Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kepak Patah Sayap Maleo

Burung maleo terancam punah oleh eksplorasi migas. Upacara adat pun terancam musnah.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI siang memanggang pasir Pantai Saluan, Banggai, Sulawesi Tenggara. Sesosok tubuh renta tampak mengendap-endap di balik pepohonan. Pandangannya tak lepas dari pantai yang luasnya hanya sehektare itu. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Sudah empat jam Jaling, 64 tahun, di sana. Namun yang dinanti, burung endemis maleo, yang memiliki cara bertelur mirip penyu, tak kunjung muncul. Baru empat ekor maleo yang menampakkan diri selama dua bulan ia menjaga pantai. Mengeluhlah Jaling yang biasa dipanggil Om Jalil itu kepada TEMPO, "Ai... mau diapa lagi, hutan Bangkiriang sudah habis dibabat orang." Om Jalil merasa berduka. Kepunahan peliharaannya tinggal menunggu waktu. Dua puluh lima tahun sudah ia hidup bersama maleo, unggas seukuran ayam, yang ia tangkarkan dan dilepaskan ke hutan Suaka Margasatwa Bangkiriang. Setiap Agustus hingga November, burung itu turun dari hutan ke Pantai Saluan untuk bertelur. Masyarakat adat Batui mempercayai Om Jalil untuk mencari telur yang besarnya lima kali telur ayam itu—sebagian ditangkarkan, sebagian lainnya dijual untuk upacara Tumpe, yakni penyerahan telur burung maleo ke Banggai Kepulauan. Dengan tiadanya telur itu, terhapus jugalah upacara adat Tumpe, yang sudah dijalani leluhurnya sejak tahun 1600 (lihat Primadona Pesta Pantai). Merosotnya populasi burung yang bernama latin Macrocephalon maleo itu terjadi dalam lima tahun terakhir. Om Jalil ingat, pada 1994, setiap sore Pantai Saluan menghitam karena tertutup maleo yang sedang bertelur. Namun, tahun lalu, dari 300 telur maleo yang dipesan Camat Batui, hanya setengahnya yang bisa disediakan Jaling. Om Jalil makin sedih setelah tahu hutan Suaka Margasatwa Bangkiriang akan segera porak-poranda. PT Exspan Tomori Sulawesi, anak perusahaan Medco milik pengusaha Arifin Panigoro, sudah meminta izin untuk menjadikan 4 hektare rimba lebat itu sebagai area eksplorasi dan eksploitasi karena ditemukan satu titik sumur gas yang cukup besar. Pembicaraan antara petinggi kehutanan dan pertambangan sudah terjadi bulan lalu. Nasib malang maleo ini adalah satu contoh kasus betapa lingkungan hidup selalu kalah dengan bisnis. Ranjau-ranjau penghancur populasi maleo itu terjadi setelah ditemukannya cadangan gas alam yang cukup besar pada 1999 di Donggi dan Sonoro, Kabupaten Banggai. Cadangan gas di Donggi mencapai 6,5 triliun kaki kubik dan di Sonoro mencapai 4 triliun kaki kubik. Bahkan Mei lalu diumumkan temuan ladang minyak di Banggai dengan cadangan mencapai 4,7 miliar barel. Temuan itu jelas membuat para pejabat daerah ngiler karena Banggai bakal sejajar dengan daerah penghasil minyak dan gas seperti Kalimantan Timur, Aceh, dan Sumatera Selatan. Maka mudah saja bagi Exspan Tomori Sulawesi untuk mengantongi izin melakukan kegiatan eksplorasi dan analisis mengenai dampak lingkungan. Padahal, sejak kegiatan pada 1999 lalu, banyak sudah dampak lingkungan yang dikorbankan. Sebuah pulau pasir di Tiaka yang dijadikan landasan heli dan pelabuhan tanker adalah habitat ikan napoleon dan dekat dengan tempat tinggal 400 keluarga suku laut Bajo di Desa Kolo Bawah. Mereka memprotes, tapi jawabannya sudah ada: silakan saja menyingkir. Tahun lalu, giliran maleo yang kena getah operasi mencari gas alam ini. Sumur gas di Sonoro yang sudah beroperasi mengalami kebocoran. Akibatnya, banyak burung yang mati, termasuk maleo. "Jangankan burung, saya saja mual-mual dan pusing," kata Marhan Sofyan, penduduk sekitar Bangkiriang. Jumlah burung yang hanya ada di Pulau Sulawesi itu, menurut penghitungan kasar Om Jalil, melorot dari sekitar 100 ekor menjadi hanya 14 ekor. Sebenarnya, selain Exspan, ada keserakahan manusia lainnya yang menyusutkan populasi maleo. Suaka Margasatwa Bangkiriang, yang luasnya 12.500 hektare dengan jarak 56 kilometer dari Luwuk, sejak beberapa tahun lalu digerus beberapa pemilik hak pengusahaan hutan. Kondisi ini semakin parah setelah masyarakat ikut menyerbu. Awalnya hanya lima kepala keluarga yang membuka lahan perkebunan. Atas nama reformasi, mereka berduyun-duyun masuk dan kini jumlahnya mencapai 800 keluarga. "Belum lagi pencuri kayu yang bebas berkeliaran karena didukung oleh para cukong kayu," kata Amiruddin Aimang, Direktur Yayasan Bumi Persada. Kegiatan itu membuat ruang gerak maleo makin menyempit. Unggas ini terutama mengalami kesulitan untuk bertelur di pantai. Tak ada lagi hutan lebat antara Bangkiriang dan Pantai Saluan yang menjadi tempat singgah maleo untuk melepas lelah. "Kini hutan itu dibabat habis dan diganti dengan hamparan sawah serta hamparan kebun kelapa sawit," ujar Muh. Yamin dari Yayasan Maleo Indonesia. Kini diam-diam upaya menjadikan kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang sebagai daerah eksplorasi Exspan sudah digalang. Beberapa penduduk di pinggir kawasan tersebut mengaku tanahnya sudah dibeli perusahaan itu. Masyarakat Batui amat khawatir hewan legenda mereka bakal punah. Tahun lalu, mereka sudah menulis surat keberatan ke Bupati Banggai Kolonel Sudarto. Warga juga membentuk Tim Sembilan, yang akan mengusir penduduk pendatang yang menyerbu hutan Bangkiriang. Soal izin eksplorasi di kawasan suaka margasatwa itu tidak diketahui Bupati Banggai. Tapi sikapnya tegas dalam masalah bisnis yang bakal menghasilkan duit ke kantong itu. "PT Exspan jangan sampai tidak jadi mengelola kekayaan alam Banggai. Ini gengsi Banggai," ujarnya. Exspan sendiri menanggapi kerusakan lingkungan itu dengan enteng. Menurut juru bicara Exspan, Sudirham Sukimin, belum ada laporan atau protes masyarakat yang masuk ke Exspan mengenai dampak kegiatan perusahaan itu di Banggai. Ia bahkan belum pernah mendengar maleo terancam oleh aktivitas perusahaan itu. Suku Bajo, yang dikabarkan pernah berdemonstrasi ke Exspan, ternyata menurut Sukimin juga tidak pernah mendatangi Exspan. "Mereka cuma mengirim surat," ungkapnya kepada I G.G. Maha Adi dari TEMPO. Untuk itu, Exspan akan menggelar pertemuan bersama lembaga swadaya masyarakat dan suku Bajo pada minggu ini. Tak jelas mengapa Exspan menganggap surat dari warga Bajo itu bukan sebagai protes. Sepatutnya perusahaan dengan investasi besar itu bisa mencarikan jalan keluar agar maleo, ikan napoleon, dan suku Bajo tak tergusur oleh operasinya. Misalnya membuat penangkaran burung maleo. Tapi, bila mereka bersikap arogan seperti ini, nasib maleo agaknya sudah digariskan. Agus S. Riyanto, M. Darlis (Banggai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus