DERAP langkah ribuan Bassiji, pasukan sukarelawan Iran, akan kembali terdengar di jalan-jalan seputar Kota Teheran. Ahad lalu, ketua parlemen Ali Akbar Hashemi Rafsanjani telah mencanangkan mobilisasi total. Setiap organisasi dan badan pemerintah harus menyumbangkan dana dan tenaga demi menyukseskan niat tersebut. "Kalau perlu mereka sementara menghentikan kegiatan dahulu," kata Rafsanjani. Perintah kepada semua provinsi untuk mengerahkan tenaga besar-besaran mulai minggu ini pun telah diturunkan. Sementara itu, Dewan Pertahanan Keamanan Tertinggi sudah memutuskan memperpanjang dua bulan masa wajib militer dua tahun. Sedang para Bassiji mendapat hadiah "satu bulan ekstra" di medan juang. Iran akan kembali menggempur Irak? Jawabannya sudah pasti: ya. Keberhasilan merebut Semenanjung Faw pada serangan bulan Februari lalu sangat menaikkan moril mereka. Karena itu, Mohsen Rezaie, panglima Pasdaran, tentara revolusioner Iran, lantas berucap, "Sudah masanya bagi kami untuk mengubah pola bertahan menjadi pola menyerang." Akhir pekan lalu, Iran bahkan mulai meluncurkan rudal-rudal mereka ke arah ladang minyak Kirkuk kepunyaan Irak, kata juru bicara militer Iran. Jika pernyataan ini benar, serangan tersebut merupakan gempuran pertama sejak tahun lalu. Namun, Ahad kemarin, Irak dikabarkan telah membalas serangan terhadap ladang minyaknya dengan mengebom dua perkampungan Iran. Tampaknya, perang yang sudah berkecamuk enam tahun ini makin berlarut-larut. Dalam pada itu, menghadapi lawan-lawan politiknya, Teheran sudah mempunyai senjata baru. "Keberhasilan" membebaskan dua sandera Prancis di Libanon membuktikan besarnya pengaruh Teheran kepada kelompok-kelompok Syiah di sana. Dengan kekuatan ini, Iran berhasil menekan Prancis untuk mengusir Rajavi dan anak buahnya dari sana (TEMPO, 28 Juni 1986). Mungkin sebagai hadiah, akhir bulan lalu, Teheran membebaskan pejabat perwakilan perusahaan penerbangan Air France, Jean Ives Albertini, yang dijatuhi hukuman penjara karena "merusakkan moral kaum Muslim" dan "melakukan perbuatan seks terlarang". Setelah Prancis, Teheran rupanya ingin menggarap Inggris. Pekan silam, Deputi Menlu Iran Javad Larijani menawarkan jasa baik kepada Inggris untuk menyelamatkan dua warga negaranya yang disekap di Libanon. "Asalkan London bersedia mengubah kebijaksanaan mereka kepada Iran," kata Larijani. Tentunya "pengubahan" itu akan termasuk pengusiran kelompok-kelompok antirevolusi Iran yang bercokol di Inggris. Namun, hingga awal pekan ini pihak Inggris belum memberikan reaksi. Di sisi lain, Iran tampaknya akan memanfaatkan peluang perbaikan hubungan itu untuk sekalian memperbaiki kondisi perekonomiannya. Selama beberapa tahun terakhir ini menurunnya harga minyak telah sangat memukul Iran. Minyak merupakan 95 persen dari pendapatan negara. Sejak Januari tahun ini Iran telah mengurangi tingkat produksi hingga 1,6 juta barel per hari. Padahal, proyeksi pendapatan 1985 sebesar US$ 17,5 milyar hanya tercapai US$ 3 milyar. Menurut taksiran, target pendapatan negara 1986/1987 sebanyak US$ 49 milyar hanya akan terealisasi tidak lebih dari US$ 7 milyar. Kenyataan ini memang belum sampai melumpuhkan perekonomian Iran. Kendati begitu, serangkaian tindakan penyelamatan sudah dijalankan. Termasuk menutup sektor-sektor industri yang sangat bergantung kepada bahan baku impor. Selain itu, transaksi barter minyak dengan beberapa pihak pun terpaksa ditangguhkan. Antara lain dengan Turki, yang sedianya akan melakukan barter senilai US$ 3 milyar. Dengan beberapa perusahaan di Eropa transaksi barter ini pun dibatalkan. Selain karena faktor harga, setiap transaksi dikenai komisi -- yang bisa mencapai 13%. Ada pula negara yang menambahkan pajak penjualan 20%. Pada akhirnya memang Iran juga yang terjepit. Perang tak cuma membutuhkan biaya, tapi juga menutup kemungkinan pemasukan negara. Ditambah lagi, pos-pos perdagangan Iran ke luar negeri, dan juga sistem yang diyakininya, tidak lazim. J.R.L.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini