ORANG menganggapnya seorang birokrat yang membosankan. Tapi akhirnya Li Peng juga yang jadi perdana menteri. Tanggal 23 November lalu, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (KRN) menunjuknya dalam jabatan itu -- dengan embel-embel ad-interim. Li Peng menggantikan Zhao Ziyang, yang dalam Kongres PKC ke-13 lalu diangkat sebagai ketua partai -- satu tanda bahwa ide memisah urusan pemerintahan dengan urusan Partai hendak dijalankan benar-benar. Tapi kenapa cuma ad-interim? Konstitusi menentukan bahwa Komite Tetap KRN hanya berhak menunjuk seorang perdana menteri sementara. Sidang pleno KRN, akan belangsung Maret atau April 1988, diduga akan menjadikan Li perdana menteri penuh. Berada di tingkat atas RRC, bagi Li Peng, bukan dunia yang baru. Ia -- kini usianya 59 tahun anak angkat Almarhum Zhou Enlai, perdana menteri dan menteri luar negeri pertama RRC, orang nomor dua setelah Ketua Mao, yang merupakan tokoh moderat yang secara luas dihormati. Li dengan demikian memperoleh pendidikan dan latihan yang bisa dinikmati anak-anak pejabat, dan tak heran bila ia kini mengikuti jejak ayah angkatnya. Tapi, sebagaimana berlaku bagi banyak tokoh baru RRC yang muncul ke atas selama beberapa tahun terakhir ini, siapa Li mungkin kurang penting untuk diketahui, dibanding dengan posisinya dalam percaturan politik di pucuk Beijing. Konon, Li merupakan tokoh yang bisa diterima baik oleh golongan "reformis" yang menghendaki pembaruan dalam cara-cara mengatur sosialisme Cina -- maupun oleh golongan "konservatif" -- yang ingin mempertahankan cara sosialisme yang sebelumnya diselenggarakan, sesuai dengan doktrin Marxisme-Leninisme. Ia, insinyur listrik lulusan Uni Soviet, seorang teknokrat penganjur reformisme. Tapi jalan pikirannya juga sejajar dengan kaum "konservatif", yang mempertahankan perlunya perencanaan ekonomi yang terpusat, seperti di masa hidup Mao. Kelak, dengan Li sebagai orang pertama yang menjalankan pemerintahan, sebagian orang menilai tak akan ada suatu perubahan drastis dari program pembaruan yang sekarang sedang ditempuh. Malah, kata sumber-sumber Cina, mulai sekarang reformisme akan jalan lebih pelan. Pengambilan keputusan akan dilakukan dengan ekstra hati-hati. Soalnya, di samping kenyatannya ia adalah tokoh hasil kompromi antara dua kubu yang bertentangan, masih bisa diragukan kemampuan Li memerintah. Ia dianggap kurang berpengalaman dalam kancah kepemimpinan pusat dalam negeri, dengan 1,1 milyar penduduk itu. Lagi pula, dibandingkan dengan tokoh-tokoh senior, Li Peng nampaknya tak menunjukkan kepribadian yang kuat, sebagaimana umumnya sosok yang dianggap tidak "berbahaya" bagi semua pihak. Di samping itu, usianya yang masih muda -- menurut ukuran Cina -- membuatnya ia bukan apa-apa bila dibandingkan dengan Zhao Ziyang atau Deng Xiaoping. Tapi ia merupakan tokoh sentral dalam usaha Deng dan Zhao meremajakan kepemimpinan di RRC kini, yang pekan lalu juga ditandai dengan munculnya orang-orang muda (di bawah 70 tahun) di pucuk pimpinan militer. Memang, cap "pro-Uni Soviet" yang disandangnya -- karena latar belakang sekolahnya itu -- merupakan beban berat. Sampai beberapa tahun yang silam, tokoh RRC yang dapat cap seperti itu akan langsung tak terpakai, terutama di masa Mao, yang dulu menyingkirkan Presiden Liu Shaochi, yang dijuluki sebagai "Khrushchev-nya Cina". Tapi zaman toh berubah. Lagi pula, rasa curiga terhadap Uni Soviet kini mengendur -- apalagi bila terjadi pertemuan antara Deng dan orang nomor satu di Kremlin kini, Gorbachev, seperti yang kini tengah diembuskan di segenap penjuru. A. Dahana, laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini