Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berawal dari Sepucuk Surat Cinta

Organisasi Black Lives Matter menjadi penggerak utama unjuk rasa anti-rasisme besar di Amerika Serikat. Berjuang sejak tujuh tahun lalu.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga non kulit hitam mengkampanyekan Black Live Matters dalam demonstrasi di Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat, 14 Juni 2020./Reuters/Ringo Chiu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gerakan Black Lives Matter berkembang pada penolakan terhadap masalah perbudakan.

  • Kelahiran Black Lives Matter dipicu oleh vonis bebas Zimmerman pada 2013.

  • Warga kulit putih Amerika akhirnya bergabung dalam protes besar.

PATUNG Andrew Jackson tegak di Lafayette Park, taman seluas tujuh hektare di area President Park, tepat di utara Gedung Putih. Patung karya Clark Mills itu dipajang sejak 1852, tujuh tahun setelah meninggalnya jenderal pemimpin Amerika dalam Perang New Orleans 1815 tersebut. Presiden Amerika Serikat periode 1829-1837 itu juga dikenal sebagai pemilik budak di Tennessee.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Monumen seberat 15 ton itulah yang berusaha dirobohkan massa anti-rasisme pada Senin malam, 22 Juni lalu. Orang-orang memanjat patung itu dan melilitkan tali di sekelilingnya. Usaha mereka tak berhasil karena pasukan antihuru-hara keburu datang dan menyemprotkan merica untuk membubarkan massa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Donald Trump bereaksi keras atas upaya perobohan patung Jackson, salah satu tokoh idolanya. Dia juga mengecam upaya serupa terhadap patung tokoh konfederasi lain di seantero Negeri Abang Sam. Trump menyebutkan tindakan massa itu anarkis dan mengancam akan memberikan hukuman berat kepada para pelakunya. Hukum federal memberikan sanksi sampai 10 tahun penjara bagi perusak monumen.

Unjuk rasa anti-rasisme menyapu seluruh Amerika Serikat sebagai protes atas meninggalnya George Floyd, pria kulit hitam 46 tahun, akibat kekerasan polisi kulit putih, Derek Chauvin, di Minneapolis, Minnesota, 25 Mei lalu. Salah satu yang menjadi sasaran kemarahan mereka adalah patung tokoh dan monumen konfederasi karena, antara lain, dianggap memuja supremasi kulit putih dan mendukung perbudakan.

Demonstrasi besar itu berlangsung lebih dari 300 kali di 50 negara bagian. Sebagian besar unjuk rasa berlangsung damai, tapi ada juga yang diwarnai perusakan, pembakaran, dan bentrokan dengan polisi. Motor utama gerakan ini adalah Black Lives Matter (BLM), organisasi nirlaba yang berdiri tujuh tahun lalu.

Pemicu kelahirannya adalah putusan bebas pengadilan atas warga kulit berwarna George Zimmerman, pelaku penembakan yang menewaskan Trayvon Martin, remaja Afrika-Amerika dan siswa sekolah menengah pertama di Florida, pada 26 Februari 2012. Organisasi itu didirikan oleh tiga perempuan aktivis kulit hitam: Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi. Garza adalah aktivis hak-hak pekerja rumah tangga di Oakland, California; Cullors aktivis anti-kekerasan polisi di Los Angeles, California; dan Tometi aktivis hak imigran di Phoenix, Arizona. Ketiganya tergabung dalam Black Organizing for Leadership & Dignity (BOLD), organisasi nasional yang bergerak di bidang pelatihan pengorganisasian masyarakat.

Marah atas putusan Zimmerman itu, anggota di forum sosial BOLD bertanya kepada para pemimpin mereka bagaimana merespons peristiwa tersebut. Garza lantas membuat komentar di Facebook yang ia beri judul “Catatan Cinta untuk Orang Kulit Hitam”. Dia mengakhiri tulisannya itu dengan ungkapan “Our Lives Matter, Black Lives Matter”. Cullors menanggapi tulisan itu dengan membuat tagar #BlackLivesMatter. Tometi menambahkan dukungannya. Lalu lahirlah Black Lives Matter (BLM).

Menurut Herbert G. Ruffin di situs Blackpast.org, ada sejumlah lembaga lain yang terbentuk selama periode protes atas kasus Zimmerman itu, seperti Dream Defenders di Daytona Beach, Florida; Million Hoodies Movement for Justice di Washington, DC; dan Baltimore Bloc di Baltimore, Maryland. Saat kebanyakan kelompok itu mengorganisasi unjuk rasa di gedung pengadilan, BLM banyak memakai media sosial untuk mengkampanyekan agenda politiknya dan memobilisasi massa.

Beberapa hari seusai pembentukan organisasi itu, Cullors menghubungi koleganya di Los Angeles, Melina Abdullah, dan 30 orang lain. Setelah itu, lahirlah 16 cabang BLM di seluruh Amerika Utara. Gerakan ini membesar setelah ada protes di seluruh negeri pada 2014, ketika Darren Wilson, polisi kulit putih di Ferguson, menembak mati Michael Brown, pria kulit hitam 18 tahun.

Seperti demonstran lain, anggota BLM tidak hanya memprotes penembakan terhadap pria tak bersenjata itu, tapi juga karena tubuh Brown dibiarkan terbaring di jalan selama empat jam sebelum dibawa ke kamar mayat. Peristiwa itu terekam kamera dan langsung tersebar ke seluruh dunia melalui Twitter dan Facebook. Video seperti ini yang menghasilkan protes lama dan kadang-kadang disertai kekerasan.

Demonstras berkumpul dan mengibarkan bendera hitam dalam demonstrasi Black Live Matters, di London, Inggris, 20 Juni 2020./Reuters/Henry Nicholls

Meski awalnya hanya satu dari ratusan organisasi yang memprotes kekerasan terhadap orang kulit hitam, BLM kemudian muncul sebagai salah satu kelompok yang paling terkelola. Mereka membangun situs web, menggunakan Twitter dan Facebook, serta menggelar konferensi daring (online) untuk merencanakan strategi. Strategi ini menjadikannya sebagai model kelompok pembebasan kulit hitam abad ke-21 yang dapat mengorganisasi kampanye secara efektif.

Kepemimpinan BLM juga tersebar. Cullors, yang menjabat Ketua BLM Global Network Foundation, cabang internasional kelompok ini, tetap kerap membantu cabang organisasi di kota kelahirannya, Los Angeles, bila dibutuhkan. Los Angeles kini memiliki 500 anggota, salah satu yang terbesar dan paling berpengaruh dalam jaringan organisasi ini. Kepemimpinan inti cabang ini lima orang, termasuk Melina Abdullah.

Cullors mengatakan dia mencoba memastikan bahwa setiap anggota memiliki suara dalam sebagian besar keputusan, meskipun tim inti mengambil tanggung jawab untuk hal-hal yang berisiko. Tidak ada pemimpin yang dibayar untuk pekerjaan di organisasi ini. “Kami tidak membangunnya sebagai lembaga pemikir kebijakan, tapi sebagai gerakan budaya,” ucap Abdullah, yang juga pengajar studi pan-Afrika di California State University, Los Angeles.

Pekerjaan mereka beragam. BLM di Los Angeles, misalnya, membantu keluarga yang anaknya menjadi korban kekerasan polisi dengan membantu biaya autopsi mandiri dan melawan narasi penegak hukum atas kasus tersebut. Polisi di Los Angeles telah menewaskan lebih dari 880 orang, termasuk Twyman, sejak tahun 2000. Hampir semua korban laki-laki dan hampir 80 persennya berkulit hitam atau Latin.

Dukungan terhadap keluarga itu adalah bagian dari misi inti BLM, yaitu menuntut tanggung jawab polisi atas penyalahgunaan wewenangnya. Selain itu, mereka mencoba mengalihkan sumber dana untuk polisi ke layanan sosial, termasuk kesehatan mental, sekolah, dan perumahan. Aspirasi pengurangan anggaran polisi itu disampaikan BLM dalam rapat Dewan Kota.

BLM, yang mengambil inspirasi dari taktik pembangkangan sipil era Black Power pada 1970-an, kadang-kadang bentrok dengan aktivis veteran di komunitas kulit hitam Los Angeles. Mereka menilai tindakan itu mengalihkan perhatian dari pesan mereka. BLM cabang Los Angeles membangun momentum melalui taktik agresif dengan berkemah di Balai Kota dan menutup jalan bebas hambatan. Namun pendekatan inilah yang menarik minat kaum muda kulit hitam serta merangkul kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Meskipun awalnya populer di kalangan orang kulit hitam Amerika, belakangan Black Lives Matter mulai mendapat dukungan dari luar kelompok tersebut. Cullors menyebut organisasinya ini ibarat band, yang awalnya di bawah tanah dan kini telah masuk ke arus utama.

Aktivis Earl Ofari Hutchinson menyebutkan taktik BLM ini membuka mata para pemimpin kota terhadap keseriusan kekerasan polisi. Tanpa protes baru-baru ini, kata dia, para pemimpin kota tidak akan pernah setuju mengurangi anggaran kepolisian Los Angeles. “Namun, tanpa keterlibatan politik yang berkelanjutan dan fokus melaksanakan program konkret untuk perombakan polisi, bahaya besarnya adalah bahwa ketika momentum berlalu mereka akan mengambil kembali setiap kesempatan,” ujarnya.

Juliet Hooker, guru besar ilmu politik di Brown University yang mempelajari gerakan BLM, menyebut organisasi itu sebagai mobilisasi politik kulit hitam paling efektif sejak era hak-hak sipil. “Ini potensi besar transformasi dalam kesadaran politik,” katanya. Namun, Hooker menambahkan, masih terlalu dini untuk menilai hasil gerakan ini dalam legislasi atau kebijakan pemerintah.

Tanda bahwa dukungan terhadap kelompok kulit hitam meluas terlihat jelas dalam kasus George Floyd. Menurut New York Times, dalam demonstrasi di Minneapolis hingga Washington, DC, pada awal Juni, perubahan terjadi, yaitu ketika begitu banyak orang kulit putih Amerika turut turun ke jalan. “Ini benar-benar berbeda dari apa pun yang telah kita lihat,” tutur Douglas McAdam, sosiolog peneliti gerakan sosial di Stanford University.

Tingginya dukungan kelompok kulit putih terhadap nasib orang kulit hitam ini juga tecermin dalam survei Pew Research Center yang dirilis pada 12 Juni lalu. Dua pertiga orang dewasa Amerika mengatakan mereka mendukung gerakan ini dan 38 persen mengaku sangat mendukungnya. Sentimen ini sangat kuat di kalangan orang Amerika kulit hitam dan juga didukung mayoritas kulit putih (60 persen), Hispanik (77 persen), serta Asia (75 persen).

Selain karena kekerasan polisi, gerakan Black Lives Matter membesar lantaran faktor kemarahan terhadap Donald Trump. Menurut Dana R. Fisher, peneliti dan sosiolog di University of Maryland, 45 persen orang kulit putih yang ikut demonstrasi dan disurvei menyebut Trump sebagai alasan mereka bergabung dalam unjuk rasa. Sebanyak 32 persen orang kulit hitam yang punya pandangan seperti itu. Menurut peneliti Harvard University dan Connecticut University, sejak 2017, sebanyak 27 juta orang atau setara dengan 8 persen populasi ikut ambil bagian dalam protes menentang presiden dari Partai Republik itu.

ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, LA TIMES, SKY NEWS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus