Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mati Karena Seragam

Seorang polisi muslim ditembak penyerang kantor mingguan satire Charlie Hebdo. Jadi simbol baru antiteror.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA orang berbaju serba hitam memberondong seorang polisi di Jalan RichardLenoir, Paris, hingga terkapar. Tapi polisi itu belum seketika mati. Rintihannya masih terdengar. Sembari berlari, sang penembak lalu menghampiri korban yang meringkuk memegang perutnya. "Anda mau membunuh kami?" ujarnya. Sang polisi menjawab sembari mengangkat satu tangan, meminta ampun, "Tidak. Cukup, Bung!" Percuma. Si teroris menembaknya di kepala hingga tewas.

Adegan yang tertangkap video penduduk setempat itu berlangsung sesaat sesudah kedua penembak menyerang kantor koran satire Charlie Hebdo, Rabu pekan lalu. Polisi itu bernama Ahmed Merabet. Hari itu kebetulan ia berpatroli di area sekitar kantor media yang karikaturnya kerap kontroversial tersebut.

Menurut sejumlah media, Ahmed Merabet berusia awal 40an tahun. Walau ada dua polisi lain yang dibunuh, nama Merabet jadi mencuat setelah tersiar ia keturunan imigran Afrika Utara—tak jelas dari Aljazair atau Tunisia—yang mayoritas beragama Islam.

Di Prancis, terdapat 510 persen warga yang beragama Islam. Mereka kini mendapat sorotan setelah serangan keji itu. Otoritas keamanan Prancis mensinyalir ada seribu orang Islam yang terindikasi bergabung dengan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.

Tapi kehidupan Merabet jauh dari geliat kelompok radikal itu. Ia menyatakan sebagai muslim, tapi serikat polisi tak tahu apakah ia mempraktekkan agamanya. Merabet lulus dari sekolah negeri AndréBoulloche dan sudah delapan tahun bertugas di kepolisian Distrik (Arrondissement) 11 Paris. Baru saja ia dipromosikan menjadi detektif. Rencananya ia akan bertugas di tempat baru Maret nanti.

Merabet tinggal di wilayah komunitas imigran LivryGargan, daerah di pinggir Paris. "Ia dibunuh dengan cara pengecut oleh orang yang salah menginterpretasikan kitab suci mereka (AlQuran)," ujar Christophe Crepin, salah satu juru bicara serikat polisi di Prancis. "Padahal ia sendiri keturunan imigran."

Nama Ahmed Merabet sekarang menjadi bagian dari kampanye dukungan untuk korban penembakan Charlie Hebdo. Sementara sebelumnya slogan "Je suis Charlie" (Saya Charlie) ramai diserukan orang di seluruh dunia, sekarang muncul "Je suis Ahmed" (Saya Ahmed).

Tagar #JeSuisAhmed bertebaran di Twitter. Beberapa akun menyatakan Merabet meninggal karena membela hak Charlie Hebdo mengejek agama dan budayanya. Akun @AJ_Conti mengutip filsuf Prancis, Voltaire: "Saya tak setuju dengan apa yang Anda sampaikan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda menyampaikannya." Akun @Bill9011 mengingatkan: "Kita tak boleh lupa bahwa orang Islam adalah korban pertama terorisme."

Merabet disukai kolega dan temannya. Pria yang belum menikah ini dikenang sebagai orang yang baik, selalu tersenyum, dan profesional. "Dia sangat kalem dan telaten," kata Rocco Contento, juru bicara serikat polisi Unité SGP. "Rekanrekannya sangat kaget mendengar kejadian ini." Sonia Hmimou, rekan Merabet di Distrik 11, mengingatnya sebagai orang yang ringan tangan.

Aziz Mezine, yang bekerja di Le Bazar Egyptien, bar yang sering didatangi Merabet pada akhir pekan, mengingatnya sebagai orang yang rendah hati dan murah senyum. "Sungguh keji membunuh orang seperti itu. Mereka pikir ia bukan manusia," ujarnya mengutuk. Ia ingat, dua tahun lalu keponakannya datang dari Bordeaux—kota penghasil anggur di tenggara Prancis—untuk liburan. Mezine meminta sang polisi menemaninya sebentar. Mereka akhirnya mengobrol selama dua jam.

Tapi terorisme tak mengenal agama. "Islam atau bukan, mereka hanya melihat seragamnya dan langsung membunuhnya," kata Mezine. Sekarang keluarga Merabet berencana memakamkan Ahmed Merabet di kuburan muslim di Bobigny, timur laut Paris. "Pihak keluarga berharap mereka tak diganggu," ujar Loïc Lecouplier, juga anggota serikat polisi.

Sadika Hamid (Le Figaro, 20minutes.fr, The New York Times, news.com.au, telegraph.co.uk)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus