Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Primadona Pesta Pantai

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NILAI sebutir telur maleo bagi masyarakat adat Batui tak sekadar selembar telur ceplok atau sebuah telur rebus. Ia sama berharganya dengan nyawa manusia. Tiga tahun lalu, Jumadi, seorang warga asli Batui yang tinggal di Bangkiriang, menderita muntah-muntah hebat sampai akhirnya meninggal dunia. Penduduk percaya nyawanya melayang karena ia tidak menyerahkan sebutir telur maleo dalam upacara adat Tumpe. Upacara adat Tumpe atau penyerahan telur pertama ke Banggai Kepulauan adalah ritual tahunan masyarakat Batui yang, menurut penuturan tokoh adat Abdul Rahman Apok, sudah dijalani sejak tahun 1600. Saat itu Kerajaan Gori-Gori di wilayah Batui dipimpin oleh Raja Aji Soko—seorang Jawa keturunan Walisongo yang menyiarkan agama Islam sampai ke wilayah itu. Dari Jawa, Aji Soko membawa burung maleo, yang beranak pinak dengan subur di hutan Bangkiriang. Raja Aji Soko punya adik bernama Abu Kasim, yang berdiam di Pulau Banggai. Aji rupanya ingin membagi kesenangannya untuk saudaranya dengan mengirim maleo ke Pulau Banggai, yang saat itu harus ditempuh selama sepekan memakai perahu layar. Sayang, burung berwarna hitam dengan leher putih ini tak bisa hidup di sana. Sebagai gantinya, Abu Kasim minta setiap tahun dikirimi telurnya, yang besarnya lima kali telur ayam itu. Jadilah pengiriman telur ini sebuah ritual wajib yang berbau mistis: bila tak dijalankan, daerah Batui akan kedatangan penyakit aneh seperti sakit perut atau demam, atau daerah itu terasa panas sekali. "Karena itu, masyarakat sangat takut kalau tak melaksanakannya," ujar A.R. Apok, 68 tahun. Setiap keluarga asli Batui—jumlahnya kini sekitar 1.000 keluarga—harus menyerahkan sebutir telur maleo kepada pemuka adat, yang kemudian dikumpulkan di kuburan raja-raja Batui. Selama sehari semalam, telur-telur itu didoakan dan diberi mantra. Saat itulah arwah para leluhur kerap menitis ke tubuh beberapa orang, yang menyebabkan mereka seperti "kemasukan". Telur itu kemudian diarak melewati tiga kampung menuju ke pantai dan selanjutnya diangkut ke Banggai Kepulauan, yang kini bisa ditempuh memakai speed boat dalam tempo 6 jam. Sebuah upacara penyambutan sudah menanti sang telur di seberang. Dengan membawa penganan dari ubi kayu, masyarakat menunggu di pantai. Makanan itu beserta telur hantaran bisa dimakan setelah rombongan tiba. Pesta pantai itu kini jadi atraksi yang dinanti wisatawan di pengujung tahun. Diah P., M. Darlis (Banggai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus