Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mendobrak ketimpangan,menyetop...

Land reform digunakan untuk propaganda politik oleh para penguasa filipina. marcos gagal menerapkan land reform karena implementasinya tidak jelas. cory menerapkan program menyeluruh land reform.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH perhelatan besar berlangsung diruang Maharlika, Istana Malacanang. Marak, meriah, tapi agak canggung suasananya. Maklum, sebagian besar tamu terhormat yang hadir waktu itu adalah kaum petani miskin dengan dandanan seadanya. Presiden Marcos -- selaku tuan rumah -- tak melewatkan kesempatan ini untuk menyampaikan suatu keputusan penting yang menyangkut nasib kaum petani. "... Oleh karena itu, sekarang, saya, Ferdinand Marcos, sebagai presiden Republik Filipina... mengeluarkan dekrit dan memproklamasikan emansipasi kepada semua petani penyewa yang tak memiliki tanah, sejak hari ini, 21 Oktober 1972," tuturnya dalam pidato yang bersemangat. Ucapannya disambut tempik sorak hadirin, yang sebagian besar duduk bersimpuh di lantai Istana. Penuh takjub, bagai disihir, para petani yang hadir di sana seolah-olah merasa berada di gerbang pembebasan dari proses pemiskinan. Bebas dari impitan kewajiban membayar sewa, upeti atau bagi hasil, kepada tuan tanahnya. Pidato Marcos itu diabadikan pula lewat televisi yang kemudian dipancarkan ke segenap pelosok negeri Filipina. Kebijaksanaannya yang cukup mendasar ini ditegaskannya sebagai Dekrit Presiden no. 27 -- persis sebulan setelah ia memberlakukan UU Darurat. Isinya, menjanjikan distribusi lahan kepada semua petani padi dan jagung jumlahnya sekitar 1 juta -- yang selama itu menyewa tanah garapan atau terikat bagi hasil dengan tuan tanahnya. Singkatnya, sekitar 1,5 juta hektar sawah dan ladang jagung terkena program land reform. Marcos, seperti juga para pemimpin Republik Filipina lainnya, sadar bahwa masalah distribusi tanah sangat erat kaitannya dengan perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat Filipina. Pemberontakan yang timbul sepanjang perjalanan sejarah negara itu selalu ada kaitannya dengan ketidakadilan dalam pemilikan lahan garapan. Itu sebabnya, land reform menjadi laris dalam propaganda politik. Ketika Presiden Ramon Magsasay berkuasa di pertengahan tahun 1950-an, ia berhasil memberantas pemberontakan komunis Hukbalahap di Luzon Tengah. Secara tak langsung, ia sebenarnya memenuhi permintaan pemberontak -- yang dipimpin Luis Taruc dan Vicente Lava -- yakni merombak strukrur pemilikan tanah di Luzon Tengah. Magsasay juga berhasil membuka tanah-tanah garapan baru, yang disediakan untuk petani gurem yang membutuhkannya. Kemudian Marcos tampil dengan land reform yang agak "maju" dan relatif terinci, dibandingkan program presiden-presiden Filipina sebelumnya. Manuel Roxas (1946), misalnya, hanya mengatur pembagian hasil antara tuan tanah dan petani penggarap, 70:30. Atau Diosdado Macapagal (1961) yang menerapkan sistem sewa-lahan yang leblh menguntungkan petani penggarap. Peralihan mekanisme land reform yang diajukan Marcos dilakukan secara bertahap. Petani penyewa, dengan dana pinjaman dari bank, mencicil pembelian tanah garapannya dan harus melunasinya dalam 15 tahun. Bunga yang dibebankan 6% setiap tahun. Soal penentuan harga tanah diputuskan bersama antara petani sewa dan pemilik lahan, sementara pemerintah berperan sebagai perantara. Pembiayaannya disokong bank pemerintah Land Bank, yang menerima suntikan Rp 400 juta sebagai modal kerja. Lewat proses inilah, Marcos memupuk impian akan lahirnya suatu masyarakat baru -- New Society. "Hanya lewat program land reform, satu-satunya jalan untuk mencapai masyarakat baru. Kalau land reform gagal, tidak akan pernah ada masyarakat baru yang saya cita-citakan," ujar Marcos. Sebagai langkah awal dibagikan tanah secara bertahap kepada 700 ribu petani padi dan jagung. Sertifikat tanah akan dipegang oleh petani di akhir tahun 1973, janji Marcos. Nyatanya, hingga permulaan tahun 1974, hanya sekitar 140 ribu petani yang akhirnya memperoleh distribusi lahan garapan. Toh Marcos tak berhenti dalam mengumbar janji. Ia bersikeras bahwa programnya itu akan diselesaikan pada tahun 1977. Padahal, acuan mekanisme yang lebih terinci untuk mewujudkan program land reform masih compang-camping. Kalau memang hanya ada 1,5 juta hektar sawah dan ladang jagung yang tersedia untuk program land reform buat sekitar 1 juta petani, maka rasio kasar distribusi tanah menjadi hanya 1,5 hektar untuk seorang petani. Situasi ini tentu saia tak sesuai lagi dengan konsep perencanaan semula yang idealnya setiap petani memiliki 3 sampai 5 hektar. Akhirnya, program land reform yang dicanangkan Marcos itu berantakan. Ia kemudian mengubah batas pemilikan lahan yang diizinkan buat tuan tanah, tak lagi 7 hektar tetapi menjadi 24 hektar. Di pihak lain, para tuan tanah juga tak kalah lihai dalam menghindari ancaman ambil alih lahan. Land reform hanya dikenakan bagi lahan-lahan yang ditanami padi dan jagung. "Untuk menghindari ketentuan land reform, para tuan tanah tinggal mengubah jenis tanamannya dengan menanam tebu atau tembakau," tulis Benidict J. Kerkvliet dalam Pacific Affairs, vol. 47, 1974. Bisa dimengerti kenapa Marcos tak menyertakan lahan yang ditanami tebu atau kelapa dalam program land reform-nya itu. Maklum, hasil gula dan kopra merupakan komoditi komersial yang menjadi tulang punggung pemasukan kas negara Filipina. Itu sebabnya, ia tak mau mengutak-utik lahan tersebut. Apalagi -- ini juga harap dimaklumi Marcos waktu itu sudah memiliki 20 ribu hektar lahan di Provinsi Cagayan, 10 ribu hektar di Provinsi Isabela, ladang tebu berikut pabrik gula Carlota di Negros Occidental dan sejumlah ratusan hektar lainnya di Mindanao. "Tentu saja program land reform tak menyentuh lahan-lahan itu," kata Benedict lebih lanjut. Land reform ternyata tak meniupkan angin segar buat petani di negeri itu. Hidup mereka malah semakin runyam. Bagaimanapun, tetap ada tuan tanah yang membangkang terhadap land reform. Tindakan ketidakpuasan tuan tanah dilampiaskan kepada petaninya. Sejumlah tindakan intimidasi bahkan kekerasan fisik dilakukan. Rumah mereka ada yang dibakar dan petani penggarap itu diusir. Menteri Agraria Conrado F. Estrella kewalahan menerima pengaduan yang bertubi-tubi. Sekalipun begitu, tak satu pun dari para pemilik tanah yang ada, dimintai pertanggungjawaban. Penderitaan petani gurem Filipina tak lepas dari tradisi yang sudah ratusan tahun merasuk dalam struktur dan sistem sosial Filipina. Juga, masalah pemilikan tanah sudah berakar jauh ke belakang, sebelum republik itu berdiri. Ciri feodalisme sudah berabad-abad lamanya mengatur roda kehidupan sosial dan ekonomi di negeri ini. Tak jauh berbeda dengan kehidupan ras Melayu lainnya di sekitar Asia Tenggara. Kelompok-kelompok kecil memiliki wilayah kedaulatannya masing-masing. Setiap kelompok atau suku dipimpin kepala suku yang digelari Datu. Datu memiliki tentara yang menjaga kedaulatan wilayahnya. Sedangkan tanah yang dikuasainya diolah dan digarap oleh para budak dan petani bagi hasil. Pola kehidupan feodalisme ini semakin kukuh setelah datangnya bangsa Spanyol di pertengahan abad ke-16. Spanyol kemudian menciptakan encomiendas-encomiendas, wilayah tertentu yang dikuasai mutlak, persis seperti daerah-daerah yang dikuasai Datu. Inilah cikal bakal hacienda-hacienda yang kini bertebaran di negeri kepulauan itu. Akhirnya, tanah garapan tak lagi sekadar simbol kekuatan ekonomi, tetapi sekaligus menjadi lambang kekuatan politik. Para tuan tanah, dalam percaturan politik, dengan sendirinya sudah memiliki pengikut setia. Jangan kaget kalau melihat pola pemilikan lahan garapan yang timpang di Filipina yang luas tanahnya sekitar 30 juta hektar dan didiami oleh 56 juta penduduk itu. Lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian, hanya tersedia 9,7 juta hektar. Namun, celakanya, lahan itu 90% dikuasai segelintir orang -- 10% dari jumlah populasi yang ada. Sebaliknya, sebagian besar (90%) penduduk hanya menguasai 10% lahan pertanian yang tersisa. Tradisi yang sudah mendarah daging serta situasi ketimpangan inilah yang sekarang hendak didobrak oleh Cory Aquino. Rabu, pekan lalu, ia mengeluarkan Dekrit Presiden no. 229, isinya berupa program menyeluruh land reform terhadap lahan pertanian yang 9,7 juta hektar itu. Tak terkecuali, termasuk tanah perkebunan tebu keluarganya seluas 6 ribu hektar di Hacienda Luisita, di Tarlac. Siapa mau berkorban? Ahmed K. Soeriawidjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus