INDONESIA rupanya bertekad lain dari negeri-negeri
tetangganya, dalam perkara TV. Sebelum akhir 1976 menurut Dirjen
Radio-Televisi-Film drs. Sumadi, TV berwarna akan mengudara di
Indonesia. Dimulai dengan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hanya
mungkin tak terduga, bahwa reaksi terhadap niat pemerintah itu
timbul gencar, terutama lewat surat-syrat pembaca dan artikel di
harian Kompas pekan lalu.
Ide memperkenalkan TV berwarna itu dari fihak TVRI sebetulnya
tidak hanya baru-baru ini saja terdengar. Kira-kira semenjak
tiga tahun yang lalu sudah ada kabar persiapannya, Tapi
nampaknya suasana prihatin yang membayangi perekonomian
Indonesia belakangan ini, khususnya oleh beratnya krisis
Pertamina, begitu juga seruan pemerintah sendiri untuk "hidup
sederhana", menyebabkan reaksi itu lumayan keras -- dan meluas.
Drs. Jumadi memang membantah, bahwa adanya TV berwarna ini
nanti akan semakin memperlebar jurang antara yang mampu dengan
yang tak mampu. "Pemerintah tak akan pernah menyuruh orang
membeli televisi berwarna", kata Sumadi. Cuma, katanya pula,
yang mampu disilakan untuk membeli. Terhadap ucapan ini seorang
pembaca Kompas menulis, bahwa jalan pikiran Sumadi itu "dapat
juga dipakai untuk membela masuknya mobil-mobil mewah" -- yang
telah dilarang pemerintah. Nampaknya kesan tak dapat dielakkan,
bahwa televisi berwarna adalah sesuatu yang mewah, terlalu mewah
buat taraf Indonesia kini.
Betulkah? Sumadi, dalam jawabannya kepada pernyataan itu,
mengetengahkan bahwa proyek TV berwarna hanya mengambil 11%
dari anggaran pengembangan televisi di Indonesia. Ia juga
menyebutkan, bahwa harga pesawat TV berwarna 14 inci di luar
negeri dewasa ini adalah AS $ 300 atau Rp 125.000 -- agaknya
buat membantah catatan Kompas bahwa harga itu di Indonesia
mencapai Rp 600.000. Singkatnya, hendak dikesankan bahwa proyek
TV berwarna itu sebetulnya tidak semahal dan semewah seperti
yang dibayangkan.
Korea Selatan: Tidak
Pemerintah Malaysia berpendapat lain. Menurut majalah komunikasi
Medit yang terbit di Hongkong Desember yang lalu, Malaysia
telah mengundurkan niatnya ber-TV-warna sampai 1977 -- dan
itupun masih kira-kira. Setelah membangun dua stasiun bumi untuk
satelit komunikasi dengan biaya AS $ 5 juta, serta harus menyewa
satelit Intelstat III tiap tahunnya AS $ 2,5 juta, Malaysia
merasa terlampau berat bebannya buat ikut pakai TV berwarna.
Sumber-sumber yang mengetahui menaksir bahwa pergantian ke warna
itu akan makan AS $ 30 juta. Ini bertentangan dengan kampanye
penghematan yang dilancarkan di sana, selama menghadapi resesi
dunia kini. Meskipun CNP per kapita Malaysia kira-kira 3 kali
Indonesia, orang sana nampaknya ingin berhati-hati.
Dan juga Korea Selatan -- negara terkaya di Asia nomor 5
setelah-Jepang, Singapura, Hongkong dan Taiwan. Korea Selatan
memproduksi pesawat TV berwarna. Tapi tak dipergunakan sendiri,
mungkin sampai dengan tahun ini. Itupun kalau jadi, terbatas.
Menurut rencana, jaringan TV pemerintah dan stasiun Angkatan
Perang AS yang ada di sana akan mulai pakai warna 1976 ini,
dengan catatan: stasiun punya pemerintah, akan diawasi oleh
Kementerian Pendidikan, acara warnanya hanya yang bersifat
pengajaran dan terutama untuk maisiswa. Sementara itu Presiden
Park Chung-lee nampaknya tidak setuju dengan pemakaian TV
berwarna di negerinya. Ia bahkan menginstruksikan agar
memperlambat rencana TV berwarna. Ini mungkin menyebabkan
program-program Kementerian Pendidikan juga harus distop dulu.
Sebab kata Presiden Park, Korea Selatan belum siap untuk
membiayai hiburan waktu-senggang yang mahal itu. Mungkin dalam
beberapa tahun mendatang, bila pendapatan per kapita bangsa itu
mencapai AS $ 1000. Dewasa in, rata-rata orang Korea Selatan
hanya akan punya sisa uang AS $ 55 dari penghasilannya setahun,
jika ia membeli sebuah pesawat TV berwarna 17 inci, yang seharga
AS $ 515 atau di atas Rp 200.000. Maka bisa jadi sampai akhir
tahun inipun orang di sana akan belum ber-TV warna. Artinya
kalah cepat dari Indonesia.
India Juga Tidak
Seperti Korea Selatan, India juga pengekspor pesawat TV
berwarna. Produksinya yang 60.000 buah setahun, diekspor semua.
Soalnya, dengan harga sekarang Rp 9000 (atau AS $ 1.104), satu
pesawat TV berwarna akan sama dengan penghasilan rata-rata orang
India selama sepuluh tahun. Harga TV bikinan dalam negeri itu
memang keterlaluan mahal, juga yang hitam-putih (monokrom), yang
mencapai AS $ 638 per buah. Ongkos produksi sangat tinggi, dan
pemerintah India enggan main impor. Jadinya, rata-rata di India
hanya satu pesawat TV untuk 3000 orang.
Muangthai lebih mewah ketimbang India. Di Bangkok ada empat
stasiun TV berwarna. Meskipun jumlah ini menurut penilaian
"terlalu banyak". Lagi pula akibat pemakaian warna tidak
selamanya baik. Terjadi persaingan hebat di kalangan para
sponsor. Dan sebaliknya, fihak studio terlalu ingin menyenangkan
para sponsor itu, hingga ongkos produksi naik, sementara mutu
acara merosot.
Diakui memang bahwa yang bakal paling dapat manfaat dari TV
berwarna ialah pemasang iklan. Bandingkan saja iklan yang sama
jika diputar di TVRI (hitam-putih) dengan jika diputar di gedung
bioskop (berwarna). Sungguh lebih indah dari warna aslinya, bak
lukisan Basuki Abdullah. Maka di Filipina, di mana pesawat
berwarna paling-paling hanya baru sebanyak 10% dari seluruh
pesawat di Manila Raya, 80 dari iklan dibikin berwarna. Waktu
stasiun-stasiun TV di sana berpindah ke warna, gagasan utama
memang mau mengharapkan iklan lebih besar. Sebab ongkos
per-TV-an, kata Romy Diez, seorang manager siaran, jadi
"sungguh mahal sekali". Toh hasilnya mengecewakan: persaingan
antara studio begitu hebat, hingga akhirnya pemasang iklan dapat
arif yang murah. Semua studio kini mengalami defisit. Hal itu
mungkin tak usah terjadi di Indonesia, di mana cuma ada satu
stasiun siaran buat begitu banyak iklan. Tapi mungkin ada
benarnya juga bagi Indonesia ucapan seorang gurubesar ilmu
komunikasi di University of the Philippines, Francisco Trinidad:
"Dalam analisa terakhir, isi acaralah yang harus
diperhitungkan". Sambung rekannya, Evelyn C. David: "Uang yang
dicurahkan buat peralatan yang mahal itu mungkin lebih baik
dipakai buat latihan meningkatkan personil di bidang teknis dan
produksi".
Tak Terjual
Tapi memang perpindahan ke TV berwarna merupakan keinginan yang
mengimbau -- apa boleh buat. Datangnya mungkin dari
pabrik-pabrik TV juga, khususnya di Jepang. Di sana 4 dari 5
pesawat TV adalah berwarna. Tapi sementara itu pasaran dalam
negeri sudah jenuh. Tahun 1975 mencatat tingkat pertumbuhan
terendah selama lima tahun dalam industri pesawat TV. Di
pertengahan 1974, ada sebanyak 1,24 juta pesawat tak terjual,
dan ditimbun saja. Maka kini Matsuhita, Toshiba dan Hitachi
serta yang lain-lain tinggal mengincar pasaran luar negeri.
Terutama di negeri kaya, seperti AS, Eropa dan Australia. Tentu
saja masuknya Indonesia ke dalam "klub pemilik TV warna" bagi
mereka merupakan pucuk-dicinta-ulam-tiba. Mungkin mereka
berhasil mempengaruhi negeri-negeri konsumen dengan alasan bahwa
di masa depan peralatan buat TV akan semuanya berwarna, hingga
pemakai TV hitam-putih akan terdesak.
Dan memang demikianlah alasan drs Sumadi, yang merencanakan
penggantian ke warna secara bertahap hingga selesai tahun 1980
nanti. Menteri Penerangan Mashuri malah mengatakan, seperti
dikutip Kompas, bahwa TV hitamputih kini tidak diproduksi lagi.
Jika ini benar, maka betul-betul repot juga. Setidaknya di
Hongkong (yang pindah ke warna sejak 1967) kesulitan itu
dinyatakan juga. Seorang insinyur kepala di Commercial
Television, William Cheung, mengatakan bahwa pindah ke warna
adalah wajar, antara lain karena "peralatan hitam-putih
hampir-hampir tak terdapat lagi". Meskipun begitu, di sinipun
umum diakui bahwa biaya sangat tinggi untuk berpindah ke warna.
Alat-alat TV berwarna 4 kali lebih mahal ketimbang yang
monokrom, dan biaya operasionilnya dua kali lipat. Maka mungkin
tergantung kepada ahli ahli Indonesia di LIPI khususnya, Lembaga
Elektronika Internasional di Bandung yang telah diminta Menteri
Mashuri mencari jalan untuk merancang pesawat berwarna (dan
mudah-mudahan juga peralatan di studio) yang lebih murah.
Soalnya: kapan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini