Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Melindungi Sejarah Dengan Senjata Kamera

Sekelompok ahli dan sukarelawan berikhtiar menyelamatkan berbagai artefak peninggalan ribuan tahun silam. Mereka menyabung nyawa.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada malam buta, sekitar sepekan lalu, serombongan tentara Turki dan kendaraan militer masuk kurang-lebih 35 kilometer dari perbatasan ke wilayah Suriah. Mereka mendekati kuburan megah. Sebentar berdoa, mereka kemudian bergerak cepat mengambil artefak dan banyak barang peninggalan lainnya. Mereka menurunkan bendera Turki yang berkibar di situs itu, lalu menghancurkan kompleks. Mereka memindahkan semua yang mereka ambil ke kawasan yang lebih dekat dari perbatasan, tapi masih di Suriah.

Begitulah Turki berusaha "menyelamatkan" makam Sulaiman Shah, tuan tanah pada abad ke-12 yang merupakan kakek sultan pertama kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman). Tindakan itu mendapat banyak serangan karena dianggap sebagai agresi di tanah Suriah yang tengah dilanda perang. Tapi Turki berkeyakinan wilayah tersebut merupakan wilayah negerinya sesuai dengan Traktat 1921.

Kondisi situs-situs bersejarah di Suriah memang sangat mengkhawatirkan. Perang sejak 2011 di sana tak hanya menelan korban 200 ribu orang, tapi juga menyebabkan bukti sejarah yang usianya ribuan tahun terancam musnah. Banyak situs yang rusak. Berbagai artefak kuno pun hilang akibat penjarahan. "Ini merupakan darurat budaya paling genting yang pernah saya lihat," kata Michael Danti, arkeolog dari Boston University.

Suriah memang dikenal sebagai negara yang bagaikan museum sejarah peradaban manusia yang jangkauannya hingga ratusan ribu tahun lampau. Negeri yang kini porak-poranda akibat perang itu merupakan "rumah" bagi berbagai kota besar dunia di masa lalu, rumah bagi situs terkemuka dari masa Akkadian, Sumeria, Hittite (Het), Assyria, Persia, Romawi-Yunani, Ummayah, Perang Salib, juga peradaban Utsmaniyah (Turki).

"Kawasan ini telah menjadi pusat dunia untuk semua kekaisaran besar yang tercatat dalam sejarah manusia," kata Candida Moss, profesor Perjanjian Baru dan awal masa Kristen di University of Notre Dame, dalam pidato di University of Notre Dame, tahun lalu.

Bagi banyak ahli, bencana warisan budaya terbesar dialami Aleppo, kota terbesar di Suriah yang merupakan pusat perdagangan di masa kuno. Api melahap sebagian besar pasar utama yang di dalamnya seperti labirin dengan toko-toko dari abad ke-17. Tempat ini bisa memberikan gambaran kehidupan sebuah kota pada Abad Pertengahan.

Pertempuran juga telah menghancurkan Masjid Agung Aleppo, salah satu bangunan tertua di negeri Bashar al-Assad itu. Juga perpustakaan yang berisi ribuan manuskrip langka. Menara yang telah berdiri ribuan tahun pun hancur.

Lebih jauh ke selatan, perang telah mengoyak Crac des Chevaliers, salah satu kastil terbesar di dunia yang merupakan peninggalan masa Perang Salib.

Yang tak kalah membuat miris adalah nasib Apamea di Suriah bagian barat. Di kawasan ini terdapat banyak situs dari masa Romawi dan Byzantium. Kini kawasan tersebut telah menjadi area terbuka, yang menurut para ahli seperti permukaan bulan bila dilihat dari atas. "Ada banyak penjarah yang menggunakan mesin," kata Emma Cunliffe, konsultan warisan budaya yang mengkhususkan diri pada warisan budaya di Suriah.

Penjarahan juga melanda Dura-Europos di Suriah timur. Benteng dari masa kekaisaran Romawi menjadi target. Juga sinagoge dari abad ke-3 dan "gereja rumah" Kristen tertua.

Memang bukan hanya situs yang rusak, penjarahan artefak marak terjadi untuk dijual. Kelompok Islam militan, seperti Negara Islam di Irak dan Syam (Suriah dan sekitarnya)/ISIS serta Jabhat al-Nusra, menjualnya untuk mendapatkan dana operasional. "Awalnya pencurian biasa, tapi kini telah menjadi bisnis transnasional terorganisasi yang membantu dana teror," kata Michael Danti. Namun pasukan dan pendukung pemerintah juga melakukan hal yang sama.

Di pasar-pasar kota di Turki selatan, seperti Gaziantep, beredar aneka vas peninggalan Romawi jarahan dari kuburan tua. "Kami melihat begitu banyak artefak berdatangan di sini. Teko kopi peninggalan masa Utsmaniyah, koin, juga patung yang lebih tua," kata Harun Unvar, yang mengelola toko barang antik di pasar lama.

Di Amerika Serikat, pemerintah mendapatkan angka yang menunjukkan nilai impor barang antik dari Suriah yang dilaporkan melonjak 134 persen pada 2013. Nilainya menjadi US$ 11 juta. Menurut pejabat Amerika, yang tidak dicatatkan bisa jauh lebih besar, bahkan bisa mencapai US$ 100 juta dalam setahun. Sebuah bisnis yang gigantis.

****

BEBERAPA waktu lalu di sebuah hotel di seberang perbatasan di tanah Turki, sejumlah orang Suriah mendapatkan pelatihan oleh Heritage for Peace sebelum kembali ke kampung halaman mereka. Bukan untuk angkat senjata bertempur melawan ISIS atau pasukan pemerintah. Berbekal telepon seluler, kamera, dan laptop, mereka akan bertempur di ranah berbeda: mendata dan menyelamatkan berbagai situs bersejarah dan artefak kuno di Suriah.

Bak "Monuments Men"-sekelompok ahli yang berjuang menyelamatkan barang-barang kuno bersejarah pada masa Perang Dunia II yang kemudian difilmkan oleh George Clooney tahun lalu-orang-orang ini beradu nyawa demi bukti sejarah. "Ini pekerjaan yang berbahaya. Kami harus masuk dan keluar dari situs dengan sangat cepat," kata seorang arkeolog yang tak bersedia menyebutkan namanya karena alasan keamanan.

Maklum, tak seperti "Monuments Men", juga pasukan Turki yang menyelamatkan makam Sulaiman Shah, mereka tak memiliki sumber daya yang cukup dan tak mendapat perlindungan militer. Ancaman bukan hanya dari milisi militan, tapi juga pasukan pemerintah. "Rezim mengetahui dan mencari-cari kami karena kami mengungkap penjarahan oleh pendukung pemerintah," kata seorang arkeolog dari Damaskus. "Jadi kami bekerja diam-diam."

Pada Desember tahun lalu, dua arkeolog tewas dalam serangan udara pasukan pemerintah. Saat itu mereka tengah mengambil foto kerusakan situs di Serjilla dan Al-Bara, dua kota tua peninggalan zaman Byzantium yang juga dikenal dengan "kota mati".

Demi keselamatan, para arkeolog ini kerap harus menyamar dalam bekerja. Misalnya anggota senior sering berpura-pura menjadi pedagang barang antik untuk mendapatkan informasi barang yang dijarah. Dia menghubungi penjarah dan memotret artefaknya, kemudian mengirimkannya ke akademikus di Eropa yang akan menyalurkan informasi itu ke lembaga-lembaga penegak hukum yang terkait.

Adapun orang yang melakukan pendataan juga bekerja sembunyi-sembunyi. Sambil seolah-olah berbicara di telepon, mereka mengambil gambar situs yang rusak atau artefak yang masih tersisa. Dalam banyak kasus, mereka mengambil artefak, kemudian menguburnya di suatu tempat dan mencatat koordinat lokasinya. Maksudnya, bila perang usai, artefak itu bisa diambil kembali.

Kelompok "Monuments Men" yang kini memiliki sekitar 200 relawan ini dibentuk pada 2012 oleh arkeolog dari Universitas Damaskus dan beberapa arkeolog Suriah lainnya. Mereka mengajak kolega dari berbagai kampus, museum, dan direktorat pemerintah di Suriah. Mereka juga menggandeng ahli dari Amerika dan Eropa, yang kemudian menjadi penasihat.

Selain melakukan upaya penyelamatan, relawan "Monuments Men" berusaha mendidik orang-orang dari kelompok pemberontak untuk lebih simpatik terhadap warisan budaya. Mereka mendatangi para pemimpin masyarakat. "Kami mencoba mendapatkan fatwa dari hakim syariah untuk menghentikan penjarahan," kata salah satu pendiri kelompok ini.

Di medan internasional, mereka menyeru dan bekerja sama dengan akademikus serta lembaga pemerintah asing untuk menghadang barang-barang Suriah tersebut. Di Turki, polisi unit khusus anti-penyelundupan kerap dikerahkan merazia tempat-tempat yang diyakini digunakan oleh penyelundup. Mereka berhasil menyita ribuan artefak, di antaranya patung zaman Romawi yang sekarang berada di museum Gaziantep, Urfa, Hatay, dan Mardin. Mereka mengatakan, begitu perang usai, barang-barang itu akan dikembalikan.

Di Libanon dan Yordania, pasukan keamanan juga meningkatkan penyergapan terhadap jaringan penyelundup.

Pemerintah Amerika dan Eropa tak ketinggalan. Mereka mengkaji peraturan anti-penyelundupan yang baru. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun bulan ini mengeluarkan resolusi yang melarang semua perdagangan barang antik dari Suriah karena dikhawatirkan menjadi sumber dana ISIS dan kelompok lain.

Para relawan pun berbesar hati meski peluru dan bom terus mengintai mereka. "Ini bukan saja tentang sejarah. Ini tentang masa depan," kata seorang relawan. "Menyelamatkan warisan budaya kita adalah satu-satunya cara kita bisa membangun kembali Suriah yang inklusif setelah perang."

Purwani Diyah Prabandari (the Wall Street Journal, The New York Times, Bbc)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus