MANFAAT program KKN (Kuliah Kerja Nyata), yang sekarang ini
memasuki tahun kedelapan dan dilaksanakan di 29 perguruan tinggi
negeri, kadang memang diragukan. Dan barangkali itulah
pentingnya Penataran Pelatih KKN di Cipayung, tanggal 15 - 28
bulan inii, yang juga dilengkapi dengan peninjauan ke beberapa
desa untuk melihat peninggalan mahasiswa-KKN.
Tidak berarti KKN pertama kali ditujukan bagi pembangunan desa.
Gagasan semulanya, diterankan oleh Prof. Dr. Achjani Atmakusuma,
yang membawahkan program tersebut di Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen P&K, tak lain "untuk membawa perguruan tinggi melihat
masyarakatnya secara konkrit" -- supaya orientasinya tak hanya
ke kota. Di samping membangkitkan semangat membangun warga desa,
tentunya.
Tapi tanpa manajemen -- dan perencanaan -- yang baik, gagasan
itu bisa seolah tak membawa hasil. Bahkan Achjani meragukan
faedah menjadikannya kurikulum wajib di seluruh universitas -
seperti di Gajah Mada, sejak tahun lalu, dan Hasanuddin sejak
1976 -- bila universitas bersangkutan sebenarnya belum siap.
"Tak ada manfaatnya, kalau dipaksakan juga," katanya.
Terhadap program yang sudah dilaksanakan saja, tanggapan warga
desa tidak semuanya positif. Seorang kepala desa di Kabupaten
Sleman, Yogya, tak melihat manfaatnya "kalau hanya dilaksanakan
seperti sekarang. Hanya 2-3 bulan " Desa tersebut telah dua kali
menerima mahasiswa. Yang pertama memang berhasil dibina
organisasi pemuda dan kegiatan wanita -- tapi kemudian macet
setelah mahasiswa pulang. Yang kedua, para mahasiswa membantu
membuat data tentang desa itu. Namun belum selesai seluruhnya,
masa KKN habis. Pokoknya, kata pak lurah: "Tanpa KKN desa saya
ini sebenarnya bisa maju juga."
Hal itu pun terjadi di desa-desa Sumatera Barat. Desa Batagak,
antara Padang Panjang dan Bukittinggi begitu dipakai ber-KKN
mahasiswa IKIP Padang tampak semarak: PKK (Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga) berjalan. Kegiatan olahraga ramai. "Tapi
setelah mereka pergi, kegiatan juga terhenti," kata seorang
penduduk.
Tapi contoh yang positif sebenarnya ada -- tentu saja.
Lumaksono, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Widya Susanti
dari Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Surabaya, berhasil
mengajak masyarakat Desa Tingkis, Tuban, Jawa Timur membangun
sebuah masjid dan mendirikan sebuah Taman Kanak-kanak. Meski
masjid dan TK itu sudah direncanakan masyarakat sejak dua tahun
lalu, pelaksanaannya jadi lebih cepat konon karena mereka
berhasil memberikan motivasi agar penduduk bergerak --tanpa
menunggu bantuan pemerintah. Pun Widya Susanti, sebelum pulang
ke Surabaya, telah menghubungi seorang guru SD setempat agar
mengelola TK yang dirintisnya itu.
Contoh begitu sebenarnya tak kurang. Terutama kalau pembina KKN
di perguruan tingginya memang punya perencanaan yang baik. Di
ITB, yang mengadakan KKN baru sejak 1975 -- dengan jumlah sampai
kini 127 mahasiswa pengikut -- si mahasiswa berangkat dengan
bekal yang disebut 'program utama'. Ini direncanakan cukup lama
oleh Badan Pelaksana KKN ITB bersama pemerintah daerah
bersangkutan -- dua-tiga bulan sebelum si calon berangkat. Plus
'program tambahan' yang bisa bervariasi.
Di desa-desa Cianjur misalnya, ada program utama yang telah
selesai: penataran pengrajin rakyat. Sedang program tambahannya
dari menatar guru sekolah lanjutan sampai membuat saluran atau
alat penyuling daun cengkih.
Jadi manfaat jelas ada. Apalagi bila mahasiswa yang ber-KKN
berasal dari jurusan teknik. Mereka bisa meninggalkan bukti
nyata: saluran, sumur pompa, rumah percobaan tahan gempa atau
lainnya. Ini memang yang membuat masyarakat menyambut. "Kalau
cuma ceramah, baiknya saudara-saudara begini-begitu, mereka tak
akan bergerak," tutur Ir. Gunawan Atmosutjipto, Ketua Badan
Pelaksana KKN ITB.
Ikan Lele
Tapi bagi Husna, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Kedokteran Ul
yang tahun lalu ber-KKN di Desa Sagaranten, Sukabumi,
keberhasilannya terutama berkat kreativitasnya sendiri. Ia tahu
penduduk Desa Sagaranten kekurangan gizi -- dan lantas
merencanakan membuat kolam ikan lele. Berhasil -- dan kabar
terakhir yang ia terima: kolam yang dulu hanya satu, kini sudah
bertambah 6.
Memang, kasus-kasus di atas hanyalah contoh-contoh terbaik. Toh,
sebenarnya, kalau pun hasil KKN jauh dari manfaat seperti itu,
setidak-tidaknya kesan si mahasiswa selama tiga bulan di pelosok
boleh menjadi bekal. (Tiga bulan di kaki gunung, tanpa listrik,
bukan hal ringan, bukan?) Untuk itu memang lokasi KKN perlu
dipertimbangkan lebih serius -- bukan misalnya di kabupaten
pinggir kota, dengan biaya hidup yang tinggi pula. Dan itu
memang masalah perencanaan dan manajemen universitas, yang
seperti dikatakan Prof. Achjani merupakan kunci keberhasilan
program.
Hanya sementara itu, penanggung jawab KKN di Ul, Girindro
Pringgodigdo SH, menunjukkan data menarik menurunnya animo
mahasiswa. Menurut dugaannya, memang motivasi dan idealisme
mahasiswa belajar sambil mengabdi masyarakat desa menurun. Ul
yang berKKN sejak 1974, memperoleh jumlah peserta terbanyak
tahun 1977/1978: l33 orang. Kemudian terus menurun. Tahun ini
malah hanya 18 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini