Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tv berwarna: di sini ya, di sana ...

Tvri mengudarakan tv berwarna, untuk wilayah jakarta dan sekitarnya. korea selatan, india, malaysia, malaysia, muangthai belum berniat. alasan peralatan tv hitam putih tak di produksi lagi. (md)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA rupanya bertekad lain dari negeri-negeri tetangganya, dalam perkara TV. Sebelum akhir 1976 menurut Dirjen Radio-Televisi-Film drs. Sumadi, TV berwarna akan mengudara di Indonesia. Dimulai dengan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hanya mungkin tak terduga, bahwa reaksi terhadap niat pemerintah itu timbul gencar, terutama lewat surat-syrat pembaca dan artikel di harian Kompas pekan lalu. Ide memperkenalkan TV berwarna itu dari fihak TVRI sebetulnya tidak hanya baru-baru ini saja terdengar. Kira-kira semenjak tiga tahun yang lalu sudah ada kabar persiapannya, Tapi nampaknya suasana prihatin yang membayangi perekonomian Indonesia belakangan ini, khususnya oleh beratnya krisis Pertamina, begitu juga seruan pemerintah sendiri untuk "hidup sederhana", menyebabkan reaksi itu lumayan keras -- dan meluas. Drs. Jumadi memang membantah, bahwa adanya TV berwarna ini nanti akan semakin memperlebar jurang antara yang mampu dengan yang tak mampu. "Pemerintah tak akan pernah menyuruh orang membeli televisi berwarna", kata Sumadi. Cuma, katanya pula, yang mampu disilakan untuk membeli. Terhadap ucapan ini seorang pembaca Kompas menulis, bahwa jalan pikiran Sumadi itu "dapat juga dipakai untuk membela masuknya mobil-mobil mewah" -- yang telah dilarang pemerintah. Nampaknya kesan tak dapat dielakkan, bahwa televisi berwarna adalah sesuatu yang mewah, terlalu mewah buat taraf Indonesia kini. Betulkah? Sumadi, dalam jawabannya kepada pernyataan itu, mengetengahkan bahwa proyek TV berwarna hanya mengambil 11% dari anggaran pengembangan televisi di Indonesia. Ia juga menyebutkan, bahwa harga pesawat TV berwarna 14 inci di luar negeri dewasa ini adalah AS $ 300 atau Rp 125.000 -- agaknya buat membantah catatan Kompas bahwa harga itu di Indonesia mencapai Rp 600.000. Singkatnya, hendak dikesankan bahwa proyek TV berwarna itu sebetulnya tidak semahal dan semewah seperti yang dibayangkan. Korea Selatan: Tidak Pemerintah Malaysia berpendapat lain. Menurut majalah komunikasi Medit yang terbit di Hongkong Desember yang lalu, Malaysia telah mengundurkan niatnya ber-TV-warna sampai 1977 -- dan itupun masih kira-kira. Setelah membangun dua stasiun bumi untuk satelit komunikasi dengan biaya AS $ 5 juta, serta harus menyewa satelit Intelstat III tiap tahunnya AS $ 2,5 juta, Malaysia merasa terlampau berat bebannya buat ikut pakai TV berwarna. Sumber-sumber yang mengetahui menaksir bahwa pergantian ke warna itu akan makan AS $ 30 juta. Ini bertentangan dengan kampanye penghematan yang dilancarkan di sana, selama menghadapi resesi dunia kini. Meskipun CNP per kapita Malaysia kira-kira 3 kali Indonesia, orang sana nampaknya ingin berhati-hati. Dan juga Korea Selatan -- negara terkaya di Asia nomor 5 setelah-Jepang, Singapura, Hongkong dan Taiwan. Korea Selatan memproduksi pesawat TV berwarna. Tapi tak dipergunakan sendiri, mungkin sampai dengan tahun ini. Itupun kalau jadi, terbatas. Menurut rencana, jaringan TV pemerintah dan stasiun Angkatan Perang AS yang ada di sana akan mulai pakai warna 1976 ini, dengan catatan: stasiun punya pemerintah, akan diawasi oleh Kementerian Pendidikan, acara warnanya hanya yang bersifat pengajaran dan terutama untuk maisiswa. Sementara itu Presiden Park Chung-lee nampaknya tidak setuju dengan pemakaian TV berwarna di negerinya. Ia bahkan menginstruksikan agar memperlambat rencana TV berwarna. Ini mungkin menyebabkan program-program Kementerian Pendidikan juga harus distop dulu. Sebab kata Presiden Park, Korea Selatan belum siap untuk membiayai hiburan waktu-senggang yang mahal itu. Mungkin dalam beberapa tahun mendatang, bila pendapatan per kapita bangsa itu mencapai AS $ 1000. Dewasa in, rata-rata orang Korea Selatan hanya akan punya sisa uang AS $ 55 dari penghasilannya setahun, jika ia membeli sebuah pesawat TV berwarna 17 inci, yang seharga AS $ 515 atau di atas Rp 200.000. Maka bisa jadi sampai akhir tahun inipun orang di sana akan belum ber-TV warna. Artinya kalah cepat dari Indonesia. India Juga Tidak Seperti Korea Selatan, India juga pengekspor pesawat TV berwarna. Produksinya yang 60.000 buah setahun, diekspor semua. Soalnya, dengan harga sekarang Rp 9000 (atau AS $ 1.104), satu pesawat TV berwarna akan sama dengan penghasilan rata-rata orang India selama sepuluh tahun. Harga TV bikinan dalam negeri itu memang keterlaluan mahal, juga yang hitam-putih (monokrom), yang mencapai AS $ 638 per buah. Ongkos produksi sangat tinggi, dan pemerintah India enggan main impor. Jadinya, rata-rata di India hanya satu pesawat TV untuk 3000 orang. Muangthai lebih mewah ketimbang India. Di Bangkok ada empat stasiun TV berwarna. Meskipun jumlah ini menurut penilaian "terlalu banyak". Lagi pula akibat pemakaian warna tidak selamanya baik. Terjadi persaingan hebat di kalangan para sponsor. Dan sebaliknya, fihak studio terlalu ingin menyenangkan para sponsor itu, hingga ongkos produksi naik, sementara mutu acara merosot. Diakui memang bahwa yang bakal paling dapat manfaat dari TV berwarna ialah pemasang iklan. Bandingkan saja iklan yang sama jika diputar di TVRI (hitam-putih) dengan jika diputar di gedung bioskop (berwarna). Sungguh lebih indah dari warna aslinya, bak lukisan Basuki Abdullah. Maka di Filipina, di mana pesawat berwarna paling-paling hanya baru sebanyak 10% dari seluruh pesawat di Manila Raya, 80 dari iklan dibikin berwarna. Waktu stasiun-stasiun TV di sana berpindah ke warna, gagasan utama memang mau mengharapkan iklan lebih besar. Sebab ongkos per-TV-an, kata Romy Diez, seorang manager siaran, jadi "sungguh mahal sekali". Toh hasilnya mengecewakan: persaingan antara studio begitu hebat, hingga akhirnya pemasang iklan dapat arif yang murah. Semua studio kini mengalami defisit. Hal itu mungkin tak usah terjadi di Indonesia, di mana cuma ada satu stasiun siaran buat begitu banyak iklan. Tapi mungkin ada benarnya juga bagi Indonesia ucapan seorang gurubesar ilmu komunikasi di University of the Philippines, Francisco Trinidad: "Dalam analisa terakhir, isi acaralah yang harus diperhitungkan". Sambung rekannya, Evelyn C. David: "Uang yang dicurahkan buat peralatan yang mahal itu mungkin lebih baik dipakai buat latihan meningkatkan personil di bidang teknis dan produksi". Tak Terjual Tapi memang perpindahan ke TV berwarna merupakan keinginan yang mengimbau -- apa boleh buat. Datangnya mungkin dari pabrik-pabrik TV juga, khususnya di Jepang. Di sana 4 dari 5 pesawat TV adalah berwarna. Tapi sementara itu pasaran dalam negeri sudah jenuh. Tahun 1975 mencatat tingkat pertumbuhan terendah selama lima tahun dalam industri pesawat TV. Di pertengahan 1974, ada sebanyak 1,24 juta pesawat tak terjual, dan ditimbun saja. Maka kini Matsuhita, Toshiba dan Hitachi serta yang lain-lain tinggal mengincar pasaran luar negeri. Terutama di negeri kaya, seperti AS, Eropa dan Australia. Tentu saja masuknya Indonesia ke dalam "klub pemilik TV warna" bagi mereka merupakan pucuk-dicinta-ulam-tiba. Mungkin mereka berhasil mempengaruhi negeri-negeri konsumen dengan alasan bahwa di masa depan peralatan buat TV akan semuanya berwarna, hingga pemakai TV hitam-putih akan terdesak. Dan memang demikianlah alasan drs Sumadi, yang merencanakan penggantian ke warna secara bertahap hingga selesai tahun 1980 nanti. Menteri Penerangan Mashuri malah mengatakan, seperti dikutip Kompas, bahwa TV hitamputih kini tidak diproduksi lagi. Jika ini benar, maka betul-betul repot juga. Setidaknya di Hongkong (yang pindah ke warna sejak 1967) kesulitan itu dinyatakan juga. Seorang insinyur kepala di Commercial Television, William Cheung, mengatakan bahwa pindah ke warna adalah wajar, antara lain karena "peralatan hitam-putih hampir-hampir tak terdapat lagi". Meskipun begitu, di sinipun umum diakui bahwa biaya sangat tinggi untuk berpindah ke warna. Alat-alat TV berwarna 4 kali lebih mahal ketimbang yang monokrom, dan biaya operasionilnya dua kali lipat. Maka mungkin tergantung kepada ahli ahli Indonesia di LIPI khususnya, Lembaga Elektronika Internasional di Bandung yang telah diminta Menteri Mashuri mencari jalan untuk merancang pesawat berwarna (dan mudah-mudahan juga peralatan di studio) yang lebih murah. Soalnya: kapan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus