TEROR mengguncang Manila. Mesiu disulut di pusat pertokoan,
gedung pemerintah, bioskop, bahkan sekolah. Cukup banyak korban.
Selama lima pekan terakhir, tercatat satu wanita asal Amerika
Serikat tewas, dan 32 warga kota menderita luka-luka.
Mengaku sebagai pelaku dari 21 kali peledakan bom itu adalah
kelompok yang menamakan diri: Gerakan Pembebasan 6 April.
Presiden Ferdinand Marcos menuduh kelompok teroris itu didalangi
oleh AS. Alasan: pelaku utama pemboman, bernama Victor Burns
Lovely, adalah warganegara AS yang bermukim di Los Angeles. Ia,
menurut polisi, terakhir masuk ke Filipina, 20 Agustus -- dua
hari sebelum sembilan bom meledak di berbagai tempat di Manila.
Victor dikabarkan pula tiba lewat Pangkalan Angkatan Udara AS di
Clark Field yang terletak 82 km di sebelah utara ibukota
Filipina.
Victor, 35 tahun, ditangkap dalam keadaan cedera, tiga minggu
lalu. Ia konon terkena sendiri ledakan bom yang dipasangnya di
gedung Young Men Christian Association (YMCA). Bersama dia
diciduk pula saudara kandungnya, Romeo dan Balthazar. Dalam
pengakuan kepada Marcos, baik Romeo maupun Balthazar, menyatakan
bahwa abang mereka punya jalur langsung dengan Benigno Aquino,
bekas senator yang sekarang berada di AS, serta pemimpin oposisi
Filipina bekas Senator Jovito Salonga.
Aquino maupun Salonga membantah diri mereka terlibat. Bahkan
Aquino dalam pertemuannya dengan tokoh Gereja Katolik Filipina
Jaime Kardinal Sin di Keuln, Jerman Barat, meminta rohaniwan itu
untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai
ketidak-terlibatannya dalam mendalangi aksi teror. "Aquino,"
kata Sin setibanya di Manila, pekan lampau, "tetap berusaha
mengakhiri rezim undang-undang darurat secara damai."
Jangan-jangan . . .
Warga Manila kini mulai curiga jangan-jangan pemboman itu
dilakukan sendiri oleh tentara pemerintah atas perintah Marcos.
Maksudnya, agar terjadi ke kacauan -- yang bisa dijadikan alasan
nltuk memperpanjang berlakunya undang-undang darurat. "Jika
pemboman dilakukan oleh gerilyawan kota, pasti yang dipilih
sebagai sasaran adalah pejabat pemerintah. Bukan umum," tulis
AP, mengutip keluhan penduduk.
Kecurigaan masyarakat itu diperkuat Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara, sebagian besar anggotanya adalah pro Marcos, dalam
sidangnya mengusulkan agar undang-undang darurat diperpanjang
masa berlakunya. Tidak hanya itu. Mereka juga menyarankan agar ,
Marcos bertindak keras terhadap teroris demi keamanan dan "atas
nama konstitusi".
Marcos memang belum akan mencabut undang-undang darurat yang
diproklamasikannya, 21 September 1972. Ia menyatakan akan tetap
mempertahankannya sampai Maret, tahun depan. Itu pun jika
masalah pemberontakan Moro di Filipina Selatan dan soal ekonomi
dapat diselesaikan.
Teror bom, sementara, mereda Terutama sejak pemerintah
mengatakan akan menggerakkan 1,6 juta orang untuk gerakan anti
pemboman. Tapi muncul para demonstran sebagai pengganti. Tak
kurang 800 orang, kebanyakan mahasiswa, minggu lalu berkumpul di
kapel Seminari Roma Katolik melakukan aksi 'doa bersama' agar
undang-undang darurat segera dicabut. Sebagaimana Marcos menuduh
musuhnya didalangi AS, mereka juga mengutuk Marcos sebagai
Boneka Imperialis AS' serta 'Saudara Muda Jepang di Asia'.
Gerakan Pembebasan 6 April sementara itu belum bungkam. Mereka
memilih bentuk aksi lain. Sumber polisi mengungkapkan, sekarang,
setiap hari rata-rata diterima 50 ancaman pemboman lewat telepon
dari orang-orang tak likenal. "Diduga pelakunya adalah para
teroris," kata sumber itu.
Instansi yang sempat jadi permainan mereka, antara lain, adalah
Bank Pembangunan Asia dan Kantor Kebudayaan Soviet. Karyawan
kedua gedung itu sempat panik setelah menerima telepon gelap
tersebut. Waktu diperiksa polisi ternyata tak ada bom di sana.
"Pokoknva," bunyi pernyataan Gerakan Pembebasan 6 April, "kami
tidak akan berhenti sebelum Marcos terguling."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini