INILAH harga yang harus dibayar Lithuania bagi upaya memerdekakan diri dari Uni Soviet: 12 penduduk terbunuh dan 140 lainnya cedera. Bergelimpangannya korban itu akibat bentrokan antara rakyat dan tentara Soviet yang menduduki stasiun pusat penyiaran radio dan televisi di Vilnius, ibu kota Lithuania, Minggu malam pekan lalu. Di antara korban itu yang mengenaskan adalah kematian tiga remaja di roda tank. Mereka adalah tiga dari empat pemuda yang mencoba menghalangi masuknya kendaraan lapis baja ke gedung pusat komunikasi di Vilnius. Mayat ketiga remaja itu bahkan dibiarkan tentara menggeletak di jalan selama beberapa jam sebelum diangkut ke rumah sakit. Di antara mayat yang dikirim ke rumah sakit juga tampak seorang tua dengan luka tembak di kepala. Kehadiran pasukan tambahan di Lithuania -- menurut saksi mata datang dengan 108 kendaraan perang -- dengan dalih untuk "menertibkan pelaksanaan undang-undang wajib militer" yang mulai kendur di republik itu. Ini adalah pengiriman pertama pasukan "tambahan" ke tujuh republik di Soviet -- Lithuania, Latvia, Estonia, Ukraina, Moldavia, Armenia, dan Georgia - yang bertekad memisahkan diri sejak tahun lalu. Menurunnya jumlah pemuda di ketujuh republik itu yang menjalani wajib militer (wamil) kabarnya dimungkinkan oleh kebijaksanaan pemerintah setempat yang memberi angin pada mereka menolak kewajiban berdasarkan UU Pertahanan Soviet. Di Lithuania, Latvia, dan Estonia, misalnya, pemerintah mengganti bentuk pengabdian pemuda-pemuda itu dengan kerja sosial. Tahun lalu mereka yang mendaftarkan diri mengikuti wamil di ketiga republik Baltik tersebut tinggal 12,5% (Lithuania), 25,3% ( Latvia), dan 24,5% (Estonia) -- angka-angka yang tak pernah terbayangkan di zaman pemerintahan Leonid Brezhnev. Pemimpin ketujuh republik yang ingin merdeka itu yakin dalih Kremlin tentang pengawasan wamil sebagai pembenaran bagi pengiriman tentara tersebut cuma sandiwara. "Perintah sesungguhnya adalah untuk mengatasi gerakan republik Baltik merdeka," ujar Perdana Menteri Estonia, Edgar Savisaar. Maka, Presiden Lithuania Vytautas Landsbergis, menyerukan warganya berkumpul menjaga gedung parlemen dari kemungkinan "serangan" tentara. Beberapa jam setelah satuan-satuan khusus memasuki Lithuania, yang berpenduduk 3,6 juta jiwa, Perdana Menteri Kazimiera Prunskiene mempersoalkan kehadiran pasukan "penertib" tersebut kepada Presiden Mikhail Gorbachev. Upaya itu ditolak Gorbachev dengan dalih pengiriman tentara tersebut sebagai urusan kementerian pertahanan. Merasa dirinya gagal memperjuangkan penarikan tentara "penertib", dan kemudian parlemen Lithuania menolak pula usul menaikkan harga pangan sebesar dua sampai delapan kali lipat, hari itu juga Prunskiene menyatakan mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Pengunduran diri Prunskiene itu membuat situasi di Lithuania makin kisruh. Kamis pekan lalu, posisi yang ditinggalkannya diduduki oleh ekonom Albertas Simenas. Esoknya, beberapa jam setelah Simenas dilantik, tentara Soviet mulai melepaskan tembakan dan gas air mata ketika kelompok nasionalis pro kemerdekaan Lithuania melakukan aksi di muka gedung pemerintah. Sedikitnya delapan orang cedera dalam aksi itu. Selang dua hari, massa melakukan aksi penolakan kehadiran tentara "penertib" di sekitar menara stasiun televisi. Entah siapa yang memulai, massa, menurut kantor berita Soviet, TASS, melempari tentara dengan batu dan barang lainnya. Seorang tentara mati. Pasukan "penertib" kemudian menertibkan massa dengan berondongan peluru. Aksi berakhir dengan setelah 12 nyawa warga setempat melayang. Minggu berdarah itu dikecam keras oleh negara-negara Barat. "Menembaki rakyat sipil dengan senjata mesin sama sekali tak sesuai dengan apa yang dikehendaki pihak Barat," ujar seorang pejabat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sementara itu, Masyarakat Ekonomi (ME), yang menjanjikan bantuan guna mengatasi krisis ekonomi Soviet, mengancam akan menangguhkan pemberian itu sampai ada penjelasan tentang peristiwa berdarah tersebut. Ketua ME, Jacqures Poos, bahkan minta nama pejabat yang memerintahkan penembakan terhadap penduduk sipil itu. Tindakan Moskow itu juga diperkirakan akan mengganggu hubungan Timur-Barat yang mulai membaik. Amerika mengancam akan membatalkan KTT antara Presiden George Bush dan Gorbachev di Moskow, Februari depan. Memburuknya hubungan Kremlin dengan ketujuh republik ini berawal dari keinginan negara-negara bagian tersebut memerdekakan diri. Gerakan ini dipelopori oleh Lithuania, yang mengumumkan proklamasi kemerdekaannya 11 Maret tahun lalu, sehari setelah Ketua Partai Sajudis, Landsbergis, terpilih sebagai presiden, mengalahkan calon dari Partai Komunis. Tekad untuk bebas itu memang muncul dari Partai Sajudis -- organisasi yang menghimpun kaum intelektual. Gerakan melepaskan diri dari Kremlin ini segera diikuti Estonia dan Latvia -- keduanya diduduki Soviet pada 1940. Lalu menyusul Ukraina, Moldavia, dan lainnya. Segera setelah Lithuania memproklamasikan "kemerdekaan", Gorbachev langsung minta pemimpin terpilih negara bagian tersebut untuk bersabar dan menangguhkan keinginan "lima tahun lagi". Tentu saja permintaan Gorbachev itu ditolak wakil-wakil rakyat Lithuania. Bahkan permintaan itu dijawab Partai Komunis Lithuania dengan pernyataan melepaskan diri dari komando Kremlin. Gorbachev, Pemenang Nobel Perdamaian 1990, yang semula mengaku tak akan memakai kekerasan mengatasi masalah Lithuania, mengirimkan sejumlah besar tank dan panser ke republik itu, akhir Maret. Karena Lithuania menganggap sepi imbauan Gorbachev, April, Kremlin menjatuhkan sanksi dengan menghentikan pemasokan minyak dan gas ke sana -- satu-satunya ketergantungan Lithuania pada Soviet. Akibat sanksi itu, Lithuania sempat membekukan sementara pernyataan kemerdekaannya untuk berunding dengan Kremlin. Tapi macet. Agustus, Lithuania menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi dengan Republik Rusia, negara paling besar di lingkungan Uni Soviet, tanpa diketahui Kremlin. Merasa tindakan Lithuania itu sudah keterlaluan, Kremlin lalu mengirimkan tentara untuk menertibkan negara bagian tersebut. Tindakan kekerasan ini kelihatannya segera menjalar ke Latvia dan Estonia. Namun, ketiga negara Baltik itu tampak tak gentar. Menteri Luar Negeri Lithuania, Algirdas Saudargas, yang tengah berada di Polandia mengatakan siap membentuk pemerintah di pengasingan jika pemerintahnya tumbang oleh tentara Soviet. Selasa pekan lalu, muncul kabar buruk lain bagi Gorbachev: Republik Rusia, negara bagian terbesar di Uni Soviet, menyatakan akan menggunting 80% sumbangan mereka untuk anggaran pusat -- dari sekitar Rp 470 trilyun jadi Rp 84 trilyun. Bagaimana nasib Uni Soviet tanpa dukungan dana Republik Rusia? Sebuah ujian berat bagi Gorbachev -- yang juga dituntut Barat mempertanggungjawabkan peristiwa berdarah di Lithuania yang minta korban 12 nyawa tersebut. Akan berhasilkah Gorbachev mengatasi situasi tersebut? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini