Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 40 pelajar berkumpul di luar Pengadilan Kriminal Bangkok, Senin pekan terakhir Februari lalu. Mereka memberi dukungan kepada dua anggota kelompok Teater Prakai Fai, yaitu Pornthip Munkong alias Golf dan Patiwat Saraiyaem alias Bank, yang menjalani sidang pembacaan putusan. "Keduanya tersangka pelanggar pasal 112 dan dihukum lima tahun penjara dikurangi setengahnya," kata hakim, seperti dilaporkan Reuters, 23 Februari 2015. Meski harus masuk bui, Golf dan Bank masih bisa tersenyum ketika meninggalkan pengadilan.
Pasal 112 Undang-Undang Kriminal Thailand yang menjerat mereka mengatur soal fitnah, hinaan, atau ancaman terhadap raja, ratu, ahli waris takhta, dan kepala daerah, atau dikenal sebagai hukum lese majeste. Terseretnya Golf dan Bank berawal dari pementasan drama Jao Sao Maa Paa (Pengantin Serigala) yang mereka buat pada 13 Oktober 2013 di Universitas Thammasat, Bangkok.
Pentas ini memperingati 40 tahun pemberontakan pelajar 14 Oktober 1973 melawan diktator militer Thanom Kittikachorn. Meski bercerita tentang kerajaan, raja, dan penasihat fiktif, drama tersebut dianggap menghina Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, 87 tahun, raja yang memerintah terlama di dunia.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang detail kesalahan Golf dan Bank terhadap Raja. Yang jelas, keduanya kemudian mengaku salah, demi memperoleh pengurangan masa hukuman. Pengadilan menolak permohonan penangguhan penahanan yang mereka ajukan dengan jaminan.
Golf, perempuan aktivis sosial berusia 26 tahun, yang ditahan sejak Agustus 2014 di Penjara Pusat Perempuan Bangkok, menyatakan tidak takut dipenjara. Sutradara pentas ini bahkan mengaku belajar banyak hal di sana. "Saya belajar menari, bermain musik, dan bertemu dengan banyak teman," ujarnya sebelum sidang. Kini junta militer juga giat memburu pelajar dan aktivis lain yang terlibat dalam pentas Jao Sao Maa Paa. Sebagian besar anggota tim pementasan itu terbang ke luar negeri.
Di berbagai negara monarki di dunia, hukum lese majeste tinggal teori. Hanya Thailand yang terkenal dengan ketat menerapkannya. Selama beberapa dekade, jumlah kasus berkisar 10 per tahun. Namun, sejak 2004, jumlahnya meningkat jadi ratusan karena terjadi friksi pemerintah populis Thailand dengan pemerintah tradisional. Selanjutnya, sejak militer kembali berkuasa lewat kudeta Mei 2014 melalui Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Keteraturan (NCPO), pelanggar hukum lese majeste menjadi prioritas buruan. Hingga kini terhitung sudah 40 orang ditahan dengan jerat pasal 112. Tujuh di antaranya sudah dijebloskan ke penjara.
Kasus lese majeste pertama yang diajukan ke pengadilan militer Bangkok menghukum Kathawuth Boonpitak lima tahun penjara. Penyiar radio berusia 59 tahun itu dalam bincang politiknya pada Maret 2014 membuat komentar yang dianggap memfitnah kerajaan. Kasus kedua di pengadilan militer melibatkan tersangka Akkaradet Lamsuwan. Selain terjerat lese majeste, ia dituduh melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer. Pria 24 tahun ini dipenjara dua setengah tahun karena dituduh menghina kerajaan lewat tulisan di Facebook dan mengancam keamanan negara. Sederet nama lain menyusul mereka.
Bukan hanya warga Thailand, orang asing juga dijerat hukum ini. Pada 2007, Oliver Jufer, warga Swiss, dihukum 10 tahun penjara karena mencoret gambar Raja saat mabuk. Ada pula warga Australia, Harry Nicolaides, yang dihukum lebih dari setahun setelah mempublikasikan novel berisi cerita tak mengenakkan tentang putra mahkota. Selanjutnya, pada 2012, Joe Gordon, warga Thailand keturunan Amerika, mesti menghabiskan 13 tahun di penjara karena menerjemahkan biografi bahasa Inggris raja berjudul Raja Tidak Pernah Tersenyum, yang dilarang di Thailand.
Gordon termasuk yang berhasil menjalankan strategi mengaku bersalah demi pengurangan masa hukuman. "Pengadilan Thailand tidak pernah mengizinkan saya mengajukan jaminan. Saya hanya punya satu kesempatan mengaku salah untuk mendapat pengampunan raja. Jika tidak, saya bisa dihukum 20 tahun," ujarnya seperti dilaporkan The Economist, 26 Januari 2015.
Federasi Internasional Hak Asasi Manusia (FIDH) menyebutkan sebagian besar kasus terkait dengan kebebasan berekspresi dan hak kebudayaan. Padahal hak ini dijamin dalam Pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 15 Konvensi Internasional tentang Hak Sosial dan Budaya (ICESCR). Seharusnya Thailand, yang juga meratifikasi kedua konvensi itu, mematuhinya. "Anggota parlemen harus menjamin ketentuan ICCPR dan ICESCR termaktub dalam hukum Thailand. Hakim juga harus memasukkan klausul itu dalam mengambil keputusan," kata Andrea Giorgetta, Direktur Asia Tenggara FIDH, seperti dikutip Bangkok Post, 21 Februari 2015.
Atmi Pertiwi (reuters, Bangkok Post, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo