MUSIM hujan telah tiba di Jazirah Indocina. Angin barat dari Teluk Tonkin membawa awan tebal. Namun, sebelum hujan mengguyur lebih lebat, Kongres Partai Komunis Vietnam ke-6 telah usai dengan pengakuan bernada sendu, "Situasi sosio-ekonomi kita menghadapi kesulitan-kesulitan yang cukup parah, produksi merosot perlahan, sementara hasil penanaman modal begitu rendah. Belum lagi masalah penyaluran bahan-bahan pokok." Singkat cerita, awan mendung di atas negara seluas 329.566 km2 itu semakin tebal menutup cakrawala. Inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh para pemimpin baru Vietnam. Repelita 1981-1985 harus diakui adalah sebuah impian muluk yang tak berwujud -- sama halnya pula dengan repelita sebelumnya, 1976-1980, rencana pembangunan pertama setelah penyatuan kembali Utara dan Selatan yang meliputi hampir 55 juta penduduk. Seperti dilaporkan Vo Van Kiet, selaku Ketua Badan Perencanaan Nasional dalam sidang lima tahunan ini, "Banyak sasaran penting yang tidak tercapai. Baik hasil-hasil produksi maupun penanaman modal sangat buruk, jutaan tenaga kerja menganggur, bahkan alat-alat produksi banyak tak terpakai. Terlebih penting, kehidupan sehari-hari para buruh, kader partai, dan anggota militer menghadapi bermacam kesulitan." Tak ada jalan lagi, memang, selain mengaku gagal. Menurut Van Kiet, kegagalan tersebut disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kelemahan kepemimpinan dan pengelolaan partai. Kedua, percepatan proses industrialisasi tanpa fasilitas pendukung yang memadai. "Mekanisme kerja pengelolaan kita sudah ketinggalan zaman, sementara penerapan proses itu sendiri berjalan demikian lambatnya," kata Van Kiet. Ketiga, yang digolongkannya sebagai "kelemahan terbesar", terletak pada sisi organisasi. Yaitu kurangnya perencanaan yang matang. Lemahnya pembenahan baik para kader maupun birokrasi memperburuk keadaan. Bagaimana mengatasinya? Maka, Van Kiet menyodorkan kebijaksanaan dan program ekonomi yang akan bertumpu pada peningkatan pangan, barang-barang konsumsl, dan ekspor. Program jangka pendek adalah mengupayakan mengerem laju inflasi yang sudah mencapai beberapa kelipatan 100 persen -- sebagian pengamat ekonomi menghitung, angka inflasi yang terjadi malah sudah melebihi 800 persen. "Kita harus mengawasi peredaran uang yang ada, meningkatkan pendapatan sambil membatasi pengeluaran. Dan juga mengetatkan pencetakan mata uang baru," Van Kiet menjelaskan. Perekonomian yang morat-marit ini, akhirnya, dirasakan sendiri oleh rakyat. Yang paling terkena tingginya angka inflasi ini justru para pegawai negeri. Sebagian besar mereka hanya mengandalkan gaji, rata-rata 400 dong setiap bulan, atau setara US$ 5 menurut kurs resmi (di pasar gelap, jumlah itu malah cuma berharga sedolar). Menjadi pertanyaan besar sekarang, sekiranya usul ketua Bappenas -- yang juga disetujui Kongres -- itu bisa dilaksanakan bersediakah Vietnam sendiri menerima konsekuensi perubahan ekonomi yang radikal: masuknya unsur-unsur kapitalisme. Sebab, untuk menerapkan kebijaksanaan tersebut menyangkut perlunya tindakan-tindakan desentralisasi -- tindakan yang tidak pernah terlintas dalam benak "Paman Ho" Chi Minh, Bapak Bangsa. Tidak semua pihak setuju bahwa selama ini rakyat Vietnam hanya merasakan kegetiran. Menyambut Kongres, kantor berita Vietnam, VNA, menurunkan artikel 26 alinea, yang padat angka, yang merupakan sebuah litani pujaan terhadap keberhasilan Vietnam memperbaiki tingkat kemakmurannya sepanjang 1975-1985. Keberhasilan tersebut, tulis artikel tadi dimungkinkan berkat kesungguhan menjalankan keputusan Kongres ke-6 (1986) ataupun Kongres ke-5 (1982), yang pada intinya menekankan pelaksanaan investasi pada sektor industri (hulu) sebagai dasar untuk "pengembangan pertanian dan industri ringan yang kelak akan terjalin membentuk kerangka agroindustrial". Menurut catatan VNA, setidaknya 1.730 km jalan kereta api Trans-Vietnam telah dibangun kembali 800 pabrik dan industri telah didirikan -- termasuk proyek raksasa Pabrik Semen Bim Son dan Hoang Thach yang berkapasitas 1,2 juta ton per tahun. Dua pembangkit listrik tenaga air -- di Sungai Da (1,9 juta kWh) dan di Sungai Dong Hai (400.000 k1h) -- serta satu pembangkit listrik tenaga panas bumi di Pha Lai (440.000 kWh) dekat Hanoi, menunggu tahap penyelesaiannya. Belum lagi proyek-proyek irigasi, seperti Proyek Irigasi Dau Tieng di timur laut Kota Ho Chi Minh, yang dikatakan sebagai penyedia 1.450 milyar kubik air untuk mengairi 187.000 hektar sawah di Provinsi Tay Ninh dan Distrik Cu Chi. Karena itu, tidaklah mengherankan, menurut ukuran mereka, angka produktivitas melonjak. "Sepanjang 1976-1985, rata-rata Produk Bruto Nasional naik di atas 5 persen per tahun, sementara angka Pendapatan Nasional rata-rata mendekati 5 persen per tahun," tulis mereka. Jika angka-angka tersebut dijabarkan lebih lanjut, terlihatlah bahwa produksi pangan naik 10 kali lipat dibanding tahun 1975 yang cuma 6,6 juta ton. Di sektor industri pun terlihat lonjakan-lonjakan berlipat kali. Penyediaan tenaga listrik di akhir 1985 dua kali lebih besar ketimbang sepuluh tahun lalu. Keberhasilan ini semua ditujukan untuk menggalakkan ekspor. Maka, selama sepuluh tahun ini perbandingan ekspor dan impor dari 28, persen (1976-1980) menjadi 35,6 persen (1981-1985). Ironisnya -- ini yang menyedihkan, sebenarnya -- peningkatan berlipat kali itu ternyata tidak bisa mencapai target ketika Repelita 1981-1985 berakhir. Di sisi lain, kesalahan terbesar tampaknya terletak pada penekanan sektor industri. Kemajuan perekonomian negara sesungguhnya sangat bergantung pada kekuatan sektor pertanian. Menurut data yang dilansir VNA sepanjag sepuluh tahun terakhir ini, sepertiga investasi negara ditanam pada sektor industri. Sementara itu, pertanian hanya mendapat bagian seperlima. Tidak heran jika akhirnya Vietnam sangat bergantung kepada dana bantuan luar negeri. Upaya untuk memenuhi permintaan pangan dalam negeri saja tidak tercapai. Padahal, laju pertumbuhan penduduk masih berkisar 2,2-2,4 persen. Artinya, setiap tahun Vietnam harus menyediakan tambahan pangan 400 ribu ton, di luar kebutuhan minimal, agar bisa menghidupi seluruh rakyatnya. Namun, kekhawatiran ini tidak dihiraukan ketika para pimpinan PKV bertemu di tahun 1982 dalam Kongres ke-5 untuk mengesahkan Repelita 1981-1985. Pada tahun 1981 saja, utang Vietnam kepada Soviet, donatir terbesar, sudah mencapai setara US$ 800 juta. Belum lagi dengan CMEA (Council for Mutual Economic Assistance) US$ 520 juta. Yang lebih memprihatinkan adalah keengganan beberapa pihak penyumbang untuk melanjutkan bantuan mereka. Jepang, misalnya. Sejak tahun 1981, negara ini sama sekali menghentikan bantuannya akibat tindakan Vietnam menduduki Kamboja. Padahal, tiga tahun sebelumnya, mereka telah menandatangani persetujuan pinjaman sebesar 10 milyar yen, dengan bunga 2,75 persen, yang keseluruhannya akan dilunasi dalam 30 tahun. Cina sendiri sudah bertindak lebih dahulu. Dalam pertemuan CMEA, Cina membatalkan niatnya untuk memberikan bantuan senilai US$ 300 juta. Menurut catatan beberapa pengamat, ini akibat kebijaksanaan dalam negeri baru Vietnam yang mengharamkan perdagangan swasta, 1978. Berdasarkan peraturan baru ini, aset pedagang-pedagang kecil, yang digolongkan sebagai "pedagang borjuis", dilikuidasikan ke dalam perusahaan negara. Sedangkan mereka yang dianggap memiliki kemampuan teknis maupun profesional disalurkan di Zona Ekonomi Baru. Sementara ini, upaya-upaya penjadwalan kembali utang dengan berbagai pihak terus dicoba, terutama setelah 1983. Dengan Jepang terdapat kesepakatan menunda pembayaran sebagian pinjaman, sejumlah US$ 170 juta. Begitu pula dengan Libya (US$ 36 juta dan India (US$ 2,5 juta). Namun, satu hal penting yang patut dicatat adanya semangat pembaruan. Kendati tidak terlalu keras, angin tersebut malah berasal dari (Almarhum) Le Duan, Sekjen PKV. Sidang Pleno Komite Sentral PKV ke-8, pertengahan tahun lalu, mengumumkan pencabutan subsidi pangan bagi pegawai negeri, militer, pensiunan. Sebagai gantinya, gaji mereka disesuaikan dengan kenaikan biaya hidup di tempat masing-masing. Sementara itu, hambatan terhadap kegiatan perdagangan swasta mulai dikendurkan meski kendali utama masih berada di tangan pemerintah. Sayangnya, belum lagi semangat pembaruan ini menemukan bentuknya, datang lagi hambatan lain. Sebelum tahun 1985 berakhir, tindakan "penggantian" mata uang lama (Dong 10) ke mata uang baru (Dong 1) menunjukkan betapa parahnya keadaan negara. Deputi PM Tran Phuong menganggap perlu merestui kebijaksanaan ini karena menurut perhitungannya mata uang Dong sudah terkena depresiasi (penurunan nilai) terhadap mata uang dolar Amerika yang cukup parah. Sementara ini, tampaknya tidak banyak jalan keluar tersedia. Sebagai penyangga utama roda perekonomian negara, Soviet telah menyatakan kekecewaannya terhadap lambatnya kemajuan pembangunan di Vietnam, serta bocornya bantuan yang diberikannya. Pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai lampu kuning bagi Hanoi. Meski para pemimpin Hanoi telah melakukan otokritik dan menjanjikan akan mengganyang korupsi serta manipulasi, setiap saat Kremlin bisa saja memotong bantuan mereka sampai pada tingkat minimum. Untung saja, Soviet -- setelah Kongres PKV ke-6 pekan lalu menjanjikan akan melipatgandakan bantuannya, mungkin sekali dengan syarat tertentu. Toh semua ini bukan berita baik buat suatu bangsa yang mencanangkan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Buat pihak luar, kesediaan Hanoi mengintrospeksi dirinya melalui Kongres kali ini merupakan pertanda baik. Bahkan sudah ada pihak yang mempersiapkan diri. "Begitu Vietnam membuka pintunya, Jepang sangat berkehendak, bahkan harus, menjadi mitra dagang utamanya," kata seorang diplomat di Hanoi kepada Asiaweek mengungkapkan niat pemerintahnya. Kendati masih diliputi pertimbangan bermacam-macam, langkah menuju ke arah tersebut sudah diayunkan. "Pemerintah Vietnam sendiri sudah pula memberikan izin pembukaan kantor perwakilan Nissho Iwai di Hanoi sejak bulan September lalu, walau belum jelas kapan peresmiannya," sahut Fujiwara dari sogo shosa yang berpusat di Osaka mengonfirmasikan kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa. Yang menjadi masalah sekarang ini: betulkah Vietnam sendiri mau membenahi dirinya secara lebih terbuka -- mengikuti Cina, misalnya. Atau tetap setia dengan komitmen terhadap pencapaian tahap revolusi semesta mencapai sosialisme seperti yang mereka lakukan sekarang ini. Agaknya, bukan cuma para tetangganya di ASEAN yang ingin mengetahuinya. James R. Lapian Laporan Yuli Ismartono (Bangkok) & Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini