LAGU perjuangan hak-hak sipil Amerika We Shall Overcome (Kita
Akan Menang) tiba-tiba bergema di ruangan Mahkamah Militer
Seoul. Ketua Majelis Hakim, May Jen Moon Ung-sik, baru saja
membacakan vonis hukuman mati terhadap Kim Dae-jung. Dan
serentak 25 orang keluarga Kim berdiri dan menyanyi. Meskipun
tak berlangsung lama: belum sempat lagu itu berakhir pasukan
anti huru-hara segera mengusir mereka.
Kim sendiri, berpakaian penjara berwarna putih dengan nomer 201
di dada kirinya, tak menyanyi. Ia hanya menyeringai ketika
mendengar putusan itu. Ia bagaikan sudah tahu, di hari Rabu
pekan lalu itu, keputusan apa yang akan dijatuhkan padanya --
seperti juga banyak orang di seluruh dunia yang menganggap
seluruh proses mahkamah itu hanya peradilan yang palsu.
Kim Dae-jung, 54 tahun, adalah tokoh oposisi terkemuka di Korea
Selatan. Ia ditangkap bersama-sama 23 orang yang dituduh sebagai
"anggota komplotannya," sehari setelah meletusnya pemberontakan
di Kwangju, Mei lalu dan secara bersama-sama pula mereka
diadili.
Bertentangan
Mereka memang setujuan dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi
di Korea Selatan. Tapi berbeda dengan Kim yang dijatuhi hukuman
gantung sampai mati, 23 orang terdakwa lainnya dijatuhi hukum
penjara masing-masing berkisar antara 2 sampai 20 tahun. Jaksa
menuduh mereka telah membantu Kim untuk "menumbangkan
pemerintahan yang sah."
Yang menarik ialah bahwa Kim juga dituduh sebagai pendukung
Korea Utara. "Aktivitas Kim yang mendukung Korea Utara tak bisa
dibiarkan, karena itu bertentangan dengan politik Korea Selatan
yang anti-komunis," kata Let-Kol. Yang Shin-ki, Oditur Militer
dalam perkara itu.
Aneh memang. Buat Kim ini adalah yang kedua kalinya ia dijatuhi
hukuman mati -- dan yang pertama oleh pemerintah komunis Kore
Utara. Ia dituduh reaksioner. Untunglah waktu itu Kim sempat
melarikan diri dari penjara dan bergabung dengan kelompok
anti-komunis selama Perang Korea, 1950-1953.
Kim adalah anak dari suatu keluarga miskin di Mokpo, kota pantai
di bagian barat daya Korea. Ia menamatkan sekolah menengah pada
tahun 1944, setahun sebelum Korea bebas dari penjajahan Jepang.
Walaupun ia banyak mengikuti kursus yang setingkat akademi, Kim
tak pernah menerima diploma. Namun dalam karir politiknya ia
tergolong yang cepat maju. Tahun 1961 ia terpilih sebagai
anggota parlemen. Dan tahun 1971 Kim hampir saja mengalahkan
mendiang Park Chung-hee dalam pemilihan presiden. Waktu itu ia
berhasil mengumpulkan suara sebanyak 45%.
Tapi karena sikapnya yang selalu bertentangan dengan kalangan
militer, Kim selama 10 tahun terakhir ini lebih sering di
penjara atau dalam tahanan rumah. Ia sudah tiga kali mengalami
pengadilan politik. Bahkan pada tahun 1973, ia sempat diculik
oleh KCIA (Pusat Intelijen Korea Selatan) dari kamar hotelnya di
Tokyo, dan dibawa ke depan mahkamah di Seoul.
Kegiatannya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia,
menyebabkan hukuman bagi Kim hampir merupakan simbol hidup dari
pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung selama ini di
Korea Selatan. Mungkin sebab itu ketika diberi kesempatan
membela diri Kim sama sekali tidak memohon pengampunan. Ia hanya
meminta keadilan bagi 23 orang terdakwa lainnya. "Saya telah
melakukan segala usaha untuk tegaknya demokrasi, tapi saya tak
pernah mencoba untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara
pemberontakan," ujar Kim dalam salah satu pleidoinya.
Seorang pejabat Deplu-AS yang menyaksikan sidang pengadilan itu
berkomentar, "ini betul-betul pengadilan politik." Dan reaksi
dunia memang ternyata cukup keras. PM Jepang Zenko Suzuki
menyatakan kekhawatiran dan keprihatinannya atas putusan
Mahkamah Militer Seoul itu. Menlu Edmund Muskie mengatakan bahwa
AS sudah menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah Seoul.
Dari Beijing, pemerintah Cina mengecam lebih keras pemerintah
Chun.
Menurut UU Keadaan Darurat, yang bisa membebaskan Kim hanyalah
Mahkamah Militer Agung atau Presiden Chun Doo-hwan. Dunia luar
hanya bisa mendesak secara halus, meskipun bila hukuman mati
jadi dilaksanakan, cara yang halus itu akan bisa berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini