Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gerimis turun di Jakarta pada Selasa sore, 11 Januari 2022. Gedung Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI di Godangdia, Jakarta, mulai sepi saat jam menunjukkan lewat pukul 4 sore. Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Judha Nugraha, sumringah menyambut Tempo di kantornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlindungan WNI, termasuk para Pekerja Migran Indonesia (PMI / TKI), di tengah pandemi Covid-19 telah menjadi perhatian Kementerian Luar Negeri Luar RI. Menurut Judha, fenomena Covid-19 telah menimbulkan kenaikan pada sejumlah kasus yang dialami PMI.
Sepanjang 2021 atau saat masa Covid-19, ada sekitar 29.233 kasus PMI yang ditangani Kementerian Luar Negeri. Dari jumlah itu, 26.171 kasus sudah diselesaikan.
Terbanyak adalah kasus gaji tidak dibayar. Pasalnya, pandemi Covid-19 telah berdampak pada penurunan sektor ekonomi sehingga ada sejumlah majikan kesulitan saat harus membayar gaji PMI.
Pada 2021, total hak gaji PMI yang bisa diperjuangkan oleh Kementerian Luar Negeri RI sebesar Rp 179,3 miliar. Sebelumnya pada 2020, total gaji PMI yang diupayakan Kementerian Luar Negeri, yakni Rp 140 miliar.
Permasalahan lainnya yang tertinggi adalah overtime, PHK, PMI yang tidak mendapat hak libur atau cuti dan beban kerja berlebihan. Contohnya PMI di sektor rumah tangga, yang semakin sering diminta untuk bersih-bersih rumah sehingga membuat mereka semakin sering terpapar zat kimia yang bisa berbahaya bagi kesehatan.
“Untuk PMI di Hong Kong, pemerintah di sana sudah memberikan hak cuti. Jadi PMI jangan takut untuk melapor kalau ada hak yang harus diperjuangkan. Sebab kami tidak bisa follow-up, kalau tidak ada pengaduan,” kata Judha.
Judha juga mengatakan menyediakan masker untuk PMI adalah kewajiban dari majikan. Sebab ini untuk kepentingan majikan pula, mengingat mereka berada dalam satu tempat tinggal yang sama dengan PMI di sektor domestik.
Bicara soal masker, Gendis, 41 tahun, PMI sektor domestik di Hong Kong, menceritakan pada Tempo bahwa dia tidak mendapat masker dan hand sanitizer dari majikan. Yang mengejutkan, majikannya malah meminta masker miliknya.
“Majikan memang jarang keluar rumah, namun ketika dia ada keperluan dan hendak menggunakan masker, dia malah meminta masker saya. Saat makan di luar, dia pun meminta hand sanitizer milik saya. Itu dilakukan majikan dengan sadar (bukan karena pikun),” kata Gendis, yang tak mau dipublikasi nama lengkapnya dan bekerja merawat lansia, 92 tahun.
Selain masker, Gendis pun membeli vitamin dengan uang sendiri dan bersih-bersih rumah lebih sering dari biasanya. Yang disyukuri Gendis, gajinya tidak dipotong selama pandemi Covid-19 ini.
Suratih, 35 tahun, boleh dibilang lebih beruntung dari Gendis. Ratih, panggilan akrabnya, bekerja sebagai asisten rumah tangga pada keluarga seorang pengusaha kaya di Hong Kong.
Dia bukan hanya diberi masker dan hand sanitizer cuma-cuma, namun juga diperbolehkan menikmati libur ke luar rumah dan jam kerja yang normal.
Lain halnya dengan Sueb Darwanton, 47 tahun, PMI di Jeddah, Arab Saudi, yang mengaku tak mendapat masker dan vitamin gratis dari majikan. Namun dia pun tak menuntut hal itu karena harga masker di Arab Saudi sangat murah sehingga bisa dibeli sendiri.
Di tengah pandemi Covid-19, Sueb, yang bekerja sebagai sopir, merasa bersyukur karena gajinya tidak dipotong oleh majikan. Dia pun bebas memilih hari libur.
“Ada majikan yang sangat fanatik sehingga sopir mereka tidak boleh bergaul dengan sopir lain karena takut menularkan virus corona. Untungnya, majikan saya menaruh kepercayaan kalau saya bisa menjaga diri sehingga larangan seperti itu tidak ada. Majikan juga perhatian, memastikan kalau saya sudah di suntik vaksin virus corona,” kata Sueb, yang menyebut majikan sudah menganggapnya seperti anggota keluarga.
Kasus lain, dialami Teddy Kusumah, 60 tahun, yang bekerja sebagai sopir pribadi di Riyadh, Arab Saudi. Pada April 2021 lalu, dia positif Covid-19.
“Baru seminggu setelah suntik vaksin dosis pertama, saya tertular Covid-19. Entah dari mana saya tertular, yang jelas bukan dari majikan,” kata Teddy, kepada Tempo.
Saat positif Covid-19, Teddy melakukan karantina mandiri di dalam kamar selama 2 pekan. Untungnya, majikan Teddy disebut bertanggung jawab dengan ikut merawatnya.
Di tempatnya bekerja, masker dan vitamin disediakan gratis oleh majikan. Gaji pun tidak dipotong.
Tuduhan Pembawa Virus
Pandemi Covid-19 telah membuat sejumlah PMI di sektor domestik mengalami beban kerja berlebihan dan diskriminasi. Ini tak ditampik oleh Gendis.
Dia menceritakan pada awal-awal Covid-19 di Hong Kong, dia disemprot cairan disinfektan hingga basah kuyup oleh majikan setiap kali pulang dari pasar atau jalan-jalan saat libur. Tindakan ini dirasa Gendis berlebihan dan membuatnya merasa seperti pembawa virus.
Setelah menegaskan bahwa tindakan majikannya ini bagian dari diskriminasi, majikan Gendis pun melunak.
Adanya diskriminasi pada PMI di Hong Kong juga dibenarkan oleh Ratih, di mana PMI dianggap pembawa virus corona. Ratih menerima banyak pengaduan dari rekan sesama PMI di Hong Kong, seperti tidak diizinkan libur – jika ngotot minta libur, maka akan di PHK sepihak atau dipulangkan ke Indonesia.
Ketidak-adilan dialami Salsabila (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, PMI asal Nusa Tenggara Barat. Dia dipulangkan ke tanah air oleh majikannya di Hong Kong setelah dituduh positif Covid-19.
Awalnya, dia mengeluh sakit perut setelah dipukul oleh anak majikan usia 9 tahun. Dia lantas dibawa ke rumah sakit. Namun dokter waswas saat Salsa mengeluh agak sesak nafas dan badannya sedikit demam.
Kekhawatiran dokter untungnya tidak terbukti. Hasil tes dari rumah sakit menyatakannya, dia negatif covid-19.
Akan tetapi, tetap saja majikan Salsa tak puas. Dia diharuskan karantina di dalam kamar dan tidak mendapat jatah libur.
Kemampuan bahasa kantonis Salsa yang sangat minim, membuatnya hanya bisa pasrah atas keputusan majikan. Pada akhirnya, dia dipulangkan ke Indonesia tanpa membawa uang sepeser pun karena total baru dua pekan bekerja di Hong Kong.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut Judha, Kementerian Luar Negeri RI sudah bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja RI untuk bersama-sama melindungi PMI. Sesuai UU no.18 tahun 2017 tentang perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Indonesia pun sementara waktu menghentikan pengiriman PMI di tengah pandemi Covid-19 di setor domestik.
Bekerja sama dengan kantor perwakilan Indonesia di luar negeri (KBRI), Kementerian Luar Negeri berkonsultasi soal bagaimana kondisi penanganan Covid-19 di negara penempatan PMI dan bagaimana sistem kesehatan di sana. KBRI lalu memberi masukan apakah negara yang hendak dituju PMI tersebut aman atau tidak.
Sedangkan di awal pandemi Covid-19 pada 2020, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menetapkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 151 tahun 2020 tentang penghentian sementara penempatan PMI. Ini artinya, pengiriman PMI ke semua negara tujuan penempatan, ditutup demi memberikan perlindungan bagi PMI.
Pada Agustus 2020, ditetapkan Kepmen 294 tahun 2020 tentang penempatan PMI di masa adaptasi kebiasaan baru. Kepmen 294 tahun 2020 ini, mencabut Kepmen 151 tahun 2020.
Kemenaker juga menyusun SOP bagi P3MI dan BLKLN dalam melakukan proses pelatihan dengan menerapkan prosedur kesehatan yang ketat sebagaimana yang diatur oleh Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19.
SOP ini untuk memberikan informasi bagi negara tujuan bahwa Indonesia dalam melakukan proses penempatan PMI, telah menerapkan prosedur kesehatan yang ketat.
Sampai akhir 2021, ada 60 negara tujuan penempatan yang sudah dibuka lagi untuk PMI. Akan tetapi, pengiriman PMI untuk sektor domestik belum dibuka sampai sekarang, kecuali untuk Hong Kong
Sayang, saat pengiriman PMI secara prosedural mengalami penurunan di tengah pandemi Covid-19 ini, pemberangkatan PMI lewat jalur non-prosedural malah meningkat. Walhasil terjadi musibah tenggelamnya perahu pembawa PMI di Johor, Malaysia pada Desember 2021 lalu.
Judha memahami, setiap PMI pasti ingin segera ditempatkan di negara tujuan untuk bekerja dan hak PMI pula untuk ke luar negeri. Namun bagaimana pun keamanan harus tetap menjadi prioritas sebagai bagian dari upaya pencegahan.
Sementara itu, Sinthia Harkisnowo, National Project Coordinator ILO, mengatakan dalam situasi pandemi Covid-19, hak-hak pekerja migran tetap tidak boleh dikesampingkan, tidak boleh ada diskriminasi pada mereka. Para PMI harus mendapat layanan dasar, akses bantuan dan suntik vaksin virus corona.
Sinthia mengatakan ketika pemberi kerja atau majikan mengalami kesulitan ekonomi di tengah pandemi Covid-19, maka harus dibuat kesepakatan dengan PMI tersebut. Contohnya, apakah PMI itu dikembalikan ke Indonesia dengan hak-haknya sudah dipenuhi oleh pemberi kerja, biaya tiket ditanggung pemberi kerja, diberhentikan sementara atau PMI tersebut diberi akses agar bisa mendapat layanan dasar, termasuk akses mendapat bantuan sosial dari LSM atau KBRI. Bukannya dibiarkan bekerja tanpa digaji.
Hal lain yang disoroti Sinthia adalah keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 294 tahun 2020, yang menjelaskan pekerja tidak dapat dibebankan biaya sebagai akibat dari penerapan protokol kesehatan, termasuk biaya tes Covid-19. Dengan begitu walaupun dalam situasi pandemi, pemenuhan hak-hak pekerja dan penerapan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di sektor rumah tangga harus tetap dilaksanakan.
Sinthia juga menekankan pentingnya menerapkan standar minimum ataupun mekanisme untuk penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan di saat pandemi. Misalnya, minimum majikan menyediakan masker bagi pekerja, menetapkan tindakan minimum atau mekanisme apa yang harus dilakukan oleh majikan, pemerintah negara asal dan negara tujuan untuk tetap memberikan pemenuhan hak-hak pekerja khususnya ketika majikan terkena PHK dan belum dapat membayar upah pekerja. Memastikan pula akses ke layanan kesehatan dan layanan dasar diberikan ke PMI.
"Berkaca pada prinsip K3, agen pengerah tenaga kerja juga memiliki kewajiban untuk memberi tahu majikan agar para PMI itu tidak terlalu sering terpapar zat kimia yang membahayakan kesehatan mereka,“ kata Sinthia kepada Tempo.
Sinthia menekankan di sektor rumah tangga pun, prinsip K3 harus diterapkan. Majikan tidak boleh membatasi mobilitas pekerja migran ke akses layanan kesehatan. Sebaliknya, mereka harus bisa memberi informasi terkait mekanisme layanan dasar, termasuk layanan kesehatan yang bisa diakses selama pandemi Covid-19.
Dalam prinsip ketenagakerjaan, pemenuhan hak pekerja termasuk K3 adalah kewajiban, bukan perkara karena Covid-19 semata. Harus ada standar minimum dan mekanisme apa yang harus dilakukan saat pemberi kerja kesulitan membayar upah PMI serta memastikan kesehatan dan keselamatan kerja PMI terpenuhi.
“Hak dan jaminan kesehatan dan keselamatan mereka (para PMI) selama bekerja harus dipenuhi. Pemberi kerja harus penuhi itu, termasuk memberikan masker. K3 pekerja migran juga harus diperjuangkan,” pungkas Sinthia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.