MUNGKIN Alan Paton, pengarang Cry, the Beloved Country, benar. Ia dalam novel tersebut menggambarkan Afrika Selatan sebagai tanah yang basah oleh darah dan air mata. Buktinya, bebasnya Wakil Ketua Kongres Nasional Afrika (ANC), Nelson Mandela, yang disekap selama 27 tahun di penjara, toh tidak membuat darah rakyat Afrika Selatan berhenti membasahi bumi. Sabtu pekan lalu, sekitar 200 penduduk kulit hitam Sebokeng, yang tengah melayat jenazah Mphikeleli Christoffel Nangalembe, pendukung ANC, diberondong sekelompok orang tak dikenal. Para pelayat tersebut tak sempat berlindung karena serangan datang begitu tiba-tiba. Pendeta tengah memimpin upacara pemberkatan bagi jenazah Nangalembe, yang dibunuh kawanan yang sama seminggu sebelumnya dengan cara memelintir leher korban, ketika "pelayat-pelayat" tak diundang itu tiba dengan berkendaraan mobil di rumah duka. Korban tercatat 45 pelayat, empat di antaranya wanita, tewas seketika, dan 100 lainnya luka-luka. Serangan brutal terhadap penduduk Sebokeng tersebut membuat situasi di Afrika Selatan memanas kembali. Menurut saksi mata, kata juru bicara ANC, Gill Marcus, kepada TEMPO melalui telepon internasional, kawanan tersebut adalah orang-orang yang pernah mengganggu penduduk pada minggu sebelumnya. Sebokeng, yang terletak di selatan Johannesburg, memang terkenal sebagai tempat perang gangster, dan di kota ini pula bermarkas saingan ANC, Partai Pembebasan Inkhata, yang dipimpin Mangosotu Buthelezi. Gill menduga, pembunuhan Nangalembe erat kaitannya dengan gerakan antikriminalitas yang dicanangkan korban di Sobokeng. Setelah kematian Nangalembe, menurut juru bicara ANC itu, penduduk Sebokeng selalu didatangi dan diteror kawanan tadi. "Polisi memang sudah menangkap mereka pada 3 Januari lalu, tapi di hari kemudian dilepas lagi setelah membayar uang jaminan 200 rand (sekitar Rp 125.000). Konyol, kan?" ujar Gill gusar. Akibat teror yang dilancarkan terus-menerus oleh kawanan penjahat tersebut, penduduk Sebokeng mencoba minta perlindungan pada polisi. Permintaan itu ternyata tak diindahkan polisi, sampai akhirnya terjadi pembantaian tersebut. Sebetulnya, beberapa hari setelah kematian Nangalembe, polisi berhasil menangkap sekitar 10 tersangka pembantai tokoh ANC tersebut. Tapi penangkapan itu bagi ANC maupun penduduk Sebokeng hampir tak ada artinya. "Sering polisi melepas mereka dengan uang jaminan yang tak seberapa," ujar Gill menggerutu. Pembantaian di Sebokeng sangat memprihatinkan penduduk kulit hitam Afrika Selatan. "Peristiwa ini sama dengan melontarkan panah ke hati saudara sendiri," kata Ketua ANC, Oliver Tambo. Gill menambahkan bahwa ANC menemukan fakta mengenai keterlibatan Inkhata dalam pembunuhan ini. "Partai Inkhata inilah yang memberikan pesenjataan pada anggota gangster di Sebokeng," kata Gill yakin. Buktinya? "Sebagian anggota gangster yang menolak ikut melakukan pembunuhan itu berbicara di depan pers tentang pemberian senjata oleh anggota Partai Inkhata kepada para tersangka pembantaian," ujar Gill. Ia menambahkan, pemanfaatan tindakan kriminalitas untuk tujuan politik sangat tidak terpuji. Partai Inkhata, yang didominasi suku Zulu, menuduh ANC pimpinan Tambo dan Mandela sebagai organisasi politik yang didominasi oleh suku Xhosa. Mangosotu Buthelezi sendiri sampai minggu lalu belum bersuara. Seandainya asumsi itu benar, peristiwa ini justru akan merugikan orang kulit hitam sendiri. "Soalnya, sebagian orang pemerintah pusat yang tak menginginkan politik perbedaan warna kulit berakhir akan mengatakan bahwa sesama kulit hitam saja masih berkelahi, dan menganggap hal itu sebagai kelemahan ANC," kata Gill. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini