Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tak Ada Kerugian Negara

Mantan wakil presiden Jusuf Kalla menjelaskan soal kekisruhan yang terjadi dalam lahan milik RRI yang beralih kepemilikan dalam pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia. Kalla juga membeberkan soal perannya dalam gejolak Bank Bukopin.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Muhammad Jusuf Kalla/ TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lengser sebagai orang nomor dua di negeri ini, Jusuf Kalla masih memiliki berbagai peran. Ketua Umum Palang Merah Indonesia ini masih intens mengawal pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia. Meskipun tak lagi menjabat ketua dewan pengarah pembangunan kampus itu, Kalla berperan sebagai Ketua Majelis Wali Amanat UIII.

Proyek itu diwarnai kejanggalan. Terutama, terkait dengan pengalihan status kepemilikan lahan seluas 142,5 hektare milik Radio Republik Indonesia tersebut. Kalla disebut-sebut mendorong lahan itu bisa segera berpindah ke Kementerian Agama. Pengalihan lahan itu mengakibatkan RRI tak lagi memiliki siaran analog atau shortwave untuk siaran internasional. Kalla menyatakan sebagian besar lahan itu menganggur karena tidak digunakan. “Di luar sana beredar informasi yang membodohi masyarakat soal peralihan lahan ini,” katanya.

Tak hanya dalam proyek pembangunan UIII, nama Kalla juga muncul dalam gejolak kepemilikan Bukopin yang sedang kesulitan likuiditas. Ia disebut turut melobi pemerintah, hingga menemui presiden Joko Widodo, agar mau membantu Bukopin, bank yang 23 persen sahamnya dimiliki sang adik ipar, Aksa Mahmud.

Pada Kamis, 25 Juni lalu, Kalla menerima wartawan Tempo, Khairul Anam, Mustafa Silalahi, dan Riky Ferdianto, serta fotografer Taufan Rengganis, di rumah pribadinya, Jalan Brawijaya Raya, Jakarta Selatan. Selama sekitar dua jam, ia menjelaskan duduk perkara RRI dan Bukopin, termasuk pertemuannya dengan presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Apa alasan pemerintah membangun UIII?
Selama ini, pelajar Indonesia harus ke Mesir, Arab Saudi, Yaman, Sudan, dan negara Arab lain untuk mempelajari Islam. Negara-negara itu selalu didera konflik dan bisa mempengaruhi pemikiran mereka. Kita ini hanya kuantitasnya yang besar, tapi tidak menjadi pusat pemikiran Islam. Indonesia butuh kampus berkualitas dan berstandar internasional yang akan menjadi pusat kebudayaan Islam.

Anda yang menggagas ide ini?
Saya menyampaikan ide ini ke Presiden Joko Widodo pada 2015, dan beliau setuju. Lalu saya memerintahkan kementerian terkait untuk mempersiapkannya.

Ini proyek mercusuar pemerintah?
Bisa dibilang begitu. Ini demi generasi masa depan. Kalau Indonesia menjadi terkenal karena kampus ini, alhamdulillah.

Kenapa Anda memilih kompleks pemancar RRI di Cimanggis, Depok?
Kita akan membangun kampus yang bagus, hijau. Awalnya, saya minta disediakan lahan 500 hektare. Lahan yang tersedia di Balaraja, Banten, masih berupa danau. Ada juga 1.000 hektare di Sukabumi, tapi terlalu jauh. Saya ingat ada lahan RRI di Cimanggis. Pada 2009, direksi RRI pernah datang dan menawarkan untuk mengelola lahan. Lokasinya pun strategis.

Tapi di sana ada belasan menara RRI untuk siaran internasional Voice of Indonesia?
Saya berkunjung ke sana sekitar tahun 2015. Saya bertanya ke pegawai RRI, siapa yang masih mendengarkan siaran internasional? Dia jawab hanya dua orang. Satu orang Cina dan satu lagi Pakistan karena pernah mengirim kartu pos untuk siaran internasional RRI. Saya juga melihat sendiri peralatan di sana sudah tua, dari tahun 1952.

Kami melihat sebagian peralatan itu masih berfungsi...
Sekarang siaran radio sudah lewat telepon seluler. Pendengar radio di gelombang short wave sudah tidak ada lagi. Di dunia ini tidak ada lagi stasiun radio yang menggunakan menara dan kabel.

Ada anggota Dewan Pengawas RRI yang mengatakan peralihan lahan itu keliru?
Tak ada kerugian negara dalam peralihan ini. Lahan itu sebelumnya milik negara, lalu dialihkan juga kepada negara. Lebih baik digunakan untuk pendidikan nasional. Di luar sana beredar informasi yang membodohi masyarakat soal peralihan lahan ini.

Kami mendapat informasi pemerintah menekan Direktur Utama RRI agar menyetujui peralihan lahan ini. Benarkah?
Secara institusi, RRI itu di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi walau disebut independen. Persoalan ada ditekan atau tidak, yang perlu digarisbawahi adalah ini ada lahan milik negara yang tak berfungsi.

Bagaimana dengan lahan pengganti untuk RRI?
Memang ada surat permintaan dari RRI meminta lahan pengganti dan memindahkan pemancar ke sana. Tapi untuk apa? Sekarang bikin radio cukup di satu kamar. Tak perlu lagi menggunakan perlengkapan besar dan rumit.

Lalu bagaimana dengan peralatan RRI yang masih ada di Cimanggis?
Alat-alat itu tidak dipakai lagi. Usianya sudah 70 tahun. Semua perlengkapan siaran sekarang sudah modern, streaming. Dengan Internet, orang di seluruh dunia bisa mendengar RRI.

Apa saja yang akan dibangun di lahan Cimanggis itu?
Dari 142,5 hektare, hanya sekitar 16 persen saja yang akan dibuat gedung. Rencana pembangunan UIII sangat lengkap. Dalam blue print mencantumkan akan ada danau, macam-macam lah. Bangunannya sangat moderen. Tak menggunakan arsitektur Arab. Anggaran yang disediakan mencapai Rp 3,5 triliun hingga 2024.

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana asal muasal utang Amanah Finance milik Kalla Group di Bukopin, sampai jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai kredit macet per Desember 2017?
Amanah Finance itu sebenarnya penyalur (pembiayaan) saja (dari Bukopin). Yang bertanggung jawab adalah Bukopin sebagai penagih. Amanah hanya channeling. Tapi karena waktu itu Amanah sepakat membantu menagih ke nasabah, jadilah kreditnya begini. Direkturnya Amanah bikin kesalahan dalam hal perjanjian dengan Bukopin. Tapi ini masalah tanggung jawab saja. Dulu Rp 1 triliun (pembiayaannya). Daripada berselisih terus, saya minta selesaikan saja. Selesaikan dalam 10 tahun restrukturisasi. Sekarang lancar bayar Rp 15 miliar per bulan.

Sekarang statusnya sebagai utang Amanah ke Bukopin?
Dulu, dalam kontrak awal, channeling. Tapi karena Bukopin tidak bisa menagih, Amanah disuruh menagih. Mestinya macet itu tangung jawabnya Bukopin. Kalau BPK baca, itu kontraknya channeling. Tapi tidak apa-apa, satu sen pun kami tidak ambil karena yang berutang nasabah Amanah.

Pada 3 Juni, Anda disebut datang ke Istana menemui Presiden. Anda saat itu disebut minta pemerintah untuk bantu Bukopin...
Saya datang tidak untuk urusan Bukopin, tapi urusan Palang Merah Indonesia dalam penanganan corona ini. Cuma saya mendapat informasi dalam rapat dengan Presiden, (Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso) menyampaikan bahwa Bukopin itu miliknya Pak JK. Itu  saya klarifikasi ke presiden. Hanya mengklarifikasi isu kepemilikan itu. Kalau pemerintah mau bantu Bukopin, bantu sesuai aturan, karena itu tugas pemerintah. Saya minta Presiden selesaikan lewat Komite Stabilitas Sistem Keuangan saja, mengacu ke Perppu 1 tahun 2020 itu—menjadi UU Nomor 2 tahun 2020. Tidak ada saya minta apa-apa. Tanpa bailout. Otomatis. Saya kan anti bailout.

Di Indonesia ini, tinggal dua bank menengah buku tiga yang dimiliki oleh (pengusaha) pribumi, Bukopin dan Bank Mega. Kalau ini bermasalah, kasihan. Padahal ini hanya butuh tambahan likuiditas. Laporan BPK itu—yang menyebut tujuh bank bermasalah termasuk Bukopin pada Mei 2020—yang memicu rush money. Secara ekuitas, setelah Korea masuk (Kookmin), kan Bukopin aman-aman saja.

Apa jawaban Jokowi?
Beliau bilang, “Oh jadi begitu. Kalau begitu nanti saya perhatikan.” Kalau Ketua OJK tidak sebut nama saya, saya tidak mau urus. Apa urusan saya? Hanya karena dia sebut nama saja. Takutnya nanti orang bilang begini, “Wah, Pak JK punya bank macet.” Enggak enak. Jadi saya tegur Wimboh. Tertulis saya tegur pada 29 Mei karena saya telepon tidak nyambung. Lima kali saya telepon enggak diangkat. Saya hanya mau klarifikasi, tidak benar bahwa Bukopin itu milik saya. Saya sebenarnya salah, mestinya saya kasih tembusan surat itu ke presiden.

Dibalas suratnya?
Langsung telepon saya Pak Wimboh. Sebelumnya lima kali saya telepon tidak diangkat, lima plus dua. Saya bilang. “Kenapa Anda bilang saya pemiliknya? Anda kan tahu, Bosowa pun cuma punya 23 persen (saham di Bukopin). Ini milik publik 40 persen. Ngapain saya masuk ke situ?” Dia bilang, “Oh tidak begitu, Pak.” Padahal banyak orang mendengar, dia bilang itu (Bukopin) milik Pak JK. Bukan hanya satu orang sampaikan pada saya.

Tapi dalam aturan perbankan kita, Anda termasuk pihak berelasi pemegang saham Bukopin, yaitu Bosowa, yang dimiliki Aksa Mahmud, adik ipar Anda....
Tidak ada hubungan saham. Tidak ada.

Maka, karena hubungan relasi dengan pemegang saham itu, utangnya Haka Sarana Investama (Kalla Group, Rp 149,5 miliar per Desember 2019) di Bukopin masuk dalam kredit berelasi...
Terserah, itu aturannya OJK. Saya tidak tahu. Tidak ada hubungannya.

Anda Tidak minta OJK agar ada injeksi modal atau likuiditas ke Bukopin?
Tidak. Selesaikan saja dengan aturan yang ada. Tapi saya bilang, ada bank yang lebih berat kondisinya. Kalau Anda fair, investigasi juga.

Soal Bukopin, Anda sempat berkomunikasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga?
Saya sampaikan persoalannya bahwa bukan saya pemiliknya.

Jadi kalau OJK tidak menyebut nama Anda, JK tidak turun tangan, ya?
Tidak. Apa urusannya saya menjaga Bukopin?

Mungkin Aksa Mahmud minta bantuan ke Anda...
Kalau pun ada, apa salahnya? Adik meminta ke kakaknya, apa soalnya? Saya bukan pejabat lagi. Kalau pengusaha tidak punya lobi, bukan pengusaha namanya. Di dunia ini modal pengusaha itu lobi. Amerika besar itu karena ada pelobinya. Jadi lobi itu biasa saja. Terkecuali saya pejabatnya bikin aturan, ini alokasi uangnya, saya salah. Saya sekarang bukan pejabat. Di mana salahnya? Saya juga ingatkan untuk kembali ke aturan.

Tapi pengaruh JK masih cukup kuat...
Alhamdulillah, karena saya tidak pernah berbuat salah dengan negeri ini. Apa salah saya? Itulah, suatu negara kuat jika swasta dan pemerintahnya bekerja sama. Jadi kalau ketemu presiden dianggap haram, apanya yang haram? Enggak ada larangan. Negara kuat kalau swasta dan pemerintah bekerja bersama. Yang bayar gaji pegawai negeri kan swasta.
 
Bagaimana opsi penyelesaian Bukopin yang Anda harapkan?
Bantuan likuiditas saja. Karena uangnya lari, keluar uang ini akibat laporan BPK. Padahal itu laporan untuk kondisi 2017—terkait kredit Amanah. Tiga tahun lalu. Sudah baik Bukopin itu setelah masuknya Kookmin. Tapi karena laporan itu, banyak uang orang keluar. Bank apa pun kalau di-rush dalam waktu singkat, macet.

Anda setuju Kookmin menjadi pemegang saham pengendali Bukopin?
Saya tidak ada urusan setuju atau tidak. Tapi begini. Ini kan asal muasal Bukopin untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Harus kembali ke situ. Saya bilang, itu kenapa lebih baik kerja sama dengan BRI. Kalau Kookmin, dikuasai kredit korporasi lagi ini.

Pemikiran itu Anda sampaikan ke Jokowi?
Tidak, secara teknis tidak. Hanya pikiran saja. Jangan lupa, rupiah itu sebetulnya tidak apa-apa. Kalau uang ditarik dari satu bank kecil, kan ditaruh ke bank lain yang lebih besar. Pasti. Bank besar seperti Mandiri kelebihan duit. BCA kelebihan Rp 50 triliun. Ini mesti disalurkan, kalau enggak, rugi. Itulah gunanya OJK mengatur. Uang dari sini banjir (bank besar), kembalikan ke sini (bank lebih kecil). Pinjam dengan jaminan. Menjaga likuiditas bank kecil dan menengah itu hal yang normal, saling menuntungkan. Kalau tidak, rugi ini bank bayar bunga deposito.

Tidak sempat meminta bantuan pengusaha pribumi lain untuk membantu permodalan dan likuiditas Bukopin? Chairul Tanjung, misalnya?
Sekarang jangan harap untuk bisa saling membantu dewasa ini. Saya ulangi lagi, saya tidak ada urusan kepemilikan dengan Bukopin. Saya hanya terlibat karena nama saya disebut oleh OJK. Itu motif saya. Bukan karena saya ingin, “Eh, keponakan saya—Erwin dan Sadikin Aksa—sedang kesulitan. Nanti kubantu kau.” Tidak. Hanya karena OJK sebut nama saya ke mana-mana, ini yang merusak, miliknya Pak JK. Saya marah. Jadi bukan motifnya ingin bantu Bukopin. Kalau pun dibantu, apa salah? Lobi apa salah? Saya swasta.

Perkara yang mau bantu kasih seperti apa terserah mereka?
Iya, dan saya tidak melakukan itu. Lihat surat saya. Lakukan sebagaimana aturan yang ada. OJK sendiri akhirnya menunjuk BRI sebagai technical assistance, termasuk untuk menjaga likuiditas Bukopin. Jadi bolak-balik ini OJK.

Bagaimana awalnya hubungan Kalla dengan Bukopin?
Panjang.

Bagaimana dengan status kreditnya Kalla Group yang lain di Bukopin?
Komersial biasa, saya nasabah Bukopin sejak 25 tahun lalu, sejak Sofyan Basyir—mantan  Direktur Utama BRI dan PLN—kepala cabang pertama Bukopin di Makassar.

Makanya Sofyan Basyir sering disebut dekat dengan Anda, ya?
Ya, karena dia dulu mudanya di Makassar. Bosowa ambil Bukopin itu kan baru enam tahun. PT Hadji Kalla menjadi nasabah bukopin sudah 25 tahun. Tidak ada hubungannya ini. Kalla dapat kredit jauh sebelum Bosowa masuk ke Bukopin.

Bukan Anda yang meminta Bosowa masuk ke Bukopin?
Sama sekali tidak. Bapak saya kasih amanat begini:
“Eh, kau jangan masuk di tiga hal.”
“Apa, Pak?”
“Jangan kau bikin bank.” Zaman dulu kan gampang sekali bikin bank.
“Lalu jangan kau bikin hotel.”
“Kenapa, Pak?”
“Bagaimana muka ini saya simpan kalau ada orang bilang, itu hotel Haji Kalla jualan bir?”
“Ketiga, jangan kau dagang beras. Nanti orang susah, kau untung.”
Tiga itu saya hindari. Saya juga bikin Amanah Finance hanya untuk memperlancar penjualan PT Hadji Kalla (jaringan dealer mobil), bukan untuk orang luar. Bikin hotel juga sama. Hotel Sahid di Makassar. Hotel bintang lima pertama di kota itu, tapi kurang berhasil. 

Ada dugaan Anda berusaha mempertahankan agar Bukopin tetap dimiliki Bosowa agar kredit Kalla di bank tersebut aman...
Apa yang salah di situ? Bank kalau tidak kasih kredit, untung atau rugi? Jadi jangan seakan-akan kasih kredit ke sini nanti ada bahaya. Kerja bank kasih kredit, kerja kita cari kredit. Apanya yang mesti dijaga? Coba cari. Minta maaf ya, bisnis kami jauh lebih besar dari itu. Saya punya pembangkit listrik 500 megawatt, hampir 1.000 megawatt. Kalau utang mau diambil, kita bayar, tidak ada soal. Kecuali kalau PT PLN tidak membayar penjualan listrik ke kita, baru. Tahun depan kami ada tambahan pembangkit 200 megawatt, tidak ada pembangkit listrik lain di Indonesia yang 100% milik pribumi. Tidak ada asing. Mesinnya saja dari asing, tapi semua engineer dan desain dari Indonesia.

Apa menurut Anda motivasi BPK menyebut tujuh bank bermasalah, salah satunya Bukopin, yang Anda sebut sebagai salah satu pemicu rush?
Selama uang di antara bank itu mengalir, tidak ada soal. Rush ini, pasti kan orang tidak simpan uangnya di bawah kasur. Pasti pindah ke Mandiri, BRI, dan lain-lain.

Kira-kira siapa yang diuntungkan dari situasi Bukopin sekarang?
Tentu orang yang mencari keuntungan, termasuk Korea (Kookmin) ini mencari keuntungan. Dia tekan harga, saham turun, dia beli, masuk dia 51 persen. Jadi Kookmin ingin beli murah bank. Itu saja motifnya. Tapi motif saya, ini bank didirikan oleh koperasi untuk membina UMKM dan koperasi. Kembalikan ke khitahnya. Kedua, ini bank-bank besar kelebihan dana. Pindahkan saja uangnya. Kalau bank-bank Singapura di-rush, uangnya bisa pergi ke mana-mana. Kalau bank kita? Mau ke mana? Hanya berputar saja dari bank ke bank. Jadi jangan khawatir akan terjadi masalah bila mekanisme ini jalan. Selama tidak seperti Bank Century, (duit nasabah) dirampok banknya sendiri. Kalau Century yang punya ngerampok.

Seperti skema bank jangkar yang disiapkan pemerintah saat ini? 
Kurang lebih seperti itu.

Pokoknya asal bukan bailout?
Ya, jangan seluruh risiko diambil negara. Jangan juga menggunakan blanket guarantee, itu sama saja dengan bailout. Ini tidak. Business to business saja. Kalau tidak (kembali duitnya), saya ambil saham kau. Jadi tidak ada risiko karena sahamnya dijaminkan. Begitu salah, ambil. Beda zaman dulu, you ambil barang rusak, tapi tetap sahamnya di pemilik lama. 

Anda menyebut soal bank atau pengusaha pribumi dan nonpribumi. Apa pentingnya membedakan itu di tengah globalisasi saat ini?
Keseimbangan sosial. Ada negara yang aman kalau terjadi begini. Di Filipina dan Thailand begini juga. Tapi di Indonesia beda. Di Filipina, yang kaya itu kebanyakan keturunan Cina atau Spanyol, tapi mereka Katolik. Sama (agamanya) dengan orang asli Filipina yang kebanyakan miskin. Di Thailand, yang kaya keturunan Cina juga. Tapi yang kaya dan miskin sama-sama Budha. Tidak ada masalah sosial.

Kita ini beda. Kenapa terjadi kerusuhan di Malaysia dan Indonesia? Mau begitu lagi? Dibakar Indonesia ini. Sejak dulu saya bilang begitu, sejak duduk di MPR, pribumi dan nonpribumi. Orang protes.Tapi apa yang salah kalau saya bilang begitu? Saya sih tidak ada soal. Saya bisa bersaing dengan mereka—keturunan Cina. Saya bisa kalahkan mereka di beberapa tempat. Saya bukan orang hebat, tapi setidaknya kalau di Makassar....

Seng ada lawan ya...  
Di Makasasr ada tiga gedung kantor bertingkat. Saya punya kantor, kantornya Bosowa, dan Fajar—media massa. Semua saya punya anak buah di sana. Kita berkembang. Tapi di tempat lain masih bisa ketemu enggak (pengusaha pribumi)? Surabaya, Semarang, Medan?

Pengusaha pribumi sudah lama dapat keistimewaan. Apa perlu seterusnya?
Hanya dua kali pengusaha pribumi dapat keistimewaan. Pertama tahun 1952, waktu ekonomi nasional—Program Banteng atau Ali Baba pada 1950-an untuk membesarkan pengusaha pribumi yang tertinggal dari pengusaha keturunan Cina. Kedua, zamannya Soeharto, era Ginanjar Kartasasmita—ketika jadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 1980-an,  menerapkan ekonomi proteksi dan koneksi buat pengusaha pribumi. Mirip program Korea Selatan melahirkan chaebol. Apa salahnya? Itu berjasa menurut saya. Kalau tidak, tidak ada itu Bakrie, Medco (Arifin Panigoro) dan macam-macam. Jadi jangan dilecehkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus