Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cakaran Tato Hello Kitty

Gara-gara pamer tato "kucing imut", seorang pelajar disekap dan dianiaya oleh sembilan perempuan. Otak dan tiga pelaku kekerasan masih buron.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Lastri, bukan nama sebenarnya, peristiwa malam itu menyisakan trauma yang begitu berat. Pada waktu terjaga, gadis 18 tahun itu lebih sering melamun atau menangis. Setiap kali ia tidur, mimpi buruk selalu menyergapnya. "Saya jadi susah tidur," kata Lastri di Kepolisian Resor Bantul, Yogyakarta, Rabu pekan lalu.

Siang itu, ditemani sang ibu, Meniek Pardiyem, Lastri diperiksa polisi sebagai saksi korban. Lastri disekap dan dianiaya sembilan perempuan pada Kamis malam, 12 Februari lalu. Seperti Lastri, sebagian pelaku masih berstatus pelajar sekolah menengah atas. Namun mereka berasal dari sekolah berbeda.

Sejauh ini polisi telah menangkap lima pelaku. Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bantul Ajun Komisaris M. Kasim Akbar Bantilan, salah seorang pelaku yang masih buron adalah Ratih. Polisi menduga perempuan 21 tahun itu sebagai otak kekerasan terhadap Lastri.

Pemicu penyiksaan itu sepele saja. Lastri memamerkan foto tato Hello Kitty di lengannya sebagai foto profil BlackBerry Messenger dia. Masalahnya, foto itu dia sandingkan dengan foto tato Hello Kitty di dada kiri Ratih. Lastri pun memasang tulisan, "Apik endi (bagus mana)". Tanda silang dia pasang pada foto tato Ratih.

Menurut Meniek, Lastri memang menyukai tokoh rekaan Hello Kitty. Wajah kucing imut itu ada di hampir semua barang pribadinya, seperti sepatu, dompet, dan tas. Tato Hello Kitty belum begitu lama menghiasi lengan anaknya. "Tapi anak saya bilang lebih dulu bikin tato ketimbang Ratih," kata Meniek.

Melihat status dan foto BlackBerry itu, Ratih rupanya tersinggung. "Dia merasa diejek," kata Riza, teman Ratih yang ditangkap polisi. Bersama teman kosnya, Ratih pun menyusun rencana.

Selepas magrib, Lastri, yang sedang menginap di rumah temannya di kawasan Nologaten, Sleman, dijemput dua teman Ratih. Mereka membawa Lastri ke tempat kos Ratih di Dusun Saman, Desa Bangunharjo, Sewon, Bantul. Di salah satu kamar, Ratih sudah menunggu bersama enam kawannya. Begitu Lastri tiba, sekitar pukul 21.00, komplotan itu langsung menyekap dan menghajarnya.

Menurut pengakuan Riza, Ratih yang meminta mereka menganiaya Lastri. Di kos-kosan itu, Ratih, yang tak jelas pekerjaannya, paling ditakuti semua penghuni. "Dia suka njitak kalau kemauannya tak dituruti," kata Riza, yang sedang menempuh pendidikan kejar paket C-setingkat SMA.

Malam itu semula Riza diminta memegangi kaki Lastri. Tapi, belakangan, Ratih dan kawan-kawan mengikat kaki dan tangan korban. Baju dan celana Lastri pun digunting, lalu dilepas. Seperti kerasukan setan, pelaku lalu ramai-ramai memukuli dan menendangi korban.

Rangkaian penyiksaan berlanjut selama beberapa jam. Ketika seorang pelaku menggunting rambut Lastri, pelaku lain menyundutkan rokok ke tubuh gadis malang itu. Ada juga yang menyakiti organ kewanitaan Lastri. "Nek kowe mati, tak buang ke Kali Progo (Kalau kamu mati, aku buang ke Kali Progo)," kata Meniek menirukan ancaman Ratih yang didengar Lastri.

Usaha Lastri meminta tolong sia-sia saja. Teriakan Lastri tak bisa kencang karena mulutnya dibekap bantal. Rumah kos dua lantai itu pun terletak di tengah sawah, terpisah agak jauh dari rumah tetangga.

Lastri baru bisa kabur dari rumah jahanam itu esok paginya. Dia mengelabui Ratih dan kawan-kawan dengan meminta izin ke kamar kecil. Dengan sisa-sisa tenaga, Lastri tertatih-tatih melewati persawahan. Tubuh dia ambruk di depan Mbah Muji, warga Saman yang kebetulan melintas. Mbah Muji dan warga lain lalu membopong Lastri ke pos polisi terdekat.

Menurut Ajun Komisaris Kasim, polisi masih mengejar Ratih dan tiga kawannya yang diduga kabur ke luar Yogya. Penganiaya Lastri bakal dijerat pasal pidana berlapis, dari penganiayaan dengan ancaman, kekerasan bersama, sampai merampas kemerdekaan orang lain, "Ancaman hukumannya maksimal delapan tahun penjara," ujar Kasim.

Shinta Maharania

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus