Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ke Desa, Piknikpun Boleh

KKN bermaksud mengubah orientasi perguruan tinggi yang bersifat kota. Animo mahasiswa terhadap KKN menurun. Masyarakat desa ada yang senang ada yang tidak.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANFAAT program KKN (Kuliah Kerja Nyata), yang sekarang ini memasuki tahun kedelapan dan dilaksanakan di 29 perguruan tinggi negeri, kadang memang diragukan. Dan barangkali itulah pentingnya Penataran Pelatih KKN di Cipayung, tanggal 15 - 28 bulan inii, yang juga dilengkapi dengan peninjauan ke beberapa desa untuk melihat peninggalan mahasiswa-KKN. Tidak berarti KKN pertama kali ditujukan bagi pembangunan desa. Gagasan semulanya, diterankan oleh Prof. Dr. Achjani Atmakusuma, yang membawahkan program tersebut di Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen P&K, tak lain "untuk membawa perguruan tinggi melihat masyarakatnya secara konkrit" -- supaya orientasinya tak hanya ke kota. Di samping membangkitkan semangat membangun warga desa, tentunya. Tapi tanpa manajemen -- dan perencanaan -- yang baik, gagasan itu bisa seolah tak membawa hasil. Bahkan Achjani meragukan faedah menjadikannya kurikulum wajib di seluruh universitas - seperti di Gajah Mada, sejak tahun lalu, dan Hasanuddin sejak 1976 -- bila universitas bersangkutan sebenarnya belum siap. "Tak ada manfaatnya, kalau dipaksakan juga," katanya. Terhadap program yang sudah dilaksanakan saja, tanggapan warga desa tidak semuanya positif. Seorang kepala desa di Kabupaten Sleman, Yogya, tak melihat manfaatnya "kalau hanya dilaksanakan seperti sekarang. Hanya 2-3 bulan " Desa tersebut telah dua kali menerima mahasiswa. Yang pertama memang berhasil dibina organisasi pemuda dan kegiatan wanita -- tapi kemudian macet setelah mahasiswa pulang. Yang kedua, para mahasiswa membantu membuat data tentang desa itu. Namun belum selesai seluruhnya, masa KKN habis. Pokoknya, kata pak lurah: "Tanpa KKN desa saya ini sebenarnya bisa maju juga." Hal itu pun terjadi di desa-desa Sumatera Barat. Desa Batagak, antara Padang Panjang dan Bukittinggi begitu dipakai ber-KKN mahasiswa IKIP Padang tampak semarak: PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) berjalan. Kegiatan olahraga ramai. "Tapi setelah mereka pergi, kegiatan juga terhenti," kata seorang penduduk. Tapi contoh yang positif sebenarnya ada -- tentu saja. Lumaksono, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Widya Susanti dari Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Surabaya, berhasil mengajak masyarakat Desa Tingkis, Tuban, Jawa Timur membangun sebuah masjid dan mendirikan sebuah Taman Kanak-kanak. Meski masjid dan TK itu sudah direncanakan masyarakat sejak dua tahun lalu, pelaksanaannya jadi lebih cepat konon karena mereka berhasil memberikan motivasi agar penduduk bergerak --tanpa menunggu bantuan pemerintah. Pun Widya Susanti, sebelum pulang ke Surabaya, telah menghubungi seorang guru SD setempat agar mengelola TK yang dirintisnya itu. Contoh begitu sebenarnya tak kurang. Terutama kalau pembina KKN di perguruan tingginya memang punya perencanaan yang baik. Di ITB, yang mengadakan KKN baru sejak 1975 -- dengan jumlah sampai kini 127 mahasiswa pengikut -- si mahasiswa berangkat dengan bekal yang disebut 'program utama'. Ini direncanakan cukup lama oleh Badan Pelaksana KKN ITB bersama pemerintah daerah bersangkutan -- dua-tiga bulan sebelum si calon berangkat. Plus 'program tambahan' yang bisa bervariasi. Di desa-desa Cianjur misalnya, ada program utama yang telah selesai: penataran pengrajin rakyat. Sedang program tambahannya dari menatar guru sekolah lanjutan sampai membuat saluran atau alat penyuling daun cengkih. Jadi manfaat jelas ada. Apalagi bila mahasiswa yang ber-KKN berasal dari jurusan teknik. Mereka bisa meninggalkan bukti nyata: saluran, sumur pompa, rumah percobaan tahan gempa atau lainnya. Ini memang yang membuat masyarakat menyambut. "Kalau cuma ceramah, baiknya saudara-saudara begini-begitu, mereka tak akan bergerak," tutur Ir. Gunawan Atmosutjipto, Ketua Badan Pelaksana KKN ITB. Ikan Lele Tapi bagi Husna, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Ul yang tahun lalu ber-KKN di Desa Sagaranten, Sukabumi, keberhasilannya terutama berkat kreativitasnya sendiri. Ia tahu penduduk Desa Sagaranten kekurangan gizi -- dan lantas merencanakan membuat kolam ikan lele. Berhasil -- dan kabar terakhir yang ia terima: kolam yang dulu hanya satu, kini sudah bertambah 6. Memang, kasus-kasus di atas hanyalah contoh-contoh terbaik. Toh, sebenarnya, kalau pun hasil KKN jauh dari manfaat seperti itu, setidak-tidaknya kesan si mahasiswa selama tiga bulan di pelosok boleh menjadi bekal. (Tiga bulan di kaki gunung, tanpa listrik, bukan hal ringan, bukan?) Untuk itu memang lokasi KKN perlu dipertimbangkan lebih serius -- bukan misalnya di kabupaten pinggir kota, dengan biaya hidup yang tinggi pula. Dan itu memang masalah perencanaan dan manajemen universitas, yang seperti dikatakan Prof. Achjani merupakan kunci keberhasilan program. Hanya sementara itu, penanggung jawab KKN di Ul, Girindro Pringgodigdo SH, menunjukkan data menarik menurunnya animo mahasiswa. Menurut dugaannya, memang motivasi dan idealisme mahasiswa belajar sambil mengabdi masyarakat desa menurun. Ul yang berKKN sejak 1974, memperoleh jumlah peserta terbanyak tahun 1977/1978: l33 orang. Kemudian terus menurun. Tahun ini malah hanya 18 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus