MENTERI Luar Negeri Irak Tareq Azis, sehabis bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika James Baker di Jenewa pekan lalu, ditanya wartawan, "Apakah Anda akan menyerang Israel jika perang meletus?" Tareq menjawab, "Ya. Tentu saja, ya." Jawaban itu keluar spontan dan dingin, Tareq tak memerlukan waktu sejenak pun untuk memikirkannya. Faktor Israel memang bisa jadi penentu besar-kecil dan panjang-pendeknya perang di Teluk, dan menentukan akibat perang. Menyeret Israel ke dalam konflik memang akan mengubah siapa berperang dengan siapa. Dan Saddam Hussein punya kemampuan untuk memaksa Israel melibatkan diri. Irak punya Sukhoi-24, pesawat pengebom jarak jauh yang susah dilacak radar. Juga ada rudal Al Hussein, yang berdaya jelajah 600 km, dan Al Abbas, yang sedikit lebih kuat, 900 km. Kedua rudal itu merupakan modifikasi rudal Scud bikinan Soviet. Jadi, kalau toh serangan pesawat udara dapat dipatahkan angkatan udara Israel yang tangguh, ia masih bisa meluncurkan rudal ke Tel Aviv (sekitar 900 km dari Baghdad, dan tentu jarak ini lebih dekat dihitung dari perbatasan Irak-Syria). Yang kini belum jelas, adakah rudal bikinan asli Irak -- dengan bantuan beberapa perusahaan Barat -- yang punya daya jangkau ribuan kilometer sudah terwujud. Yang bisa lebih mengancam, Irak terus berupaya untuk memasang hulu ledak kimia, biologi, bahkan nuklir di rudal tersebut. Maka, bila Irak benar mengirim rudal jarak jauhnya ke Israel, dengan atau tanpa senjata kimia dan nuklir, perang di Teluk bisa semakin runyam. Paling tidak, persatuan multinasional yang sekarang terlihat kompak, akan terpecah belah. Minimal bisa diperhitungkan, Syria dan beberapa negeri Arab yang sekarang tergabung di sana akan berbalik. Husni Mubarak sudah mengatakan pekan lalu, bila Israel ikut perang, Mesir akan mengubah kebijaksanaan. Awal pekan ini, menurut Reuters, pasukan Mesir disiagakan di Sinai, yang berbatasan dengan Israel. Dan Menteri Luar Negeri Syria awal pekan ini pun mengeluarkan pernyataan, bila ada negara Arab, termasuk Irak, diserang Israel, Syria akan membela negara Arab itu. Itu dugaan sementara analis. Tapi dua pekan lalu, Israel, yang biasanya galak bila diserang, nampak lebih berhati-hati. Tiba-tiba saja muncul pernyataan bahwa serangan rudal berkepala senjata kimia belum pernah dilakukan Irak. Senjata kimia yang menewaskan puluhan orang Kurdi disemprotkan dari helikopter. Dan serangan pada tentara Iran bukan dengan rudal, tapi peluru meriam. Bila isi rudal itu bahan peledak biasa, dan menghantam daerah permukiman di pinggir kota -- berdasarkan Perang Iran-Irak yang lalu -- rata-rata cuma jatuh korban enam tewas. "Itu belum menjadi ancaman nasional," kata seorang jenderal Israel, Aharon Yariv, seperti dikutip koran Le Monde. Maka, jika saja rudal Irak berpeledak biasa menghantam, negeri Yahudi itu tak akan langsung membalas, tapi akan menghitung dulu jumlah korban. Kalau korbannya kecil dan rudal tak berisi senjata kimia, tampaknya Israel memilih diam. Memang, bila rudal benar berisi senjata kimia, jadi masalah bagi Israel. Pihaknya belum mampu menghentikan rudal Irak bila itu sudah ditembakkan. Pihak Israel baru bisa melumpuhkan rudal tersebut jika mendapat informasi dini dari satelit Amerika bahwa rudal itu sedang dipersiapkan untuk menyerang. Ada tempo beberapa jam, sebelum rudal mengangkasa. Cuma, tak seorang pun berani menjamin bahwa Israel segera mendapatkan informasi berharga itu. Pekan lalu George Bush mengirim delegasi ke Israel, untuk membujuk agar Negeri Yahudi itu tetap pasif, apa pun yang terjadi di Teluk. Jika benar Israel bisa tetap pasif, perhitungan Saddam bisa meleset. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini