Televisi Al-Arabiya, yang bermarkas di Dubai, Uni Emirat Arab, menyatakan menerima telepon dari kelompok militan muslim Sunni Jundallah (Brigade Tuhan) yang mengaku sebagai pelaku serangan bom. Di provinsi pedalaman Iran ini sering terjadi bentrokan antara aparat keamanan Iran dan pengedar narkotik yang berasal dari Afganistan dan Pakistan. Sasaran bom itu tak main-main, yakni pasukan elite Iran, Korps Garda Revolusi Iran (Sepah-e Pasdaran-e Enghelab-e Islami), biasa disebut Pasdaran (pengawal), tulang punggung kepemimpinan para mullah.

Pasdaran adalah organisasi militer terbesar di Iran yang berdiri pada Mei 1979, sebagai pasukan yang loyal terhadap pemimpin spiritual Ayatullah Ruhullah Khomeini. Tapi kemudian Pasdaran terpisah, berdiri sejajar dengan militer Iran yang kini dikomandani Mayor Jenderal Yahya Rahim Safavi. Sebagai pasukan elite, Pasdaran punya kapal laut, pesawat tempur, intelijen, pasukan darat, dan pasukan khusus sendiri. Pasdaran juga bertanggung jawab terhadap pasukan rudal Iran, yang kini kemampuannya mencemaskan Israel.

Operasi Pasdaran berbeda dengan operasi militer biasa. Selain melakukan operasi militer khusus menghadapi kelompok perlawanan, Garda Revolusi mengontrol penyelundupan, mengontrol Selat Hormuz sebagai gerbang keluarnya minyak dari Teluk Persia ke pasar dunia. Setelah perang Iran-Irak berakhir, memang ada upaya untuk menyatukan komando militer Iran dengan Pasdaran. Tapi kemudian keduanya beroperasi secara terpisah, masing-masing dengan peran operasional yang berbeda, termasuk menggulung kelompok bersenjata semacam kelompok Jundallah.

Pejabat Iran menuduh Amerika berada di balik serangan bom kelompok Jundallah. Tujuannya untuk menjerumuskan Iran ke dalam konflik sektarian antara mayoritas Syiah dan minoritas Sunni. ”Mereka terlibat kegiatan teroris untuk memecah belah Syiah dan Sunni serta memprovokasi perselisihan etnis,” ujar Soltan-Ali Mir, direktur jenderal urusan politik di kantor Gubernur Sistan-Baluchistan. Maklum, saat ini rumor tentang kemungkinan Amerika bakal menyerang Iran sedang menaikkan suhu politik di kawasan Teluk.

Maka Ali Khamenei meminta rakyat Iran tidak menyalahkan kelompok Sunni, yang merupakan minoritas. Umat Sunni Iran sembilan persen dari 70 juta penduduk Iran. Penduduk Provinsi Sistan-Baluchistan punya pertalian etnis dengan Pakistan. Di kawasan perbatasan inilah muncul kelompok Jundallah pada 2003. Mereka memaksa aparat keamanan Iran menoleh dengan menyerang pejabat pemerintah dan pejabat keamanan Iran.

Misalnya, pada Maret 2006, sejumlah orang bersenjata yang diduga anggota kelompok Jundallah, dengan seragam pasukan keamanan Iran, membunuh 21 orang di jalan raya di luar Zahedan. Sedangkan Desember tahun lalu, Jundallah mengaku bertanggung jawab atas penculikan tujuh tentara Iran di wilayah Zahedan, mengancam akan membunuh mereka jika anggota kelompok ini tidak dibebaskan dari penjara Iran. Ketujuh tentara Iran dibebaskan setelah terjadi negosiasi. Area di sekitar Zahedan pernah mirip zona perang, dengan benteng, parit, dan pos dengan senjata mesin siap tembak. Sekitar 3.300 personel keamanan Iran tewas dalam perang melawan pengedar narkotik sejak revolusi Islam pada 1979.

Pemerintah Iran menuduh Amerika mendukung Jundallah untuk menggoyang stabilitas pemerintah garis keras Mahmud Ahmadinejad. Namun Jundallah menolak tuduhan itu. Iran menyatakan Jundallah sebagai jaringan kelompok Al-Qaidah, sebagaimana Pakistan menetapkan kelompok Fadayeean-e-Eslam, yang juga disebut kelompok Jundallah, sebagai kelompok teroris. Tapi masih tanda tanya besar kaitan antara Jundallah Iran dan Jundallah Pakistan.

Di Pakistan, pengadilan memvonis hukuman mati 11 anggota Jundallah yang dituduh menyerang Wakil Komandan Militer Karachi Jenderal Ahsan Saleem Hayat pada 2004. Sang Jenderal selamat, tapi serangan itu menewaskan 10 anggota militer. Pakistan menuduh Jundallah berafiliasi dengan Al-Qaidah. Tapi, menurut pejabat Pakistan, Jundallah tidak beroperasi di wilayah Iran.

Entah pengakuan mana yang benar, tapi Gholam Hossein Mohseni Ejeie, kepala badan intelijen Iran, menyatakan pemerintah Teheran mengidentifikasi 100 mata-mata yang bekerja untuk Amerika dan Israel di kawasan perbatasan. Tuduhan Ejeie ini senada dengan laporan majalah The New Yorker, April tahun lalu. Majalah ini menyebutkan pasukan tempur Amerika sudah menyusup ke Iran dan bekerja sama dengan kelompok minoritas di Iran, termasuk etnis Azeris di utara, Baluchis di tenggara, dan Kurdi di timur laut.

Pasukan Amerika mempelajari kawasan itu, menebar uang untuk kepala suku, dan merekrut penunjuk jalan dari suku setempat dan penggembala. “Tujuannya untuk memperoleh mata di darat,” ujar seorang konsultan pemerintah di Pentagon. Namun tujuan utama operasi klandestin ini adalah memicu ketegangan etnis dan menggerogoti rezim mullah konservatif.

Situasi politik di Iran pun dinilai mulai tidak menguntungkan kelompok garis keras yang dipimpin Presiden Ahmadinejad. Anggota Pasdaran pada saat perang Iran-Irak ini dianggap terlalu mengobral tenaga untuk berkonfrontasi dengan Amerika tentang program nuklir dan melupakan kondisi ekonomi Iran yang semakin buruk. “Banyak ketidakpastian kini di Iran,” ujar seorang pejabat Pentagon.

Presiden George W. Bush memang membantah akan menyerang Iran untuk menghentikan ambisi Teheran menguasai teknologi nuklir. Tapi sepekan belakangan ini Gedung Putih rajin menuduh Iran mengirim bom ke Irak yang membuat konflik sektarian di Irak semakin berdarah. Analis menilai tuduhan ini sebagai upaya Washington menggalang opini dunia agar memberikan dukungan jika—entah kapan—Amerika menyerang Iran. Sebab, menyerang Iran dengan alasan Iran membuat onar di Irak lebih bisa diterima masyarakat internasional tinimbang soal program nuklir Iran yang memang belum jelas juntrungannya.

“Sekarang kami punya lampu hijau untuk melakukan apa pun yang kami inginkan,” ujar seorang pejabat Pentagon.

Raihul Fadjri (Teheran Times, Iran Daily, Guardian, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus