PARA tuan tanah itu mencabik kulit mereka sendiri, lalu menggoreskan darah yang menetes untuk sebuah bait protes kepada Presiden Corazon "Cory" Aquino. Kebijaksanaan lad reform yang dicanangkan Cory, Rabu pekanlalu, dirasakan kaum tuan tanah Filipina bak ancaman atas kekayaan dan sisa kejayaan para leluhur mereka. Gerakan Negros Merdeka (MIN) -- bekerja sama dengan kelompok Kristen Lawan Komunis -- dengan 10.000 anggotanya, berikrar untuk angkat senjata menentang land reform. Ada tuan tanah yang mengancam akan membakar tanaman mereka. Esteban "Sonny" Coscoluella, termasuk seorang dari sekelompok tuan tanah yang naik berang. Ketua Yayasan Negros untuk Perdamaian dan Demokrasi (NFPD) ini mengakui perlunya land reform, tapi dengan syarat "ganti rugi untuk tuan tanah harus adil." Sonny dan kawan-kawan agaknya tidak ambil peduli bahwa Cory bersama keluarganya: Cojuangco, merelakan ladang tebu mereka seluas 6.000 hektar -- terkenal dengan nama Hacienda Luisita, di Provinsi Tarlac -- untuk dibagi-bagi. Kenyataan ini bukan tidak berat, tapi Cory -- yang haknya atas Luisita ternyata minimal sekali -- tak dapat tidak harus memberi contoh. Ini adalah batu ujian bagi kepemimpinannya suatu langkah yang salah-salah bisa menobatkan wanita itu sebagai "pengkhianat" terhadap kelasnya sendiri, kelas tuan tanah. Sementara Cory dibayang-bayangi dilema itu, ancaman lain datang dari KMP (Gerakan Petani Filipina), berhaluan kiri militan dan kelompok petani lainya. Mereka beranggapan, pembagian tanah yang diprogramkan pemerintah sama sekali tak layak dituruti, karena merugikan kelas petani. Seperti kata Joel Rodrique, wakil sekjen KMP (berkekuatan 750.000 orang), land reform Cory akan menyebabkan para petani miskin, yang selama ini menggarap tanah-tanah yang menganggur, bisa terusir dari sana. Memang menurut dekrit land reform yang disusun Cory, mereka yang selama ini menggarap tanah negara tanpa surat izin harus melepaskan garapannya tanpa kompensasi apa pun. Kalau keputusan ini dilaksanakan, risikonya bisa besar. Di samping itu, ada kesulitan lain yang lebih besar, yakni soal dana ganti rugi. Soalnya, land reform tak akan jalan hanya dengan bermodalkan sebuah dekrit. Diperlukan dana yang menurut Bernardo Villegas, kepala bagian ekonomi Pusat Riset dan Komunikasi, mencapai US$ 1 milyar. Dalam kondisi ekonomi Filipina yang begitu buruk kini, Bank Dunia enggan memasok dana sebesar itu. Dikhawatirkan jejak ini akan diikuti oleh bank-bank komersial lainnya. Cory kabarnya mengharapkan dana itu bisa diperoleh dari harta Marcos yang disita di seantero negeri. Tapi setelah dihitung-hitung, hanya sepertiga dari US$ 1 milyar ini bisa diperoleh dari harta karun itu dalam bentuk uang tunai. Dan ternyata masih diperlukan dana sampingan, misalnya untuk tenaga penyuluh dan perangkatnya. Sebab, Cory sudah mengatakan, "Land reform kami bukan sekadar membagi-bagi tanah. Kepada petani, akan kami ajarkan pula manajemen pertanian dan pengolahan tanah secara lebih baik." Tapi dengan dana terbatas, apa mungkin? Dilema sebuah land reform sungguh tak sederhana, apalagi buat sebuah negara di Dunia Ketiga. Kebijaksanaan itu -- yang datangnya selalu dari pihak penguasa berakar jauh sejak Zaman Yunani abad ke-6 M, senantiasa tak lepas dari berbagai keruwetan yang menyertainya. Iran bisa dijadikan sebagai contoh. Pada awal kepemimpinan Khomeini, ketika Syah Iran baru saja tersingkir, bidang pertanian mendapatkan perhatian khusus. Khomeini juga sudah menggariskan bahwa konsentrasi pertama kepemimpinannya akan mengarah ke sana. "Rezim Syah telah membiarkan pertanian negeri kami berantakan," katanya dalam suatu wawancara. Padahal, Syah Iran pernah mencanangkan land reform, tepatnya dimulai dengan Land Reform Act 1962. Pencetus dan motornya adalah Hassan Arsanjani, bekas wartawan radikal yang kemudian menjadi menteri pertanian -- di bawah PM Abul Qassem Amini. Tahapan pertama land reform, yang belakangan dianggap sebagai bagian dari Rcvolusi Putih rezim Syah ini, mengandung tiga jurus utama. Pertama, pemilik tanah pertanian yang luasnya lebih dari satu desa atau enam dang (bagian seluas seperenam desa) yang terpencar di desa berlainan, harus menjualnya ke pemerintah. Kekecualian diberikan untuk lahan yang ditanami buah-buahan, teh, hutan kecil, dan lahan yang sudah dimekanisasikan. Kedua, kompensasi (ganti rugi) akan diberikan kepada tuan tanah disesuaikan dengan jumlah pajaknya dan dibayar selama sepuluh tahun. Ketiga, tanah yang dibeli oleh negara harus segera dijual kepada petani penggarap, yang bekerja di tanah tersebut. Pada dasarnya, land reform ini tak lepas dari desakan pemerintahan Kennedy di Washington, yang cemas akan adanya penyusupan gerakan komunis di sela-sela demonstrasi dan kesulitan ekonomi di Iran. Syah sebenarnya enggan melaksanakannya. Hanya sayang, ketika Qassem Amini hendak memotong anggaran militer -- akibatnya ia berselisih paham dengan Syah dukungan AS tidak lagi ke dirinya, kabinetnya cuma bisa bertahan 14 bulan. Dengan kepergian Amini program land reform melenceng dari sasaran. Pada akhir tahap ketiga, setelah 1968, ternyata hanya 1,6 juta keluarga yang memperoleh tanah. Alias, kurang dari 50% dari jumlah keluarga di pedesaan Iran. Timbul soal lain, yaitu produksi pertanian yang merosot. Untuk mengatasinya, Syah mendorong para pemilik tanah agar bergabung dalam perusahaan pertanian yang diurus negara. Sekaligus dengan itu, perusahaan swasta, juga yang dari luar negeri, diajak terlibat dalam agribisnis dengan teknik mutakhir. Syah terlalu bernafsu pada pertumbuhan pertanian yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar -- meliputi 40% dari seluruh produksi. Sisanya, 60% yang merupakan sumbangan petani, tidak digenjot. Akibatnya, 15 tahun setelah land reform (dimulai 1962), kenaikan produksi pertanian paling tinggi 3% setahun. Sementara itu, kenaikan permintaan 12%. Iran terpaksa mengimpor bahan pangan, dan impor ini disubsidi pemerintah. Dan ini berlanjut di masa Khomeini. Sejak 1979, memang sudah tak kurang dari 800 ribu ha tanah (hasil rampasan dari orangorang dekat Syah) dikuasai pemerintah. Lebih dari separuhnya bukan lahan subur. Yang 200 ribu ha subur dan sudah dibagikan kepada 82 ribu keluarga petani. Cuma menurut Hajatolislam Azari-Qomi, bekas profesor di perguruan tinggi Qom dan kini mengelola harian Risalat, "Persoalan pokok petani bukanlah kekurangan tanah. Tapi kurang mendapatkan irigasi, peralatan, traktor, pupuk, dan obat antihama. Yang lebih menjerumuskan adalah hasil bumi mereka, yangh dibayar terlalu rendah oleh pemerintah. Bagaimana kalau land reform itu merupakan dobrakan dari bawah, hasil dari tuntutan massa? Haiti, contohnya. Pada Jumat dan Sabtu pekan lalu pecah kerusuhan di Jean-Rabel, para petani melawan pasukan tuan tanah. Dua hari bertarung golok mengakibatkan 50 orang tewas, sekitar 200 luka-luka. Juru bicara Kementerian Penerangan setempat mengatakan, kerusuhan itu terjadi antara petani yang didukung misionaris Protestan dan gerombolan bekas anggota Tontons Macoutes yang Katolik. Tontons Macoutes tak lain adalah pasukan pribadi Jean Claude Duvalier, bekas penguasa yang kini dalam pengasingan. Haiti, luas 27.750 km2 dengan jumlah penduduk hampir lima juta jiwa, sungguh bernasib memilukan. Sebagai pengekspor kopi dan penghasil sisal, serta bermitra dagang akrab dengan AS, negeri yang 95% penduduknya berkulit hitam ini seperti tak putus dirundung kemelut. Gejolak ini sudah mulai membuih, serentak setelah diktator Jean Claude Duvalier (Baby Doc), Februari 1986, hengkang dari sana. Seiring dengan itu, sentimen keagamaan konon ikut mengipas suasana. Selama ini, program land reform direncanakan oleh semacam panitia yang dimotori Tet Ansamn (Permufakatan), sebuah organisasi yang bernaung di bawah bendera Katolik. Menurut kemauan mereka, petani pemilik tanah wajib memberikan sebagian miliknya kepada yang tidak punya. Tentu saja para petani itu berang, mengingat kelompok tuan tanah justru tidak diusik. Maka, dua minggu lalu, tiga rumah anggota Tet Ansamn mereka bakar. Kerusuhan pekan lalu adalah kelanjutannya. Tak selamanya cerita penjatahan tanah berakhir tak berketentuan. Republik Cina Taiwan -- bisa ditampilkan sebagai negeri yang sukses menjalankan land reform. Sukses itu bahkan sampai pada tingkat mengekspor buah dan benih ke berbagai negeri di dunia: Afrika, Asia, Amerika. Suka atau tidak, sukses itu ramai dibicarakan orang. Land reform Taiwan sebagian besar ditopang oleh para petani swasta, yang bahkan sanggup mendirikan pusat-pusat penelitian dan pengembangan sendiri. Semua itu dimulai sejak 1949, tak lama setelah Chiang Kai Shek dan para pengikutnya mendarat di Taiwan. Ada tiga tahap implementasi land reform di bawah pemerintahan Chiang Tua, yang sudah mendiang itu. Pertama, dengan menurunkan sewa tanah yang semula -- di tangan tuan tanah -- berkisar antara 50 dan 70 persen, menjadi 37,5 persen. Langkah kedua, dimulai 1950, adalah upaya penjualan tanah-tanah milik umum kepada para petani. Terakhir, per tahun 1953, adalah kelanjutan program sebelumnya, yaitu para petani penggarap diberi kesempatan memiliki lahan sendiri. Dasar tindakan pemerintahan Kuomintang (Nasionalis) ini, seperti yang selalu digembar-gemborkan, adalah San Min Zhu Yi (Trisila) Dr. Sun Yat Sen. Tapi kisah sukses land reform itu tak lepas dari kepedihan sewaktu Chiang masih berkuasa di Daratan Cina. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini