SINGAPURA sedang berbedak. Lampu warna-warni menghiasi hampir semua kompleks pertokoan. Sementara itu, sampai pukul 11 malam pekan lalu, taman-taman kota masih dipenuhi muda-mudi yang lagi pacaran. Tempat makan model Pecenongan, yang di sana namanya Food Street, penuh sampai pagi. Namun, jangan dihubungkan itu semua dengan turunnya Perdana Menteri Lee Kuan Yew (67 tahun), dan naiknya Goh Chok Tong (49 tahun) sebagai pemimpin baru, yang akan dilangsungkan Rabu pekan ini. Kemeriahan semua pusat pertokoan itu adalah untuk menanti Natal. Tak kelihatan sehelai bendera, umbul-umbul, atau spanduk pun yang mengucapkan selamat pada Goh. Konon, jauh sebelumnya sudah ada pesan dari Goh, agar peristiwa pelantikannya tak usah dibesar-besarkan. Namun, di samping pesan Goh, bila peristiwa ini tak diramaikan, mungkin karena suksesi ini berjalan tanpa huru-hara. Orang tak perlu cemas. Tanyalah dari sopir taksi sampai penjaga hotel, mereka yakin semuanya bakal beres. Atau, karena demikian mulusnya pergantian penguasa ini, orang pun berani bertaruh, bahwa tak akan ada perubahan apa pun, hingga tak perlu ucapan selamat. "Tak akan ada perubahan. Dari PAP ke PAP juga. Buat apa ramai-ramai?" kata seorang pejabat pemerintah yang tak mau disebutkan identitasnya. PAP, People Action Party atau Partai Aksi Rakyat, sudah menguasai Negeri Kota itu sejak ia merdeka pada 1963, dan waktu itu masih jadi bagian Malaysia. Bila dicari, apalagi di kalangan anak muda, sebetulnya reaksi pada suksesi ini ada juga. Misalnya Low Thia Kiang, sekretaris Partai Buruh yang juga pengusaha pabrik aluminium. Ia tak puas dengan dunia politik Singapura yang penuh tekanan. "Tapi mau apa lagi?" katanya. Yatiman Yusof, sekretaris parlemen yang PAP, melihatnya dari sudut lain. Proses suksesi itu, katanya, sudah lama dibicarakan. Bahkan sudah sejak 1976 Lee Kuan Yew mengatakan akan mundur. "Kalau orang sudah ngomong sepuluh tahun untuk soal yang sama, ya membosankan," katanya dalam bahasa Inggris bagus. Sudah sejak 1984 orang mulai bicara dengan jelas tentang peralihan dari Lee ke Goh. Pada pesta kemenangan PAP dalam pemilu terakhir, 4 September 1988, Goh memberi ancar-ancar. "Saya akan jadi perdana menteri dalam dua tahun lagi," katanya kepada wartawan. Lalu Goh mengatakan lagi, waktunya antara akhir November dan minggu pertama Desember 1990. Itulah yang terjadi. Susunan kabinet baru pun tak mengejutkan. Akhir Oktober Goh menyebut Ong Teng Cheong dan B.G. Lee -- anak Lee Kuan Yew -- sebagai wakil perdana menteri. Lee muda diberi keistimewaan: ia akan mewakili sebagai penjabat perdana menteri apabila Goh berhalangan. Alasan Goh sangat mudah. Kalau ia hanya berpikir untuk tiga atau lima tahun saja, katanya yang dipilihnya adalah Ong Teng Cheong atau Tonny Tan. Namun, ia mesti berpikir jauh, demi masa depan negara. Susahnya, dengan pilihan itu, banyak yang menganggap ia tak lebih "penghangat kursi." "Bagi saya, B.G. Lee adalah mitra, bukan saingan," kata Goh di muka konperensi kadet PAP, pertengahan November lalu. Ucapan itu justru memancing spekulasi bahwa di antara mereka memang ada rivalitas. Bahkan ada yang mengatakan, dalam kabinet pun sekarang sudah ada dua kubu. Goh punya konco, sementara B.G. juga punya geng seperti Wong Kan Seng (menteri luar negeri), Mah Bow Tan, dan George Teo. Ada juga yang "netral". "Susah untuk mengatakan dengan jelas ini orang Goh, itu orang Teo," kata seorang wartawan senior Singapura. Keputusan paling penting tapi juga sudah bisa ditebak adalah pengangkatan Lee Kuan Yew sebagai senior minister. Menurut protokoler, pangkat itu adalah tertinggi kedua, setelah perdana menteri. Lee juga akan tetap sebagai sekjen PAP. Tradisi di mana-mana, seperti Partai Tory di Inggris, bos adalah perdana menteri. Di sini baru uniknya politik Singapura. Lee tetap sekjen, selagi Goh perdana menteri. Namun, menurut Goh, tadinya ia ingin mengambil alih jabatan sekjen itu. Ia memutuskan mempertahankan Lee pada jabatan itu karena ia memerlukannya sebagai "penjaga Gurkha" untuk Singapura. Rumah para pejabat Singapura memang dijaga tukang pukul Gurkha yang dikenal setia. "Mr. Lee unik. Ia bisa mempengaruhi siapa saja yang diinginkannya," kata Goh pada para wartawan Indonesia tentang mentornya itu. Di dalam kabinet ia akan menjadi seorang "konsultan". Untuk kalangan oposisi, kedudukan Lee yang masih tetap menentukan jelas buruk. Kata Chiam See Tong, Ketua Singapore Democratic Party (SDP), keadaan baru baik kalau Lee benar-benar mundur. Chiam, satu-satunya tokoh oposisi sebenarnya di parlemen, menganggap Lee sebagai sosok politikus yang hidup di masa-masa sulit. Ia hidup di zaman kolonial Inggris, pendudukan Jepang, dan perjuangan melawan komunis. Tipe pemimpin seperti itu tak kenal kompromi, kata Chiam. Kondisi sekarang tak cocok untuk tipe pemimpin seperti Lee. Chiam mengakui prestasi Lee yang luar biasa. "Ia adalah George Washington-nya Singapura," kata pengacara yang bertubuh atletis yang berkantor di ruangan kecil milik orang India itu. Stabilitas politik diakuinya sebagai jasa Lee. Demikian juga dengan sistem hukum yang baik dan pemerintah bersih korupsi. Namun, Lee, menurut Chiam, sangat paternalistik. PAP disebutnya partai yang telah menyiapkan segala tatanan. Masalahnya, sejalan dengan perkembangan Singapura, kepemimpinan paternalistik mungkin tak cocok lagi. "Kami memerlukan perubahan gaya. Tak bisa lagi dipertahankan sebuah pemerintahan yang tak punya toleransi terhadap pandangan berbeda," kata Chiam menegaskan. Ia menaruh harapan besar pada Goh, yang dalam penilaiannya gayanya bisa diterima rakyat. Goh lebih lunak, komunikatif, dan selalu mencari konsensus. Ia berharap oposisi bisa berperan. Namun, J.B. Jeyaretnam, sekjen Worker's Party, punya pandangan lain. Ia pesimistis terhadap suksesi ini. "Saya kira tak akan banyak perubahan. Apalagi Lee tetap jadi Sekjen PAP. Jadi, apa bedanya?" kata Jeya. Sebenarnya, perbedaan itu diam-diam sedang direncanakan. Parlemen kini sedang menyiapkan sebuah RUU yang akan memberi kekuasaan lebih besar pada presiden. Berdasarkan pada RUU tersebut, presiden akan dipilih oleh rakyat. Masih diperdebatkan apakah langsung seperti di Amerika atau sistem perwakilan seperti di Indonesia, atau bagaimana. Yang sudah pasti, presiden terpilih akan punya hak veto untuk pengangkatan pejabat kunci dan juga penentuan bujet. Segera saja timbul spekulasi bahwa Lee akan menempati posisi itu, secara tak langsung. Menurut rencana, Wee Kim Wee, presiden sekarang, akan menjadi presiden pertama yang dipilih, sedangkan Lee akan jadi yang kedua. Memang kontradiktif terdengarnya, sementara ada pemilihan, tapi siapa yang terpilih sudah ditentukan. Karena itulah pihak oposisi, terutama Chiam, tak begitu antusias terhadap perubahan itu. Diakuinya, bila UU itu sudah berlaku, pemilihan presiden akan menjadi sesuatu yang sangat penting artinya. Namun, kalau yang terpilih seorang yang paternalistik seperti Lee, dan partai berkuasa mendominasi segala hal seperti PAP sekarang, sementara rakyat akan tetap apatis. Keadaan akan lebih runyam lagi kalau yang terpilih sebagai presiden berasal dari bukan partai penguasa. Keadaannya akan repot karena segalanya akan macet. Akhirnya, yang ditunggu adalah janji Goh, sebagaimana yang dikatakannya pada International Herald Tribune dua pekan lalu, untuk memerintah dengan lebih demokratis dan lebih lunak. Yopie Hidayat (Singapura) dan A. Dahana (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini